Al Qur'an

AL-QUR'AN 

Al-Quran  yang  secara  harfiah  berarti  "bacaan  sempurna"
merupakan  suatu  nama  pilihan  Allah  yang  sungguh tepat,
karena tiada satu bacaan pun sejak  manusia  mengenal  tulis
baca  lima  ribu  tahun  yang  lalu  yang  dapat  menandingi
Al-Quran Al-Karim, bacaan sempurna lagi mulia itu.

Tiada bacaan semacam Al-Quran yang dibaca oleh ratusan  juta
orang  yang  tidak  mengerti  artinya  dan  atau tidak dapat
menulis dengan aksaranya. Bahkan dihafal  huruf  demi  huruf
oleh orang dewasa, remaja, dan anak-anak.

Tiada   bacaan   melebihi   Al-Quran  dalam  perhatian  yang
diperolehnya, bukan saja sejarahnya secara umum, tetapi ayat
demi  ayat,  baik  dari segi masa, musim, dan saat turunnya,
sampai kepada sebab-sebab serta waktu-waktu turunnya.

Tiada bacaan seperti Al-Quran yang  dipelajari  bukan  hanya
susunan  redaksi  dan  pemilihan  kosakatanya,  tetapi  juga
kandungannya yang tersurat, tersirat  bahkan  sampai  kepada
kesan  yang  ditimbulkannya.  Semua  dituangkan dalam jutaan
jilid  buku,  generasi  demi  generasi.  Kemudian  apa  yang
dituangkan   dari   sumber   yang  tak  pernah  kering  itu,
berbeda-beda   sesuai   dengan   perbedaan   kemampuan   dan
kecenderungan  mereka,  namun  semua  mengandung  kebenaran.
Al-Quran layaknya sebuah  permata  yang  memancarkan  cahaya
yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing.

Tiada   bacaan   seperti   Al-Quran   yang  diatur  tatacara
membacanya, mana yang dipendekkan, dipanjangkan,  dipertebal
atau  diperhalus  ucapannya,  di mana tempat yang terlarang,
atau boleh, atau harus memulai dan berhenti,  bahkan  diatur
lagu dan iramanya, sampai kepada etika membacanya.

Tiada  bacaan  sebanyak  kosakata  Al-Quran  yang  berjumlah
77.439 (tujuh  puluh  tujuh  ribu  empat  ratus  tiga  puluh
sembilan)  kata, dengan jumlah huruf 323.015 (tiga ratus dua
puluh tiga ribu  lima  belas)  huruf  yang  seimbang  jumlah
kata-katanya,  baik  antara  kata  dengan padanannya, maupun
kata dengan lawan kata dan dampaknya.

Sebagai contoh  -sekali  lagi  sebagai  contoh-  kata  hayat
terulang  sebanyak  antonimnya maut, masing-masing 145 kali;
akhirat terulang 115  kali  sebanyak  kata  dunia;  malaikat
terulang   88   kali   sebanyak   kata   setan;  thuma'ninah
(ketenangan)  terulang   13   kali   sebanyak   kata   dhijg
(kecemasan); panas terulang 4 kali sebanyak kata dingin.

Kata  infaq  terulang  sebanyak kata yang menunjuk dampaknya
yaitu ridha (kepuasan) masing-masing  73  kali;  kikir  sama
dengan  akibatnya  yaitu  penyesalan  masing-masing 12 kali;
zakat  sama  dengan   berkat   yakni   kebajikan   melimpah,
masing-masing   32  kali.  Masih  amat  banyak  keseimbangan
lainnya, seperti kata yaum  (hari)  terulang  sebanyak  365,
sejumlah   hari-hari   dalam  setahun,  kata  syahr  (bulan)
terulang 12 kali juga sejumlah  bulan-bulan  dalam  setahun.
Demikian

  "Allah menurunkan kitab Al-Quran dengan penuh kebenaran
   dan keseimbangan (QS Al-Syura [42]: 17)."

Adakah suatu bacaan ciptaan makhluk  seperti  itu?  Al-Quran
menantang:

  "Katakanlah, Seandainya manusia dan jin berkumpul untuk
   menyusun semacam Al-Quran ini, mereka tidak akan
   berhasil menyusun semacamnya walaupun mereka bekerja
   sama" (QS Al-Isra,[17]: 88).

Orientalis H.A.R. Gibb  pernah  menulis  bahwa:  "Tidak  ada
seorang   pun  dalam  seribu  lima  ratus  tahun  ini  telah
memainkan 'alat' bernada nyaring  yang  demikian  mampu  dan
berani,  dan demikian luas getaran jiwa yang diakibatkannya,
seperti yang dibaca Muhammad (Al-Quran)."  Demikian  terpadu
dalam    Al-Quran    keindahan   bahasa,   ketelitian,   dan
keseimbangannya,  dengan  kedalaman  makna,   kekayaan   dan
kebenarannya,  serta kemudahan pemahaman dan kehebatan kesan
yang ditimbulkannya.

  "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan,
   Dia telah menciptakan manusia dari 'alaq. Bacalah, dan
   Tuhanmulah yang paling Pemurah, Yang mengajar manusia
   dengan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang
   belum diketahuinya" (QS Al-'Alaq [96]: 1-5).

Mengapa iqra,  merupakan  perintah  pertama  yang  ditujukan
kepada  Nabi, padahal beliau seorang ummi (yang tidak pandai
membaca dan menulis)? Mengapa demikian?

Iqra' terambil dari akar  kata  yang  berarti  "menghimpun,"
sehingga tidak selalu harus diartikan "membaca teks tertulis
dengan aksara tertentu."

Dari  "menghimpun"  lahir   aneka   ragam   makna,   seperti
menyampaikan,  menelaah, mendalami, meneliti mengetahui ciri
sesuatu dan membaca, baik teks tertulis maupun tidak.

Iqra' (Bacalah)! Tetapi apa yang harus dibaca?  "Ma  aqra'?"
tanya  Nabi  -dalam  suatu riwayat- setelah beliau kepayahan
dirangkul dan diperintah membaca oleh malaikat Jibril a.s.

Pertanyaan itu tidak dijawab, karena Allah menghendaki  agar
beliau  dan umatnya membaca apa saja, selama bacaan tersebut
Bismi Rabbik; dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan.

Iqra'  berarti  bacalah,  telitilah,  dalamilah,  ketahuilah
ciri-ciri  sesuatu, bacalah alam, bacalah tanda-tanda zaman,
sejarah, diri sendiri, yang  tertulis  dan  tidak  tertulis.
Alhasil  objek  perintah  iqra' mencakup segala sesuatu yang
dapat dijangkaunya.

Demikian terpadu dalam perintah ini segala macam  cara  yang
dapat ditempuh manusia untuk meningkatkan kemampuannya.

Pengulangan  perintah membaca dalam wahyu pertama ini, bukan
sekadar menunjukkan bahwa kecakapan membaca tidak  diperoleh
kecuali  mengulang-ulangi  bacaan,  atau  membaca  hendaknya
dilakukan sampai mencapai batas maksimal  kemampuan,  tetapi
juga  untuk  mengisyaratkan  bahwa  mengulang-ulangi  bacaan
Bismi  Rabbika  (demi  karena   Allah)   akan   menghasilkan
pengetahuan  dan  wawasan  baru walaupun yang dibaca itu-itu
juga.

Mengulang-ulang membaca ayat Al-Quran menimbulkan penafsiran
baru, pengembangan gagasan, dan menambah kesucian jiwa serta
kesejahteraan batin.  Berulang-ulang  "membaca"  alam  raya,
membuka   tabir  rahasianya  dan  memperluas  wawasan  serta
menambah kesejahteraan lahir. Ayat Al-Quran yang  kita  baca
dewasa ini tak sedikit pun berbeda dengan ayat Al-Quran yang
dibaca Rasul dan generasi terdahulu. Alam raya pun demikian,
namun   pemahaman,   penemuan   rahasianya,  serta  limpahan
kesejahteraan-Nya terus berkembang, dan  itulah  pesan  yang
dikandung   dalam  Iqra'  wa  Rabbukal  akram  (Bacalah  dan
Tuhanmulah  yang  paling  Pemurah).  Atas   kemurahan-Nyalah
kesejahteraan demi kesejahteraan tercapai.

Sungguh,  perintah  membaca  merupakan  sesuatu  yang paling
berharga  yang  pernah  dan  dapat  diberikan  kepada   umat
manusia.   "Membaca"  dalam  aneka  maknanya  adalah  syarat
pertama dan utama pengembangan  ilmu  dan  teknologi,  serta
syarat  utama  membangun  peradaban.  Semua  peradaban  yang
berhasil bertahan  lama,  justru  dimulai  dari  satu  kitab
(bacaan). Peradaban Yunani di mulai dengan Iliad karya Homer
pada abad ke-9 sebelum Masehi. Ia berakhir  dengan  hadirnya
Kitab  Perjanjian Baru. Peradaban Eropa dimulai dengan karya
Newton  (1641-1727)  dan  berakhir  dengan  filsafat   Hegel
(1770-1831).   Peradaban   Islam   lahir   dengan  kehadiran
Al-Quran. Astaghfirullah menunjuk masa akhirnya, karena kita
yakin  bahwa ia tidak akan lekang oleh panas dan tidak lapuk
oleh hujan, selama umatnya ikut bersama Allah memeliharanya

  "Sesungguhnya Kami (Allah bersama Jibril yang
   diperintahNya) menurunkan Al-Quran, dan Kami
   (yakni Allah dengan keterlibatan manusia) yang
   memeliharanya" (QS Al-Hijr [15]: 9).

Pengetahuan  dan  peradaban  yang  dirancang  oleh  Al-Quran
adalah  pengetahuan  terpadu  yang melibatkan akal dan kalbu
dalam perolehannya. Wahyu pertama Al-Quran  menjelaskan  dua
cara perolehan dan pengembangan ilmu. Berikut keterangannya.

Setiap  pengetahuan  memiliki  subjek dan objek. Secara umum
subjek  dituntut  berperan  guna   memahami   objek.   Namun
pengalaman   ilmiah   menunjukkan   bahwa   objek  terkadang
memperkenalkan  dirinya  kepada  subjek  tanpa  usaha   sang
subjek.  Komet  Halley,  memasuki  cakrawala,  hanya sejenak
setiap 76 tahun. Dalam kasus  ini,  walaupun  para  astronom
menyiapkan   diri   dan  alat-alatnya  untuk  mengamati  dan
mengenalnya, tetapi sesungguhnya yang lebih berperan  adalah
kehadiran komet itu sendiri untuk memperkenalkan diri.

Wahyu,  ilham,  intuisi, atau firasat yang diperoleh manusia
yang siap dan suci jiwanya  atau  apa  yang  diduga  sebagai
"kebetulan" yang dialami oleh ilmuwan yang tekun, kesemuanya
tidak lain kecuali bentuk-bentuk pengajaran Allah yang dapat
dianalogikan  dengan  kasus komet di atas. Itulah pengajaran
tanpa qalam yang ditegaskan wahyu pertama ini.

  "Allah mengajar dengan pena (apa yang telah diketahui
   manusia sebelumnya), dan mengajar manusia (tanpa pena)
   apa yang belum ia ketahui" (QS Al-'Alaq [96]: 4-5)

Sekali lagi terlihat betapa Al-Quran  sejak  dini  memadukan
usaha  dan  pertolongan  Allah,  akal  dan  kalbu, pikir dan
zikir, iman dan ilmu. Akal tanpa  kalbu  menjadikan  manusia
seperti  robot, pikir tanpa zikir menjadikan manusia seperti
setan. Iman tanpa ilmu sama dengan pelita  di  tangan  bayi,
sedangkan ilmu tanpa iman bagaikan pelita di tangan pencuri.

Al-Quran    sebagai    kitab    terpadu,   menghadapi,   dan
memperlakukan   peserta   didiknya   dengan    memperhatikan
keseluruhan unsur manusiawi, jiwa, akal, dan jasmaninya.

Ketika  Musa  a.s.  menerima  wahyu  Ilahi,  yang menjadikan
beliau tenggelam dalam situasi spiritual, Allah menyentaknya
dengan pertanyaan yang berkaitan dengan kondisi material:

  "Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa?"
   (QS Thaha [20]: 17).

Musa sadar sambil menjawab,

  "Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya dan memukul
   (daun) dengannya untuk kambingku, disamping
   keperluan-keperluan lain" (QS Thaha [20]: 18).

Di sisi lain, agar peserta didiknya tidak larut  dalam  alam
material,  Al-Quran  menggunakan  benda-benda  alam, sebagai
tali penghubung untuk mengingatkan  manusia  akan  kehadiran
Allah  Swt.  dan  bahwa segala sesuatu yang teriadi -sekecil
apa  pun-  adalah  di  bawah  kekuasaan,  pengetahuan,   dan
pengaturan Tuhan Yang Mahakuasa.

  "Tidak sehelai daun pun yang gugur kecuali Dia
   mengetahuinya, dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam
   kegelapan bumi, tidak juga sesuatu yang basah atau
   kering kecuali tertulis dalam Kitab yang nyata (dalam
   jangkauan pengetahuannya)" (QS Al-An'am [6]: 59).

  "Bukan kamu yang melempar ketika kau melempar, tetapi
   Allah-lah (yang menganugerahkan kemampuan sehingga)
   kamu mampu melempar" (QS Al-Anfal [8]: 17).

Sungguh, ayat-ayat Al-Quran merupakan serat  yang  membentuk
tenunan  kehidupan Muslim, serta benang yang menjadi rajutan
jiwanya. Karena itu seringkali pada saat Al-Quran  berbicara
tentang  satu  persoalan  menyangkut satu dimensi atau aspek
tertentu, tiba-tiba ayat lain muncul berbicara tentang aspek
atau dimensi lain yang secara sepintas terkesan tidak saling
berkaitan. Tetapi bagi orang yang tekun mempelajarinya  akan
menemukan  keserasian  hubungan  yang amat mengagumkan, sama
dengan  keserasian  hubungan  yang  memadukan  gejolak   dan
bisikan-bisikan hati manusia, sehingga pada akhirnya dimensi
atau aspek yang tadinya terkesan  kacau,  menjadi  terangkai
dan terpadu indah, bagai kalung mutiara yang tidak diketahui
di mana ujung pangkalnya.

Salah satu tujuan  Al-Quran  memilih  sistematika  demikian,
adalah  untuk mengingatkan manusia -khususnya kaum Muslimin-
bahwa ajaran-ajaran Al-Quran adalah  satu  kesatuan  terpadu
yang tidak dapat dipisah-pisahkan.

Keharaman  makanan  tertentu  seperti babi, ancaman terhadap
yang enggan menyebarluaskan pengetahuan, anjuran bersedekah,
kewajiban  menegakkan  hukum, wasiat sebelum mati, kewajiban
puasa, hubungan  suami-istri,  dikemukakan  Al-Quran  secara
berurut   dalam   belasan  ayat  surat  Al-Baqarah.  Mengapa
demikian? Mengapa  terkesan  acak?  Jawabannya  antara  lain
adalah,  "Al-Quran  menghendaki  agar  umatnya  melaksanakan
ajarannya secara terpadu." Tidakkah  babi  lebih  dianjurkan
untuk  dihindari  daripada  keengganan menyebarluaskan ilmu.
Bersedekah tidak  pula  lebih  penting  daripada  menegakkan
hukum  dan  keadilan.  Wasiat sebelum mati dan menunaikannya
tidak kalah dari  berpuasa  di  bulan  Ramadhan.  Puasa  dan
ibadah  lainnya  tidak  boleh menjadikan seseorang lupa pada
kebutuhan jasmaniahnya, walaupun itu  adalah  hubungan  seks
antara    suami-istri.    Demikian    terlihat   keterpaduan
ajaran-ajarannya.

Al-Quran  menempuh  berbagai  cara  guna  mengantar  manusia
kepada   kesempurnaan   kemanusiaannya  antara  lain  dengan
mengemukakan  kisah  faktual  atau  simbolik.   Kitab   Suci
Al-Quran  tidak  segan  mengisahkan  "kelemahan  manusiawi,"
namun itu digambarkannya dengan  kalimat  indah  lagi  sopan
tanpa  mengundang  tepuk  tangan, atau membangkitkan potensi
negatif, tetapi untuk menggarisbawahi akibat buruk kelemahan
itu,  atau  menggambarkan  saat kesadaran manusia menghadapi
godaan nafsu dan setan.

Ketika Qarun  yang  kaya  raya  memamerkan  kekayaannya  dan
merasa  bahwa  kekayaannya  itu adalah hasil pengetahuan dan
jerih payahnya, dan setelah  enggan  berkali-kali  mendengar
nasihat,  terjadilah  bencana longsor sehingga seperti bunyi
firman Allah:


  "Maka Kami benamkan dia dan hartanya ke dalam bumi"
   (QS Al-Qashash [28]: 81).

  Dan berkatalah orang-orang yang kemarin mendambakan
  kedudukan Qarun, "Aduhai, benarlah Allah melapangkan
  rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki  dari  hamba-
  hamba-Nya dan mempersempitkannya. Kalau Allah tidak
  melimpahkan karuniaNya atas kita, niscaya kita pun
  dibenamkannya. Aduhai benarlah tidak beruntung orang-
  orang yang kikir (QS Al-Qashash [28]: 82).

Dalam konteks  menggambarkan  kelemahan  manusia,  Al-Quran,
bahkan    mengemukakan    situasi,   langkah   konkret   dan
kalimat-kalimat rayuan seorang wanita bersuami yang  dimabuk
cinta   oleh   kegagahan  seorang  pemuda  yang  tinggal  di
rumahnya,

Maksudnya,

  "(Setelah berulang-ulang kali merayu dengan berbagai
   cara terselubung). Ditutupnya semua pintu dengan amat
   rapat, seraya berkata (sambil menyerahkan dirinya
   kepada kekasihnya-setelah berdandan), "Ayolah kemari
   lakukan itu!" (QS Yusuf [12]: 23).
 
Demikian,  tetapi  itu  sama  sekali  berbeda  dengan   ulah
sementara  seniman,  yang  memancing  nafsu  dan  merangsang
berahi. Al-Quran  menggambarkannya  sebagai  satu  kenyataan
dalam  diri  manusia  yang tidak harus ditutup-tutupi tetapi
tidak  juga  dibuka   lebar,   selebar   apa   yang   sering
dipertontonkan, di layar lebar atau kaca.

Al-Quran  kemudian menguraikan sikap dan jawaban Nabi Yusuf,
anak muda yang dirayu wanita itu, juga  dengan  tiga  alasan
penolakan, seimbang dengan tiga cara rayuannya,

Yang pertama dan kedua adalah,

  "Aku berlindung kepada Allah, sesungguhnya suamimu
   adalah tuanku, yang memperlakukan aku dengan baik"
   (QS Yusuf [12]: 23).

Yang ketiga, khawatir kedua alasan itu belum cukup.

  "Dan sesungguhnya tidak pernah dapat berbahagia orang
   yang berlaku aniaya" (QS Yusuf [12]: 23).

Dalam bidang pendidikan, Al-Quran menuntut  bersatunya  kata
dengan  sikap.  Karena  itu,  keteladanan  para pendidik dan
tokoh masyarakat merupakan salah satu andalannya.

Pada saat Al-Quran mewajibkan anak menghormati  orangtuanya,
pada   saat   itu  pula  ia  mewajibkan  orang-tua  mendidik
anak-anaknya. Pada saat masyarakat diwajibkan menaati  Rasul
dan  para  pemimpin,  pada  saat  yang  sama  Rasul dan para
pemimpin diperintahkan menunaikan  amanah,  menyayangi  yang
dipimpin sambil bermusyawarah dengan mereka.

Demikian    Al-Quran    menuntut    keterpaduan   orang-tua,
masyarakat, dan pemerintah. Tidak mungkin keberhasilan dapat
tercapai  tanpa keterpaduan itu. Tidak mungkin kita berhasil
kalau beban pendidikan hanya dipikul oleh satu  pihak,  atau
hanya   ditangani   oleh  guru  dan  dosen  tertentu,  tanpa
melibatkan seluruh unsur kependidikan.

Dua puluh dua  tahun  dua  bulan  dan  dua  puluh  dua  hari
lamanya, ayat-ayat Al-Quran silih berganti turun, dan selama
itu pula  Nabi  Muhammad  Saw.  dan  para  sahabatnya  tekun
mengajarkan Al-Quran, dan membimbing umatnya. Sehingga, pada
akhirnya,  mereka  berhasil  membangun  masyarakat  yang  di
dalamnya  terpadu  ilmu  dan iman, nur dan hidayah, keadilan
dan kemakmuran di bawah lindungan ridha dan ampunan Ilahi.

Kita dapat bertanya mengapa 20 tahun lebih, baru selesai dan
berhasil?  Boleh jadi jawabannya dapat kita simak dari hasil
penelitian  seorang  guru  besar  Harvard  University,  yang
dilakukannya   pada   40  negara,  untuk  mengetahui  faktor
kemajuan atau kemunduran negara-negara itu.

Salah satu faktor utamanya -menurut sang Guru Besar-  adalah
materi  bacaan  dan  sajian yang disuguhkan khususnya kepada
generasi muda. Ditemukannya bahwa dua puluh tahun  menjelang
kemajuan atau kemunduran negara-negara yang ditelitinya itu,
para  generasi  muda  dibekali  dengan  sajian  dan   bacaan
tertentu. Setelah dua puluh tahun generasi muda itu berperan
dalam  berbagai  aktivitas,  peranan  yang  pada  hakikatnya
diarahkan  oleh  kandungan bacaan dan sajian yang disuguhkan
itu. Demikian dampak bacaan, terlihat  setelah  berlalu  dua
puluh tahun, sama dengan lama turunnya Al-Quran.

Kalau  demikian,  jangan  menunggu  dampak  bacaan  terhadap
anak-anak kita kecuali 20 tahun kemudian.  Siapa  pun  boleh
optimis  atau  pesimis,  tergantung  dari  penilaian tentang
bacaan  dan  sajian  itu.  Namun  kalau  melihat  kegairahan
anak-anak dan remaja membaca Al-Quran, serta kegairahan umat
mempelajari kandungannya, maka kita  wajar  optimis,  karena
kita  sepenuhnya yakin bahwa keberhasilan Rasul dan generasi
terdahulu dalam membangun peradaban Islam yang  jaya  selama
sekitar  delapan  ratus  tahun,  adalah karena Al-Quran yang
mereka baca  dan  hayati  mendorong  pengembangan  ilmu  dan
teknologi, serta kecerahan pikiran dan kesucian hati.

Kita wajar optimis, melihat kesungguhan pemerintah menangani
pendidikan, serta tekadnya mencanangkan wajib belajar.

Ayat "wa tawashauw bil haq" dalam QS Al-'Ashr [103]: 3 bukan
saja   mencanangkan   "wajib  belajar"  tetapi  juga  "wajib
mengajar."  Bukankah  tawashauw  berarti  saling   berpesan,
saling  mengajar,  sedang al-haq atau kebenaran adalah hasil
pencarian  ilmu?  Mencari  kebaikan   menghasilkan   akhlak,
mencari  keindahan  menghasilkan seni, dan mencari kebenaran
menghasilkan ilmu. Ketiga  unsur  itulah  yang  menghasilkan
sekaligus mewarnai suatu peradaban.

Al-Quran  yang  sering kita peringati nuzulnya ini bertujuan
antara lain:

1. Untuk membersihkan akal dan menyucikan jiwa dari
   segala bentuk syirik serta memantapkan keyakinan
   tentang keesaan yang sempurna bagi Tuhan seru sekalian
   alam, keyakinan yang tidak semata-mata sebagai suatu
   konsep teologis, tetapi falsafah hidup dan kehidupan
   umat manusia.

2. Untuk mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradab,
   yakni bahwa umat manusia merupakan suatu umat yang
   seharusnya dapat bekerja sama dalam pengabdian kepada
   Allah dan pelaksanaan tugas kekhalifahan.

3. Untuk menciptakan persatuan dan kesatuan, bukan saja
   antar suku atau bangsa, tetapi kesatuan alam semesta,
   kesatuan kehidupan dunia dan akhirat, natural dan
   supranatural, kesatuan ilmu, iman, dan rasio, kesatuan
   kebenaran, kesatuan kepribadian manusia, kesatuan
   kemerdekaan dan determinisme, kesatuan sosial, politik
   dan ekonomi, dan kesemuanya berada di bawah satu
   keesaan, yaitu Keesaan Allah Swt.

4. Untuk mengajak manusia berpikir dan bekerja sama
   dalam bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara
   melalui musyawarah dan mufakat yang dipimpin oleh
   hikmah kebijaksanaan.

5. Untuk membasmi kemiskinan material dan spiritual,
   kebodohan, penyakit, dan penderitaan hidup, serta
   pemerasan manusia atas manusia, dalam bidang sosial,
   ekonomi, politik, dan juga agama.

6. Untuk memadukan kebenaran dan keadilan dengan rahmat
   dan kasih sayang, dengan menjadikan keadilan sosial
   sebagai landasan pokok kehidupan masyarakat manusia

7. Untuk memberi jalan tengah antara falsafah monopoli
   kapitalisme dengan falsafah kolektif komunisme,
   menciptakan ummatan wasathan yang menyeru kepada
   kebaikan dan mencegah kemunkaran.

8. Untuk menekankan peranan ilmu dan teknologi, guna
   menciptakan satu peradaban yang sejalan dengan jati
   diri manusia, dengan panduan dan paduan Nur Ilahi.

Demikian sebagian  tujuan  kehadiran  Al-Quran,  tujuan
yang  tepadu  dan  menyeluruh, bukan sekadar mewajibkan
pendekatan religius yang bersifat ritual  atau  mistik,
yang  dapat  menimbulkan  formalitas  dan  kegersangan.
Al-Quran adalah petunjuk-Nya yang bila dipelajari  akan
membantu   kita   menemukan   nilai-nilai   yang  dapat
dijadikan pedoman bagi  penyelesaian  berbagai  problem
hidup.  Apabila  dihayati dan diamalkan akan menjadikan
pikiran, rasa, dan karsa kita mengarah kepada  realitas
keimanan    yang   dibutuhkan   bagi   stabilitas   dan
ketenteraman hidup pribadi dan masyarakat

Itulah Al-Quran dengan gaya bahasanya  yang  merangsang
akal  dan menyentuh rasa, dapat menggugah kita menerima
dan memberi kasih dan keharuan  cinta,  sehingga  dapat
mengarahkan  kita  untuk memberi sebagian dari apa yang
kita miliki untuk  kepentingan  dan  kemaslahatan  umat
manusia. Itulah Al-Quran yang ajarannya telah merupakan
kekayaan spiritual bangsa kita, dan yang  telah  tumbuh
subur dalam negara kita.s