Definisi Umat Islam
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "umat" diartikan
sebagai:
(1) para penganut atau pengikut suatu agama
(2) makhluk manusia
Dalam beberapa ensiklopedi, kata tersebut diartikan dengan
berbagai arti. Ada yang memahaminya sebagai bangsa seperti
keterangan Ensiklopedi Filsafat yang ditulis oleh sejumlah
Akademisi Rusia, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh
Samir Karam, Beirut 1974 M; ada juga yang mengartikannya
negara seperti dalam Al-Mu'jam Al-Falsafi, yang disusun oleh
Majma' Al-Lughah Al-'Arabiyah (Pusat Bahasa Arab), Kairo 1979
Pengertian-pengertian seperti yang telah diungkapkan di atas
dapat mengakibatkan kerancuan pemahaman terhadap konsep ummat
yang ada dalam Al-Quran. Bahkan, bisa jadi, akan menimbulkan
kesalahpahaman di kalangan umat Islam sendiri.
Kata ummat terambil dari kata [tulisan arab] (amma-yaummu)
Yang berarti menuju, menumpu, dan meneladani. Dari akar yang
sama, lahir antara lain kata um yang berarti "ibu" dan imam
yang maknanya "pemimpin"; karena keduanya menjadi teladan,
tumpuan pandangan, dan harapan anggota masyarakat.
Pakar-pakar bahasa berbeda pendapat tentang jumlah anggota
satu umat. Ada yang merujuk ke riwayat yang dinisbahkan kepada
Nabi Saw. bahwa beliau bersabda,
Tidak seorang mayat pun yang dishalatkan oleh umat
dari kaum Muslim sebanyak seratus orang, dan
memohonkan kepada Allah agar diampuni, kecuali
diampuni oleh-Nya (HR An-Nasa'i).
Ada juga yang mengatakan bahwa, angka empat puluh sudah bisa
disebut umat. Pakar hadis An-Nasa'i yang meriwayatkan hadis
serupa menyatakan bahwa Abu Al-Malih ditanyai tentang jumlah
orang yang shalat itu, dan menjawab, "Empat puluh orang."
Kalau kita merujuk kepada Al-Quran, agaknya penjelasan
Ar-Raghib dapat dipertanggungjawabkan.
Pakar bahasa Al-Quran itu (w. 508 H/1108 M) dalam bukunya
Al-Mufradat fi Gharib Al-Qur'an, menjelaskan bahwa kata ini
didefinisikan sebagai semua kelompok yang dihimpun oleh
sesuatu, seperti agama, waktu, atau tempat yang sama, baik
penghimpunannya secara terpaksa maupun atas kehendak mereka.
Secara tegas Al-Quran dan hadis tidak membatasi pengertian
umat hanya pada kelompok manusia.
Dan tidaklah binatang-binatang yang ada di bumi, dan
burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya
kecuali umat-umat juga seperti kamu (QS Al-An'am [6]:
38).
Rasulullah Saw. bersabda:
Semut (juqa) merupakan umat dan umat-umat (Tuhan) (HR.
Muslim).
Seandainya anjing-anjing bukan umat dan umat-umat
(Tuhan) niscaya saya perintahkan untuk dibunuh (HR
At-Tirmidzi dan An-Nasa'i).
Ikatan persamaan apa pun yang menyatukan makhluk hidup manusia
--atau binatang-- seperti jenis, suku, bangsa, ideologi, atau
agama, dan sebagainya, maka ikatan itu telah menjadikan mereka
satu umat. Bahkan Nabi Ibrahim a.s. --sendirian-- yang
menyatukan sekian banyak sifat terpuji dalam dirinya, disebut
oleh Al-Quran sebagai "umat" (QS Al- Nahl [16]: 120), dari
sini beliau kemudian menjadi imam, yakni pemimpin yang
diteladani.
Kata umat tidak hanya digunakan untuk manusia-manusia yang
taat beragama, karena dalam sebuah hadis dinyatakan bahwa
Rasul Saw. bersabda,
"Semua umatku masuk surga, kecuali yang enggan."
Beliau ditanyai, "Siapa yang enggan itu?" Dõjawabnya,
"Siapa yang taat kepadaku dia akan masuk surga, dan
yang durhaka maka ia telah enggan" (HR Bukhari melalui
Abu Hurairah).
Al-Quran surat Al-Ra'd ayat 30 menggunakan kata ummat untuk
menunjuk orang-orang yang enggan menjadi pengikut para Nabi.
Begitu kesimpulan Ad-Damighani (abad ke-ll H) dalam Kamus
Al-Quran yang disusunnya.
Kata ummat dalam bentuk tunggal terulang lima puluh dua kali
dalam Al-Quran. Ad-Damighani menyebutkan sembilan arti untuk
kata itu, yaitu, kelompok, agama (tauhid), waktu yang panjang,
kaum, pemimpin, generasi lalu, umat Islam, orang-orang kafir,
dan manusia seluruhnya.
Benang merah yang menggabungkan makna-makna di atas adalah
"himpunan".
Sungguh indah, luwes, dan lentur kata ini, sehingga dapat
mencakup aneka makna, dan dengan demikian dapat menampung
--dalam kebersamaannya-- aneka perbedaan.
Al-Quran memilih kata ini untuk menunjukkan antara lain
"himpunan pengikut Nabi Muhammad Saw. (umat Islam)", sebagai
isyarat bahwa ummat dapat menampung perbedaan
kelompok-kelompok, betapapun kecil jumlah mereka, selama masih
pada arah yang sama, yaitu Allah Swt.
Sesungguhnya umatmu ini (agama tauhid) adalah umat
(agama) yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka
sembahlah Aku (QS Al-Anbiya' [21]: 92).
Dalam kata "umat" terselip makna-makna yang cukup dalam. Umat
mengandung arti gerak dinamis, arah, waktu, jalan yang jelas,
serta gaya dan cara hidup. Untuk menuju pada satu arah, harus
jelas jalannya, serta harus bergerak maju dengan gaya dan cara
tertentu, dan pada saat yang sama membutuhkan waktu untuk
mencapainya. Al-Quran surat Yusuf (12): 45 menggunakan kata
umat untuk arti waktu. Sedangkan surat Al-Zukhruf (43): 22
untuk arti jalan, atau gaya dan cara hidup,
Ali Syariati dalam bukunya Al-Ummah wa Al-Imamah menyebutkan
keistimewaan kata ini dibandingkan kata semacam nation atau
qabilah (suku). Pakar ini mendefinisikan kata umat --dalam
konteks sosiologis-- sebagai "himpunan manusiawi yang seluruh
anggotanya bersama-sama menuju satu arah, bahu membahu, dan
bergerak secara dinamis di bawah kepemimpinan bersama."
Umat Islam disebut oleh Al-Quran surat Al-Baqarah {2): 143
sebagai ummat(an) wasatha.
Demikianlah itu Kami menjadikan kamu ummatan wasatha
agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia, dan
agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan)
kamu.
Mulanya, kata wasath berarti segala yang baik sesuai dengan
obyeknya. Sesuatu yang baik berada pada posisi di antara dua
ekstrem. Keberanian adalah pertengahan sifat ceroboh dan
takut. Kedermawanan merupakan pertengahan antara sikap boros
dan kikir. Kesucian merupakan pertengahan antara kedurhakaan
karena dorongan nafsu yang menggebu dan impotensi. Dari sini,
kata wasath berkembang maknanya menjad tengah.
Yang menghadapi dua pihak berseteru dituntut untuk menjadi
wasath (wasit) dan berada pada posisi tengah agar berlaku
adil. Dari sini, lahirlah makna ketiga wasath, yaitu adil.
Ummatan wasatha adalah umat moderat, yang posisinya berada di
tengah, agar dilihat oleh semua pihak, dan dari segenap
penjuru.
Mereka dijadikan demikian --menurut lanjutan ayat di atas--
agar mereka menjadi syuhada (saksi), sekaligus menjadi teladan
dan patron bagi yang lain, dan pada saat yang sama mereka
menjadikan Nabi Muhammad Saw. sebagai patron teladan dan saksi
pembenaran bagi semua aktivitasnya.
Keberadaan umat Islam dalam posisi tengah menyebabkan mereka
tidak seperti umat yang hanyut oleh materialisme, tidak pula
mengantarnya membumbung tinggi ke alam ruhani, sehingga tidak
lagi berpijak di bumi. Posisi tengah menjadikan mereka mampu
memadukan aspek ruhani dan jasmani, material, dan spiritual
dalam segala sikap dan aktivitas.
Wasathiyat (moderasi atau posisi tengah) mengundang umat Islam
untuk berinteraksi, berdialog, dan terbuka dengan semua pihak
(agama, budaya, dan peradaban), karena mereka tidak dapat
menjadi saksi maupun berlaku adil jika mereka tertutup atau
menutup diri dari lingkungan dan perkembangan global.[]