Robbul Alamin Tuhan Semesta Alam

Kalau kita menengok ke belakang, mempelajari kepercayaan
umat manusia, maka yang ditemukan adalah hampir semua umat
manusia mempercayai adanyaTuhan yang mengatur alam raya ini.
Orang-orang Yunani Kuno menganut paham politeisme (keyakinan
banyak tuhan): bintang adalah tuhan (dewa), Venus adalah
(tuhan) Dewa Kecantikan, Mars adalah Dewa Peperangan,
Minerva adalah Dewa Kekayaan, sedangkan Tuhan tertinggi
adalah Apollo atau Dewa Matahari.

Orang-orang Hindu -masa lampau juga mempunyai banyak dewa,
yang diyakini sebagai tuhan-tuhan. Keyakinan itu tercermin
antara lain dalam Hikayat Mahabarata. Masyarakat Mesir,
tidak terkecuali. Mereka meyakini adanya Dewa Iziz, Dewi
Oziris, dan yang tertinggi adalah Ra'. Masyarakat Persia pun
demikian, mereka percaya bahwa ada Tuhan Gelap dan Tuhan
Terang. Begitulah seterusnya.

Pengaruh keyakinan tersebut merambah ke masyarakat Arab,
walaupun jika mereka ditanya tentang Penguasa dan Pencipta
langit dan bumi mereka menjawab, "Allah." Tetapi dalam saat
yang sama mereka menyembah juga berhala-berhala Al-Lata, Al-
Uzza, dan Manata, tiga berhala terbesar mereka, di samping
ratusan berhala lainnya.

Al-Quran datang untuk meluruskan keyakinan itu, dengan
membawa ajaran tauhid. Tulisan ini berusaha untuk memaparkan
wawasan Al-Quran tentang hal tersebut, meskipun harus diakui
bahwa tulisan ini tidak mungkin dapat menjangkau
keseluruhannya. Dapat dibayangkan betapa luas pembahasan
tentang Tuhan Yang Maha Esa bila akan dirujuk keseluruhan
kata yang menunjuk-Nya. Kata "Allah" saja dalam Al-Quran
terulang sebanyak 2697 kali. Belum lagi kata-kata semacam
Wahid, Ahad, Ar-Rab, Al-Ilah, atau kalimat yang menafikan
adanya sekutu bagi-Nya baik dalam perbuatan atau wewenang
menetapkan hukum, atau kewajaran beribadah kepada selain-Nya
serta penegasian lain yang semuanya mengarah kepada
penjelasan tentang tauhid.

FITRAH MANUSIA: KEYAKINAN TENTANG KEESAAN ALLAH

Kalau kita membuka lembaran-lembaran Al-Quran, hampir tidak
ditemukan ayat yang membicarakan wujud Tuhan. Bahkan Syaikh
Abdul Halim Mahmud dalam bukunya Al-Islam wa Al-'Aql
menegaskan bahwa, "Jangankan Al-Quran, Kitab Taurat, dan
Injil dalam bentuknya yang sekarang pun (Perjanjian Lama dan
Baru) tidak menguraikan tentang wujud Tuhan." Ini disebabkan
karena wujud-Nya sedemikian jelas, dan "terasa" sehingga
tidak perlu dijelaskan.

Al-Quran mengisyaratkan bahwa kehadiran Tuhan ada dalam diri
setiap insan, dan bahwa hal tersebut merupakan fitrah
(bawaan) manusia sejak asal kejadiannya. Demikian dipahami
dari firman-Nya dalam surat Al-Rum (30): 30.

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah),
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. Tiada perubahan pada fitrah Allah.
(Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui."

Dalam ayat lain dikemukakan, bahwa:

"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan
anak-anak Adam dari sulbi mereka, dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), 'Bukankah
Aku ini Tuhanmu?' Mereka menjawab: 'Betul (Engkau Tuhan
kami), kami menyaksikan'" (QS Al-A'raf [7]: 172).

Apabila Anda duduk termenung seorang diri, pikiran mulai
tenang, kesibukan hidup atau haru hati telah dapat teratasi,
terdengarlah suara nurani, yang mengajak Anda untuk
berdialog, mendekat bahkan menyatu dengan suatu totalitas
wujud Yang Maha mutlak.

Suara itu mengantar Anda untuk menyadari betapa lemahnya
manusia dihadapan-Nya. dan betapa kuasa dan perkasa Dia Yang
Mahaagung itu. Suara yang Anda dengarkan itu, adalah suara
fitrah manusia. Setiap orang memiliki fitrah itu, dan
terbawa serta olehnya sejak kelahiran, walau seringkali
-karena kesibukan dan dosa-dosa- ia terabaikan, dan suaranya
begitu lemah sehingga tidak terdengar lagi. Tetapi bila
diusahakan untuk didengarkan, kemudian benar-benar tertancap
di dalam jiwa, maka akan hilanglah segala ketergantungan
kepada unsur-unsur lain kecuali kepada Allah semata, tiada
tempat bergantung, tiada tempat menitipkan harapan, tiada
tempat mengabdi kecuali kepada-Nya. La haula wa la quwwata
illa billahi-'Aliyyil-'Azhim (Tiada daya untuk memperoleh
manfaat, tiada pula kuasa untuk menolak mudarat, kecuali
bersumber dari Allah Yang Mahatinggi lagi Mahaagung). Dan
dengan demikian tidak ada lagi rasa takut yang menghantui
atau mencengkeram, tiada pula rasa sedih yang akan mencekam.

Sesungguhnya orang-orang yang berkata (berprinsip) bahwa
Tuhan Pemelihara kami adalah Allah, serta istiqamah dengan
prinsip itu, akan turun kepada mereka malaikat (untuk
menenangkan mereka sambil berkata) "Jangan takut, jangan
bersedih, berbahagialah kalian dengan surga yang dijanjikan"
(QS Fushshilat [41]: 30)

"Orang-orang yang beriman dan jiwa mereka menjadi tenteram
karena mengingat Allah. Memang hanya dengan mengingat
Allahlah jiwa menjadi tenteram" (QS Al-Ra'd [13]: 28).

Memang boleh jadi ada saat-saat dalam hidup ini -singkat
atau panjang- dimana manusia mengalami keraguan tentang
wujud-Nya, bahkan boleh jadi keraguan tersebut mengantarnya
untuk menolak kehadiran Tuhan dan menanggalkan
kepercayaannya, tetapi ketika itu keraguannya akan beralih
menjadi kegelisahan, khususnya pada saat-saat ia merenung.

Di atas telah penulis katakan bahwa hampir tidak ditemukan
ayat yang membicarakan tentang wujud Tuhan. Ini, karena
harus diakui bahwa ada beberapa ayat Al-Quran yang dapat
dipahami sebagai berbicara tentang wujud Tuhan, dan ada pula
beberapa ayat yang mengisyaratkan adanya segelintir manusia
yang ateis. Misalnya,

"Dan mereka berkata, 'Kehidupan ini tidak lain hanyalah
kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak
ada yang membinasakan kita selain masa.'" (QS Al-Jatsiyah
[45]: 24)

Namun seperti bunyi lanjutan ayat di atas,

"Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu,
dan mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja."

Bahkan boleh jadi kita dapat berkata bahwa mereka yang tidak
mempercayai wujud Tuhan adalah orang-orang yang kehabisan
akal dan keras kepala ketika berhadapan dengan satu
kenyataan yang tidak sesuai dengan "nafsu kotornya" itu.

Yang demikian dapat dipahami dari ayat yang menguraikan
diskusi yang terjadi antara Nabi Ibrahim a.s. dan penguasa
masanya (Namrud) (QS Al-Baqarah [2]: 258), atau Fir'aun
ketika berhadapan dengan Musa a.s. yang bertanya, "Siapa
Tuhan semesta alam itu?" (QS Al-Syu'ara, 126]: 23).

Salah satu bukti bahwa pernyataan ini lahir dari sikap keras
kepala adalah pengakuan Fir'aun sendiri ketika ruhnya akan
meninggalkan jasadnya. Dalam konteks ini Al-Quran,
menjelaskan sikap Fir'aun yang ketika itu kembali kepada
fitrah, namun sayang dia telah terlambat.

"... hingga saat Fir'aun telah hampir tenggelam, berkatalah
dia. 'Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan
yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk
orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).' Apakah
sekarang (baru kamu percaya) padahal sesungguhnya kamu telah
durhaka sejak dahulu dan kamu termasuk orang-orang yang
berbuat kerusakan?" (QS Yunus [10]: 90-91).

Ayat ini sekaligus membuktikan bahwa kehadiran Tuhan
merupakan fitrah manusia yang merupakan kebutuhan hidupnya.
Kalaupun ada yang mengingkari wujud tersebut, maka
pengingkaran tersebut bersifat sementara. Dalam arti bahwa
pada akhirnya -sebelum jiwanya berpisah dengan jasadnya- ia
akan mengakui-Nya. Memang, kebutuhan manusia
bertingkat-tingkat, ada yang harus dipenuhi segera seperti
kebutuhan udara, ada yang dapat ditangguhkan untuk beberapa
saat, seperti kebutuhan minum. Kebutuhan untuk makan, dapat
ditangguhkan lebih lama daripada kebutuhan minuman, tetapi
kebutuhan pemenuhan seksual bisa lebih lama ditangguhkan
daripada kebutuhan pada makan dan minum; demikian
seterusnya. Kebutuhan yang paling lama dapat ditangguhkan
adalah kebutuhan tentang keyakinan akan adanya Allah Swt.,
Tuhan Yang Maha Esa.

TAUHID ADALAH PRINSIP DASAR AGAMA SAMAWI

Merujuk kepada Al-Quran, dapat kita temukan bahwa para Nabi
dan Rasul selalu membawa ajaran tauhid.

"Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu, kecuali
Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada Tuhan selain Aku,
maka sembahlah Aku" (QS Al-Anbiya' [21]: 25).

"Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan
bagimu selain-Nya."

Demikian ucapan Nabi Nuh, Hud, Shaleh dan Syu'aib yang
diabadikan Al-Quran masing-masing secara berurut dalam surat
Al-A'raf (7): 59, 65, 73, dan 85.

Demikian juga ajaran yang diterima Musa a.s. langsung dari
Allah:

"Aku yang memilihmu, maka dengarkan dengan tekun, apa yang
diwahyukan (padamu): 'Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak
ada Tuhan selain Aku. Sembahlah Aku, dan dirikanlah shalat
untuk mengingat-Ku'" (QS Thaha [20] 13-14)

Nabi Isa a.s. juga mengajarkan prinsip ini kepada umatnya:

"Isa berkata (kepada Bani Israil), 'Hai Bani Israil,
sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu.' Sesunguhnya siapa yang
mempersekutukan-Nya maka Allah mengharamkan baginya surga,
dan tempatnya adalah neraka. Tiada penolong bagi orang-orarg
yang aniaya." (QS Al-Maidah [5]: 72)

Namun, walaupun semua nabi membawa ajaran tauhid, terlihat
melalui ayat-ayat Al-Quran bahwa ada perbedaan dalam
pemaparan mereka tentang prinsip tauhid. Jelas sekali bahwa
Nabi Muhammad Saw., melalui Al-Quran diperkaya oleh Allah
dengan aneka penjelasan dan bukti, serta jawaban yang
membungkam siapa pun yang mempersekutukan Tuhan

Allah Swt. menyesuaikan tuntunan yang dianugerahkan kepada
para Nabi-Nya sesuai dengan tingkat kedewasaan berpikir umat
mereka. Karena itu hampir tidak ada bukti-bukti logis yang
dikemukakan oleh Nabi Nuh kepada umatnya, dan pada akhirnya
setelah mereka tetap membangkang, jatuhlah sanksi yang
memusnahkan mereka:

"Maka topan membinasakan mereka, dan mereka adalah
orang-orang aniaya" (QS Al-'Ankabut [29]: 14).

Ketika tiba masa Nabi Hud a.s. -yang masanya belum terlalu
jauh dari Nuh- pemaparan beliau hampir tidak berbeda, tetapi
di sana sini telah jelas bahwa masyarakat yang diajaknya
berdialog, memiliki kemampuan berpikir sedikit di atas umat
Nuh. Karena itu, pemaparan tentang tauhid yang dikemukakan
oleh Hud a.s. disertai dengan peringatan tentang
nikmat-nikmat Allah yang mereka dapatkan. Dalam rangkaian
ayat-ayat yang mengingatkan mereka akan keesaan Allah, Hud
mengingatkan:

"Ingatlah (nikmat Allah) oleh kamu sekalian ketika Allah
menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa)
sesudah lenyapnya kaum Nuh; dan Tuhan melebihkan kekuatan
tubuh dan perawakanmu (daripada kaum Nuh), maka ingatlah
nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan (QS
Al-A'raf [7]: 69, dan juga dalam QS Al-Syu'ara' [26]:
123-140)

Nabi Shaleh yang datang sesudah Nabi Hud a.s. lebih luas dan
rinci penjelasannya, karena wawasan umatnya lebih luas pula.
Mereka misalnya diingatkan tentang asal kejadian mereka dari
tanah atau tugas mereka memakmurkan bumi (QS Hud [11]: 61).

Akal yang mampu mencerna dapat memahami bahwa asal kejadian
manusia berasal dari tanah -dalam arti bahwa sperma yang
dituangkan ke rahim istri berasal dari makanan yang
dihasilkan oleh bumi. Manusia yang memiliki akal yang dapat
mencerna ini atau walau hanya memahaminya secara umum,
pastilah lebih mampu dari mereka yang sekadar dipaparkan
kepadanya nikmat-nikmat Ilahi, sebagaimana halnya kaum Hud
dan Nuh- Di samping itu ada bukti lain yang dikemukakan Nabi
Shaleh:

"Dan kepada Tsamud (Kami mengutus) saudara mereka Shaleh.
Dia berkata, 'Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali
tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang
bukti yang sangat nyata kepadamu; unta betina Allah ini
sebagai bukti untuk kamu ...'" (QS Al-A'raf [7]: 73).

Ketika tiba masa Syu'aib, ajakan dakwahnya lebih luas lagi,
melampaui batas yang disinggung oleh ketiga Nabi sebelumnya.
Kali ini ajaran tauhid tidak saja dikaitkan dengan
bukti-bukti, tetapi juga dirangkaikan dengan hukum-hukum
syariat.

"Dan kepada penduduk Madyan (Kami mengutus) saudara mereka
Syu'aib. Ia berkata, 'Hai kaumku, sembahlah Allah,
sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya
telah datang kepadamu bukti yang nyata dan Tuhanmu. Maka
sempurnakanlah takaran dan timbangan, dan janganlah kamu
kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan
timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi
sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik
bagimu, jika kamu benar-benar orang yang beriman.'" (QS
Al-A'raf [7]: 85).

Ayat ini bahkan menggugah jiwa dan menuntut mereka untuk
membangun satu masyarakat yang penuh dengan kemakmuran dan
keadilan.

Setelah itu, datang ajakan Nabi Ibrahim, yang merupakan
periode baru dari tuntunan tentang Ketuhanan Yang Maha Esa.
Nabi Ibrahim a.s. dikenal sebagai "Bapak Para Nabi," "Bapak
Monoteisme," serta "Proklamator Keadilan Ilahi" karena
agama-agama samawi terbesar dewasa ini merujuk kepada agama
beliau.

Ibrahim a.s. menemukan dan membina keyakinannya melalui
pencarian dan pengalaman-pengalaman keruhanian yang
dilaluinya dan hal ini -secara Qurani- terbukti bukan saja
dalam penemuannya tentang keesaan Tuhan seru sekalian alam,
sebagaimana diuraikan dalam surat Al-An'am ayat 75, tetapi
juga dalam keyakinan tentang hari kebangkitan. Menarik untuk
diketahui bahwa beliaulah satu-satunya Nabi yang disebut
Al-Quran bermohon kepada Allah untuk diperlihatkan bagaimana
cara-Nya menghidupkan yang mati, dan permintaan beliau itu
dikabulkan Allah (QS Al-Baqarah [2]: 260)

Para ilmuwan seringkali berbicara tentang penemuan-penemuan
manusia yang mempengaruhi atau bahkan mengubah jalannya
sejarah kemanusiaan. Tetapi, seperti ditulis Abbas Al-'Aqqad
dalam Abu Al-Anbiyya': "Penemuan yang dikaitkan dengan Nabi
Ibrahim a.s. merupakan penemuan manusia yang terbesar, dan
yang tidak dapat diabaikan oleh para ilmuwan atau sejarawan.
Ia tidak dapat dibandingkan dengan penemuan roda, api,
listrik, atau rahasia-rahasia atom -betapapun besarnya
pengaruh penemuan-penemuan tersebut- yang semua itu dikuasai
oleh manusia. Penemuan Ibrahim menguasai jiwa dan raga
manusia. Penemuan Ibrahim menjadikan manusia yang tadinya
tunduk kepada alam menjadi mampu menguasai alam, serta
menilai baik buruknya. Penemuan manusia dapat menjadikannya
berlaku sewenang-wenang, tetapi kesewenangan-wenangan ini
tidak mungkin dilakukannya selama penemuan Ibrahim a.s.
tetap menghiasi jiwanya. Penemuan tersebut berkaitan dengan
apa yang diketahui dan tidak-diketahuinya berkaitan
kedudukannya sebagai makhluk, dan hubungan makhluk ini
dengan Tuhan, alam raya, dan makhluk-makhluk sesamanya."

Karena itu ketika memaparkan tauhid kepada umatnya, Nabi
mulia ini tidak lagi berkata sebagai Nabi-nabi sebelumnya
berkata,

"Sembahlah Allah, kalian tidak memiliki Tuhan selain-Nya,"

tetapi dinyatakannya,

"Sembahlah Allah dan bertakwalah kepada-Nya, yang demikian
itu lebih baik untukmu kalau kamu mengetahuinya" (QS
Al-'Ankabut [29]: 16)

Dan dinyatakannya bahwa Tuhan yang disembah adalah Tuhan
seru sekalian alam, bukan Tuhan suku, bangsa dan jenis
makhluk tertentu saja.

"Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Tuhan yang
menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama
yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Tuhan" (QS Al-'An'am [6]: 79).

"Dia (Ibrahim) berkata (kepada kaumnya), 'Sebenarnya Tuhan
kamu adalah Tuhan seluruh langit dan bumi yang telah
menciptakannya, dan aku termasuk orang-orang yang dapat
memberikan bukti atas yang demikian itu" (QS Al-Anbiya,
[21]: 56).

Terlihat juga dari Al-Quran bagaimana beliau "berdiskusi"
dengan umatnya dalam rangka membuktikan kesesatan mereka,
dan menunjukkan kebenaran akidah tauhid (antara lain surat
Al-Anbiya, [21]: 51-67).

Demikianlah tahap baru dalam uraian tauhid, dan karena itu
-seperti ditulis oleh Abdul-Karim Al-Khatib dalam buku
karyanya, Qadhiyat Al-Uluhiyyah baina Al-Falsafah wa Ad-Din-
sejak Nabi Ibrahim, sampai dengan nabi-nabi sesudahnya tidak
dikenal lagi pemusnahan total bagi umat satu Nabi
sebagaimana yang terjadi terhadap umat-umat sebelumnya.

Pemaparan tauhid pun dari hari ke hari semakin mantap dan
jelas hingga mencapai puncaknya dengan kehadiran Nabi
Muhammad Saw.

Uraian Al-Quran tentang Tuhan kepada umat Nabi Muhammad Saw.
dimulai dengan pengenalan tentang perbuatan dan sifat-Nya.
Ini terlihat secara jelas ketika wahyu pertama turun.

"Bacalah demi Tuhan-Mu yang menciptakan (segala sesuatu).
Dia telah menciptakan manusia dari 'alaq. Bacalah dan
Tuhan-mulah yang (bersifat) Maha Pemurah, yang mengajar
manusia dengan qalam, mengajar manusia apa yang tidak
diketahui(-nya)" (QS Al-'Alaq [96]: 1-5).

Dalam rangkaian wahyu-wahyu pertama. Al-Quran menunjuk
kepada kepadaTuhan Yang Maha Esa dengan kata Rabbuka (Tuhan)
Pemeliharamu (Wahai Muhammad), bukan kata "Allah."1

Hal ini untuk menggarisbawahi Wujud Tuhan Yang Maha Esa,
yang dapat dibuktikan melalui ciptaan atau perbuatan-Nya.

Dari satu sisi memang dikenal satu ungkapan yang oleh
sementara pakar dinilai sebagai hadis Qudsi yang berbunyi:

"Aku adalah sesuatu yang tersembunyi, Aku berkehendak untuk
dikenal, maka Kuciptakan makhluk agar mereka mengenal-Ku."

Di sisi lain, tidak digunakannya kata "Allah" pada
wahyu-wahyu pertama itu, adalah dalam rangka meluruskan
keyakinan kaum musyrik, karena mereka juga menggunakan kata
"Allah" untuk menunjuk kepada Tuhan, namun keyakinan mereka
tentang Allah berbeda dengan keyakinan yang diajarkan oleh
Islam.

Mereka misalnya beranggapan bahwa ada hubungan antara
"Allah" dan jin (QS Al-Shaffat [37]: 158), dan bahwa Allah
memiliki anak-anak wanita (QS Al-Isra' [17]: 40), serta
manusia tidak mampu berhubungan dan berdialog dengan Allah,
karena Dia demikian tinggi dan suci, sehingga para malaikat
dan berhala-berhala perlu disembah sebagai
perantara-perantara antara mereka dengan Allah (QS Al-Zumar
[39]: 3)

Dan kekeliruan-kekeliruan itu, maka Al-Quran melakukan
pelurusan-pelurusan yang dipaparkannya dengan berbagai gaya
bahasa, cara dan bukti. Sekali dengan pernyataan tegas yang
didahului dengan sumpah, misalnya:

"Demi (rombongan) yang bershaf-shaf dengan sebenar-benarnya,
dan demi (rombongan) yang melarang (perbuatan durhaka)
dengan sebenar-benamya, dan demi (rombongan) yang membacakan
pelajaran. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Esa, Tuhan
langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya, dan
Tuhan tempat-tempat terbitnya matahari" (QS Al-Shaffat [37]:
1-5).

Dalam ayat lain diajukan pertanyaan yang mengandung kecaman,

"Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang banyak bermacam-macam
itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Mahaperkasa?" (QS Yusuf
[12]: 39).

Kemudian Al-Quran juga menggunakan gaya perumpamaan,
seperti:

"Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung
selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah.
Sesungguhnya rumah yang paling rapuh adalah rumah laba-laba,
kalau mereka mengetahui" (QS Al-'Ankabut [29]: 41).

Ayat ini memberi perumpamaan mengenai orang-orang yang
meminta perlindungan kepada selain Allah, sebagai serangga
yang berlindung ke sarang laba-laba. Serangga itu tentu akan
terjerat menjadi mangsa laba-laba, dan bukannya terlindung
olehnya. Bahkan jangankan serangga yang berlainan jenisnya,
yang satu jenis pun seperti jantan laba-laba, berusaha
diterkam oleh laba-laba betina begitu mereka selesai
berhubungan seks. Kemudian telur-telur laba-laba yang baru
saja menetas, saling tindih-menindih sehingga yang menjadi
korban adalah yang tertindih.

Dalam kesempatan lain, Al-Quran memaparkan kisah-kisah yang
bertujuan menegakkan tauhid, seperti kisah Nabi Ibrahim
ketika memorak-porandakan berhala-berhala kaumnya (QS
Al-Anbiya' [21]: 51-71)

BUKTI-BUKTI KEESAAN TUHAN

Ada sementara orang yang menuntut bukti wujud dan keesaan
Tuhan dengan pembuktian material. Mereka ingin segera
melihat-Nya di dunia ini. Nabi Musa a.s. suatu ketika pernah
bermohon agar Tuhan menampakkan diri-Nya kepadanya, sehingga
Tuhan berfirman sebagai jawaban atas permohonannya,

"'Engkau sekali-kali tidak akan dapat melihat-Ku. Tetapi
lihatlah ke bukit itu, jika ia tetap di tempatnya [seperti
keadaannya semula), niscaya kamu dapat melihat-Ku.' Tatkala
Tuhannya tampak bagi gunung itu, kejadian tersebut
menjadikan gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh
pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata, 'Maha
suci Engkau, aku bertobat kepada-Mu, dan aku orang yang
pertama (dari kelompok) orang beriman'" (QS Al-A'raf [7]:
143).

Peristiwa ini membuktikan bahwa manusia agung pun tidak
berkemampuan untuk melihat-Nya -paling tidak- dalam
kehidupan dunia ini. Agaknya kenyataan sehari-hari
menunjukkan bahwa kita dapat mengakui keberadaan sesuatu
tanpa harus melihatnya. Bukankah kita mengakui adanya angin,
hanya dengan merasakan atau melihat bekas-bekasnya? Bukankah
kita mengakui adanya "nyawa" bukan saja tanpa melihatnya
bahkan tidak mengetahui substansinya?

Di sisi lain ada dua faktor yang menjadikan makhluk tidak
dapat melihat sesuatu. Pertama, karena sesuatu yang akan
dilihat terlalu kecil apalagi dalam kegelapan. Sebutir pasir
lebih-lebih di malam yang kelam tidak mungkin ditemukan oleh
seseorang. Namun kegagalan itu tidak berarti pasir yang
dicari tidak ada wujudnya. Faktor kedua adalah karena
sesuatu itu sangat terang. Bukankah kelelawar tidak dapat
melihat di siang hari, karena sedemikian terangnya cahaya
matahari dibanding dengan kemampuan matanya untuk melihat?
Tetapi bila malam tiba, dengan; mudah ia dapat melihat.
Demikian pula manusia tidak sanggup menatap matahari dalam
beberapa saat saja, bahkan sesaat setelah menatapnya ia akan
menemukan kegelapan Kalau demikian wajar jika mata kepalanya
tak mampu melihat Tuhan Pencipta matahari itu.

Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya
bernama Zi'lib Al-Yamani,

"Apakah Anda pernah melihat Tuhan?" Beliau menjawab,
"Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?"
"Bagaimana Anda melihat-Nya?" tanyanya kembali. Imam Ali
menjawab,"Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangannya
yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat
keimanan ..."

Mata hati jauh lebih tajam dan dapat lebih meyakinkan
daripada pandangan mata. Bukankah mata sering menipu kita?
Kayu yang lurus terlihat bengkok di dalam sungai, bintang
yang besar terlihat kecil dari kejauhan.

Dalam kaitan dengan argumen-argumen dan bukti-bukti logika,
kita dapat menyatakan bahwa tidak ada satu argumen yang
dikemukakan oleh para filosof tentang Wujud dan Keesaan
Tuhan yang tidak dikemukakan Al-Quran. Hanya bedanya bahwa
kalimat-kalimat yang digunakan Al-Quran sedemikian sederhana
dan mudah ditangkap, berbeda dengan para filosof yang
seringkali berbelit-belit.

Dahulu dikenal apa yang dinamai bukti ontologi, kosmologi,
dan teleologi. Bukti ontologi menggambarkan bahwa kita
mempunyai ide tentang Tuhan, dan tidak dapat membayangkan
adanya sesuatu yang lebih berkuasa dan-Nya. Bukti kosmologi
berdasar pada ide "sebab dan akibat" yakni, tidak mungkin
tertadi sesuatu tanpa ada penyebabnya, dan penyebab terakhir
pastilah Tuhan. Bukti teleologi, berdasar pada keseragaman
dan keserasian alam, yang tidak dapat terjadi tanpa ada satu
kekuatan yang mengatur keserasian itu

Kini para filosof memperkenalkan bukti-bukti baru, seperti
pengalaman moral. Pengalaman moral merupakan tanda tentang
adanya yang real; pengalaman ini tidak akan berarti tanpa
adanya susunan moral yang objektif, dan ini pada gilirannya
tidak akan berarti tanpa adanya satu Zat Yang Mahatinggi,
Tuhan Yang Mahakuasa.

Bukti lain adalah pengalaman keagamaan yang dialami oleh
kebanyakan manusia yang tidak diragukan kejujurannya, dan
yang intinya mengandung informasi yang sama.

Bukti-bukti yang dipaparkan di atas, dikemukakan oleh
Al-Quran dengan berbagai cara, baik tersurat maupun
tersirat.

Secara umum kita dapat membagi uraian Al-Quran tentang bukti
Keesaan Tuhan dengan tiga bagian pokok, yaitu:

1. Kenyataan wujud yang tampak.
2. Rasa yang terdapat dalam jiwa manusia.
3. Dalil-dalil logika.

1. KENYATAAN WUJUD YANG TAMPAK

Dalam konteks ini Al-Quran menggunakan seluruh wujud sebagai
bukti, khususnya keberadaan alam raya ini dengan segala
isinya. Berkali-kali manusia diperintahkan untuk melakukan
nazhar, fikr, serta berjalan di permukaan bumi guna melihat
betapa alam raya ini tidak mungkin terwujud tanpa ada yang
mewujudkannya.

"Tidakkah mereka melihat kepada unta bagaimana diciptakan,
dan ke langit bagaimana ia ditinggikan, ke gunung bagaimana
ia ditancapkan, serta ke bumi bagaimana ia dihamparkan?" (QS
Al-Ghasyiyah [88]: l7-20).

Dalam uraian Al-Quran tentang kenyataan wujud,
dikemukakannya keindahan dan keserasian alam raya.

"Tidakkah mereka melihat ke langit di atas mereka, bagaimana
Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak
mempunyai retak-retak sedikit pun? Dan Kami hamparkan bumi
serta Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh, dan
Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah
dipandang mata." (QS Qaf [50]: 6-7).

Adapun keserasiannya, maka dinyatakannya:

"(Allah) yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu
sama sekali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha
Pengasih sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah
berulang-ulang, adakah sesuatu yang kamu lihat tidak
seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi, niscaya
penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan
sesuatu pun yang cacat, dan penglihatanmu itu pun dalam
keadaan payah" (QS Al-Mulk [67]: 3-4).

2. RASA YANG TERDAPAT DALAM JIWA MANUSIA

Dalam konteks ini, Al-Quran misalnya mengingatkan manusia,

"Katakanlah (hai Muhammad kepada yang mempersekutukan
Tuhan), 'Jelaskanlah kepadaku jika datang siksaan Allah
kepadamu, atau datang hari kiamat, apakah kamu menyeru
(tuhan) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar?'
Tidak! Tetapi hanya kepada-Nya kamu bermohon, maka Dia
menyisihkan bahaya yang karenanya kamu berdoa kepada-Nya,
jika Dia menghendaki, dan kamu tinggalkan sembahan-sembahan
yang kamu sekutukan (dengan Allah)" (QS Al-An'am [6]:
40-41).

"Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di
daratan, dan (berlayar) di lautan. Sehingga bila kamu berada
di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa para
penumpangnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka
bergembira karenanya: (kemudian) datanglah angin badai dan
apabila gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan
mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka
mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan
kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata) 'Sesungguhnya jika
Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami
akan termasuk orang-orang yang bersyukur'" (QS Yunus [10]:
22).

Demikian Al-Quran menggambarkan hati manusia. Karena itu
sungguh tepat pandangan sementara filosof yang menyatakan
bahwa manusia dapat dipastikan akan terus mengenal dari
berhubungan dengan Tuhan sampai akhir zaman, walaupun ilmu
pengetahuan membuktikan lawan dari hal tersebut. Ini selama
tabiat kemanusiaan masih sama seperti sediakala, yakni
memiliki naluri mengharap, cemas, dan takut, karena kepada
siapa lagi jiwanya akan mengarah jika rasa takut atau
harapannya tidak lagi dapat dipenuhi oleh makhluk, sedangkan
harapan dan rasa takut manusia tidak pernah akan putus.

3. DALIL-DALIL LOGIKA

Bertebaran (ayat-ayat yang menguraikan dalil-dalil aqliah
tentang Keesaan Tuhan- Misalnya,

"Bagaimana Dia mempunyai anak, padahal Dia tidak mempunyai
istri. Dia yang menciptakan segala sesuatu, dan Dia
mengetahui segala sesuatu" (QS Al-An'am [6]: 101)

"Seandainya pada keduanya (langit dan bumi) ada dua Tuhan,
maka pastilah keduanya binasa" (QS Al-Anbiya' [21]: 22)

Maksud ayat ini adalah "seandainya ada dua pencipta, maka
akan kacau ciptaan, karena jika masing-masing Pencipta
menghendaki sesuatu yang tidak dikehendaki oleh yang lain,
maka kalau keduanya berkuasa, ciptaan pun akan kacau atau
tidak akan mewujud; kalau salah satu mengalahkan yang lain,
maka yang kalah bukan Tuhan; dan apabila mereka berdua
bersepakat, maka itu merupakan bukti kebutuhan dan kelemahan
mereka, sehingga keduanya bukan Tuhan, karena Tuhan tidak
mungkin membutuhkan sesuatu atau lemah atas sesuatu."

Pengalaman ruhani pun disebutkan oleh Al-Quran yaitu
pengalaman para Nabi dan Rasul. Misalnya pengalaman Nabi
Musa a.s. (Baca QS Thaha [20]: 9-47). Demikian juga
pengalaman Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad Saw., serta
nabi-nabi yang lain dengan berbagai rinciannya yang berbeda,
namun semuanya bermuara pada tauhid atau Keesaan Tuhan.

Di samping mengemukakan dalil-dalil di atas, Al-Quran juga
mengajak mereka yang mempersekutukan Tuhan untuk memaparkan
hujjah mereka

"Apakah mereka mengambil tuhan-tuhan selain-Nya? Katakanlah,
'Kemukakan bukti kalian!'" (QS Al-Anbiya' [21]: 24).

"Katakanlah, 'Jelaskanlah kepadaku tentang apa yang kamu
sembah selain Allah; perlihatkan kepada-Ku apakah yang telah
mereka ciptakan dan bumi ini, atau adakah mereka berserikat
(dengan Allah) dalam (penciptaan) langit. Bawalah kepadaku
kitab sebelum (Al-Quran) ini, atau peninggalan dan
pengetahuan (orang-orang dahulu) jika kamu adalah
orang-orang yang benar'" (QS Al-Ahqaf [46]: 4)

MACAM-MACAM KEESAAN

Berbicara tentang macam-macam keesaan Allah mengantarkan
kita untuk memahami paling tidak surat Al-Ikhlas, sedikitnya
tentang ayatnya yang pertama,

"Katakanlah! Dia Allah Yang Maha Esa."

Abu As-Su'ud, salah seorang pakar tafsir dan tasawuf menulis
dalam tafsirnya, bahwa Al-Quran menempatkan kata huwa untuk
menunjuk kepada Allah, padahal sebelumnya tidak pernah
disebut dalam susunan redaksi ayat ini kata yang menunjuk
kepada-Nya. Ini, menurutnya, untuk memberi kesan bahwa Dia
Yang Mahakuasa itu, sedemikian terkenal dan nyata, sehingga
hadir dalam benak setiap orang dan hanya kepada-Nya selalu
tertuju segala isyarat.

Ahad yang diterjemahkan dengan kata Esa terambil dari akar
kata wahdat yang berarti "kesatuan," seperti juga kata wahid
yang berarti "satu." Kata ini sekali berkedudukan sebagai
nama, dan sekali sebagai sifat bagi sesuatu. Apabila ia
berkedudukan sebagai sifat, maka ia hanya digunakan untuk
Allah Swt. semata.

Dalam ayat di atas, kata Ahad berfungsi sebagai sifat Allah
Swt., dalam arti bahwa Allah memiliki sifat-sifat tersendiri
yang tidak dimiliki oleh selain-Nya.

Dari segi bahasa, kata Ahad walaupun berakar sama dengan
Wahid, tetapi masing-masing memiliki makna dan penggunaan
tersendiri. Kata Ahad hanya digunakan untuk sesuatu yang
tidak dapat menerima penambahan baik dalam benak apalagi
dalam kenyataan, karena itu kata ini -ketika berfungsi
sebagai sifat- tidak termasuk dalam rentetan bilangan,
berbeda halnya dengan wahid (satu); Anda dapat menambahnya
sehingga menjadi dua, tiga, dan seterusnya, walaupun
penambahan itu hanya dalam benak pengucap atau pendengarnya.

Berbicara tentang angka -dalam kaitannya dengan bahasan
tauhid- agaknya menarik untuk dihayati bahwa kata "Ahad"
terulang di dalam Al-Quran sebanyak 85 kali, namun hanya
sekali yang menjadi sifat Tuhan yakni firman-Nya dalam surat
Al-Ikhlas, "Qul Huwa Allahu Ahad." Seakan-akan Allah
bermaksud untuk menekankan keyakinan tauhid, bukan saja
dalam maknanya, tetapi juga dalam bilangan pengulangan
lafalnya, serta kandungan lafal itu. Ini menggambarkan
kemurnian mutlak dalam keesaan. Bukankah kata Wahid yang
berarti "satu," dapat berbilang unsurnya, berbeda dengan
kata Ahad yang mutlak tidak berbilang, walau hanya sekadar
unsurnya?

Benar! Allah terkadang juga disifati dengan kata Wahid
seperti antara lain dalam firman-Nya:

"Tuhan-Mu adalah Tuhan yang Wahid, tiada Tuhan selain Dia,
Dia Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang" (QS Al-Baqarah
[2]: 163)

Sementara ulama berpendapat bahwa kata Wahid dalam ayat di
atas, menunjuk kepada keesaan Zat-Nya disertai dengan
keragaman sifat-sifat-Nya, bukankah Dia Maha Pengasih, Maha
Penyayang, Mahakuat, Maha Mengetahui, dan sebagainya,
sedangkan kata Ahad dalam surat Al-Ikhlas itu, mengacu
kepada keesaan Zat-Nya saja, tanpa memperlihatkan keragaman
sifat-sifat tersebut.

Terlepas dari setutu atau tidak dengan pembedaan terakhir
ini, namun yang jelas bahwa Allah Maha Esa, dan Keesaan-Nya
itu mencakup empat macam keesaan

1. Keesaan Zat
2. Keesaan Sifat
3. Keesaan Perbuatan, dan
4. Keesaan dalam beribadah kepada-Nya.

1. KEESAAN ZAT-NYA

Keesaan Zat mengandung pengertian bahwa seseorang harus
percaya bahwa Allah Swt. tidak terdiri dari unsur-unsur,
atau bagian-bagian, karena bila Zat Yang Mahakuasa itu
terdiri dari dua unsur atau lebih -betapapun kecilnya unsur
atau bagian itu- maka ini berarti Dia membutuhkan unsur atau
bagian itu. Atau dengan kata lain unsur atau bagian itu
merupakan syarat bagi wujud-Nya. Ambil sebagai contoh sebuah
jam tangan. Anda menemukan jam tersebut terdiri dari
beberapa bagian, ada jarum yang menunjuk angka, ada logam,
ada karet, dan lain-lain. Bagian-bagian tersebut dibutuhkan
oleh sebuah jam tangan, karena tanpa bagian itu, ia tidak
dapat menjadi jam tangan. Nah, ketika itu, walaupun jam
tangan ini hanya satu, tetapi ia tidak esa, karena ia
terdiri dari bagian-bagian tersebut. Jika demikian, Zat
Tuhan pasti tidak terdiri dari unsur atau bagian-bagian
betapapun kecilnya, karena jika demikian, Dia tidak lagi
menjadi Tuhan. Benak kita tidak dapat membayangkan Tuhan
membutuhkan sesuatu dan Al-Quran pun menegaskan demikian:

"Wahai seluruh manusia kamulah yang butuh kepada Allah dan
Allah Mahakaya tidak membutuhkan sesuatu lagi Maha Terpuji"
(QS Fathir [35]: 15).

Setiap penganut paham tauhid berkeyakinan bahwa Allah adalah
sumber segala sesuatu dan Dia sendiri tidak bersumber dari
sesuatu pun. Al-Quran menegaskan bahwa,

"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha
Mendengar lagi Maha Melihat" (QS Al-Syura [42]: 11)

Perhatikan redaksi ayat di atas, "Tidak ada sesuatupun yang
serupa dengan-Nya." Yang serupa dengan-Nya pun tidak ada,
apalagi yang seperti Dia. lebih-lebih yang sama dengan-Nya.
Karena itu, jangankan secara faktual di dunia nyata ada yang
seperti dengan-Nya, yang secara imajinatif pun tidak ada
yang serupa dengan-Nya.

Keragaman dan bilangan lebih dari satu adalah substansi
setiap makhluk, bukan ciri Khaliq. Itulah sebagian makna
Keesaan dalam Zat-Nya.

2. KEESAAN SIFAT-NYA

Adapun keesaan sifat-Nya, maka itu antara lain berarti bahwa
Allah memiliki sifat yang tidak sama dalam substansi dan
kapasitasnya dengan sifat makhluk, walaupun dari segi bahasa
kata yang digunakan untuk menunjuk sifat tersebut sama.
Sebagai contoh, kata Rahim merupakan sifat bagi Allah,
tetapi juga digunakan untuk menunjuk rahmat atau kasih
sayang makhluk. Namun substansi dan kapasitas rahmat dan
kasih sayang Allah berbeda dengan rahmat makhluk-Nya.

Allah Esa dalam sifat-Nya, sehingga tidak ada yang menyamai
substansi dan kapasitas sifat tersebut.

Sementara ulama memahami lebih jauh keesaan sifat-Nya itu,
dalam arti bahwa Zat-Nya sendiri merupakan sifat-Nya.
Demikian mereka memahami keesaan secara amat murni. Mereka
menolak adanya "sifat" bagi Allah, walaupun mereka tetap
yakin dan percaya bahwa Allah Maha Mengetahui, Maha
Pengampun, Maha Penyantun, dan lain-lain yang secara umum
dikenal ada sembilan puluh sembilan. Mereka yakin tentang
hal tersebut, tetapi mereka menolak menamainya sifat-sifat.
Lebih jauh penganut paham ini berpendapat bahwa "sifat-Nya"
merupakan satu kesatuan, sehingga kalau dengan tauhid Zat,
dinafikan segala unsur keterbilangan pada Zat-Nya, betapapun
kecilnya unsur itu, maka dengan tauhid sifat dinafikan
segala macam dan bentuk ketersusunan dan keterbilangan bagi
sifat-sifat Allah. Berapa jumlah sifat Allah itu? Yang
populer menurut sebuah hadis ada 99 sifat. Tetapi Muhammad
Husain Ath-Thabathaba'i, setelah menelusuri ayat-ayat
Al-Quran, menyimpulkan bahwa ada 127 nama atau sifat Allah
yang ditemukan dalam Al-Quran, kesemuanya merupakan
Al-Asma', Al-Husna. Rincian sifat/nama-nama itu
dikemukakannya dalam Tafsirnya Al-Mizan ketika menafsirkan
QS Al-A'raf [7]: 180.

3. KEESAAN PERBUATAN-NYA

Keesaan ini mengandung arti bahwa segala sesuatu yang berada
di alam raya ini, baik sistem kerjanya maupun sebab dan
wujud-Nya, kesemuanya adalah hasil perbuatan Allah semata.
Apa yang dikehendaki-Nya terJadi, dan apa yang tidak
dikehendaki-Nya tidak akan terjadi, tidak ada daya (untuk
memperoleh manfaat), tidak pula kekuatan (untuk menolak
madarat), kecuali bersumber dari Allah Swt., itulah makna:

[tulisan Arab]

Tetapi ini bukan berarti bahwa Allah Swt. berlaku
sewenang-wenang, atau "bekerJa" tanpa sistem yang
ditetapkanNya. Keesaan perbuatan-Nya dikaitkan dengan
hukum-hukum, atau takdir dan sunnatullah yang
ditetapkan-Nya.

Dalam mewujudkan kehendak-Nya Dia tidak membutuhkan apa pun.

"Sesungguhnya keadaan-Nya bila Dia menghendaki sesuatu
hanyalah berkata, 'Jadilah!' Maka jadilah ia" (QS Ya Sin
[36]: 82)

Tetapi ini bukan juga berarti bahwa Allah membutuhkan kata
"jadilah;" ayat ini hanya bermaksud menggambarkan bahwa pada
hakikatnya dalam mewujudkan sesuatu Dia tidak membutuhkan
apa pun. Ayat ini juga tidak berarti bahwa segala sesuatu
yang diciptakan-Nya tercipta dalam sekejap, tanpa proses,
sesuai dengan kehendak-Nya. Bukankah Isa a.s. dinyatakan-Nya
sebagai tercipta dengan kun.

"Sesungguhnya keadaan (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah
seperti Adam, diciptakan dari tanah kemudian Dia katakan
kepadanya kun (jadilah), maka jadilah dia" (9S Ali 'Imran
[3]: 59).

Pada ayat lain, Al-Quran menggambarkan proses kejadian Isa,
yang dimulai dengan kehadiran malaikat kepada Maryam,
kehamilannya, sakit perut menjelang kelahiran, dan akhirnya
lahir (Baca QS Maryam [19]: 16-26).

Sekali lagi, kata kun bukan berarti bahwa segala sesuatu
yang dikehendaki-Nya terjadi serta-merta tanpa suatu proses.

4. KEESAAN DALAM BERIBADAH KEPADA-NYA

Kalau ketiga keesaan di atas merupakan hal-hal yang harus
diketahui dan diyakini, maka keesaan keempat ini merupakan
perwujudan dari ketiga makna keesaan terdahulu.

Ibadah itu beraneka ragam dan bertingkat-tingkat. Salah satu
ragamnya yang paling jelas, adalah amalan tertentu yang
ditetapkan cara dan atau kadarnya langsung oleh Allah atau
melalui Rasul-Nya, dan yang secara populer dikenal dengan
istilah ibadah mahdhah. Sedangkan ibadah dalam pengertiannya
yang umum, mencakup segala macam aktivitas yang dilakukan
demi karena Allah.

Nah, mengesakan Tuhan dalam beribadah, menuntut manusia
untuk melaksanakan segala sesuatu demi karena Allah, baik
sesuatu itu dalam bentuk ibadah mahdhah (murni), maupun
selainnya. Walhasil, keesaan Allah dalam beribadah
kepada-Nya adalah dengan melaksanakan apa yang tergambar
dalam firman-Nya,

"Katakanlah, 'Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan
matiku, (seterusnya) karena Allah, Pemelihara seluruh alam'"
(QS Al-An'am [6]: 162).

ALLAH DALAM KEHIDUPAN MANUSIA

Salah satu ayat yang menggambarkan dampak kehadiran Allah
dalam jiwa manusia adalah firman-Nya,

"Allah membuat perumpamaan, (yaitu) seorang lelaki (budak)
yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat dan saling
berselisih (buruk perangai mereka), dengan seorang budak
yang menjadi milik penuh dari seorang saja. Adakah keduanya
(budak-budak itu) sama halnya? Segala puji bagi Allah,
tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui (QS Al-Zumar [39]:
29).

Ayat ini bermaksud menggambarkan bagaimana keadaan seseorang
yang harus taat kepada sekian banyak orang yang memilikinya,
tetapi pemilik-pemiliknya itu saling berselisih dan buruk
perangainya. Alangkah bingung ia. Yang ini memerintahkan
satu hal, belum lagi selesai datang yang lain mencegah atau
memerintahkannya dengan perintah lain, yang ketiga pun
demikian. Begitu seterusnya, sehingga pada akhirnya budak
itu hidup dalam kompleks kejiwaan yang tidak diketahui
bagaimana cara menanggulanginya. Bandingkanlah hal itu
dengan seorang budak lain yang hanya menjadi milik penuh
seseorang sehingga ia tidak mengalami kebingungan atau
kontradiksi dalam kesehariannya.

Menarik dikemukakan alasan Murtadha Muthahhari yang juga
memahami sebagaimana ulama-ulama lain -arti kata rajulan
pada ayat di atas dengan "budak." Ulama tersebut menulis
dalam bukunya Allah dalam Kehidupan Manusia bahwa: Sementara
orang ada yang membuat kemungkinan berikut, yakni bahwa
manusia berkeinginan untuk hidup bebas (tanpa kendali).
Sesungguhnya keinginan ini (walaupun merupakan sesuatu yang
mustahil) menjadikan manusia keluar dari kemanusiaannya,
karena ini berarti bahwa ketika itu dia tidak mengakui
adanya hukum, tujuan, keinginan atau ide -dalam arti dia
kosong sama sekali dari keyakinan tertentu, dan keadaan
demikian mencabutnya dari hakikat kemanusiaan. Keadaan
semacam ini tidak ada wujudnya dalam kehidupan manusia di
dunia. Orang-orang yang menghendaki kehidupan sebebas
mungkin, serta tidak mengakui adanya sedikit peraturan pun,
pasti hidup mereka pun dilandasi oleh keyakinan (ide
tertentu) atau berusaha mencari ide/keyakinan tertentu.
Usaha ini menunjukkan bahwa manusia harus menerima wewenang
pengaturan dari keyakinan (ide yang ada dalam benaknya).
Jika demikian, tidak heran jika Al-Quran menggunakan
istilah-istilah yang mengandung arti budak (seseorang yang
dimiliki oleh pihak lain).

Keadaan yang digambarkan oleh ayat di atas, terbukti
kebenarannya dalam kenyataan hidup orang-orang yang lemah
imannya, atau memiliki sekian banyak ide atau keyakinan yang
saling bertentangan. Sekali dia taat kepada Tuhan, lain kali
dia taat kepada setan, sekali dia ke masjid, lain kali ke
klub malam. Orang semacam ini dikuasai atau menjadi budak
sekian penguasa yang buruk perangainya sehingga pada akhimya
ia mengidap kepribadian ganda (split personality), yang
merupakan salah satu bentuk dari sekian banyak bentuk
penyakit kejiwaan. Kalau demikian wajar jika Al-Quran
menegaskan bahwa,

"Orang-orang yang beriman dan hati mereka tenteram dengan
mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati
menjadi tenteram" (QS Al-Ra'd [13]: 28).

Kalau dalam ayat lain Al-Quran menegaskan bahwa seandainya
pada keduanya (langit dan bumi) terdapat banyak Tuhan
(Pengusa yang mengatur alam) selain Allah, maka pastilah
keduanya akan binasa (QS Al-Anbiya, [21]: 22), maka dalam QS
Al-Zumar [39]: 29 di atas, Allah berpesan bahwa seandainya
di dalam jiwa seseorang ada banyak tuhan atau penguasa yang
mengatur hidupnya, maka pasti pula jiwanya akan rusak
binasa.

Kalau uraian di atas membuktikan kebutuhan jiwa manusia
kepada akidah tauhid, maka rangkaian pertanyaan berikut
dapat menjadi salah satu bukti tentang kebutuhan akalnya
terhadap akidah ini. Pertanyaan dimaksud adalah: "Siapa yang
menjamin bila Anda melontar ke depan, maka batu itu tidak
mengarah ke belakang? Apa yang menjamin bahwa air selalu
mencari tempat yang rendah? Apa yang mengantar ilmuwan untuk
memperoleh semacam, kepastian, dalam langkah-langkahnya?"
Kepastian tersebut tidak mungkin dapat diperoleh kecuali
melalui keyakinan tentang wujud Tuhan Yang Maha Esa. Karena
jika Tuhan berbilang, maka sekali tuhan ini yang mengatur
alam dan menetapkan kehendak-Nya dan kali lain tuhan yang
itu. Apa yang menjamin kepastian itu, seandainya Tuhan Yang
mengatur hukum-hukum dan tata kerta alam raya, juga butuh
kepada sesuatu? Sudah dapat dipastikan tidak ada yang dapat
menjamin!

Jika demikian, tauhid bukan saja merupakan hakikat kebenaran
yang harus diakui karena diperlukan oleh jiwa manusia,
tetapi juga merupakan kebutuhan akalnya demi kemajuan dan
kesejahteraan umat manusia. Wajar jika perkembangan
pemikiran manusia tentang Tuhan, berakhir pada monoteisme
murni, setelah pada awalnya menganut keyakinan politeisme
(banyak tuhan), kemudian dua tuhan, disusul dengan
kepercayaan tentang adanya satu Tuhan. dan berakhir dengan
tauhid murni (keesaan mutlak) yang dianut oleh umat Islam.

Apabila seseorang telah menganut akidah tauhid dalam
pengertian yang sebenarnya, maka akan lahir dari dirinya
berbagai aktivitas, yang kesemuanya merupakan ibadah kepada
Allah, baik ibadah dalam pengertiannya yang sempit (ibadah
murni) maupun pengertiannya yang luas. Ini disebabkan karena
akidah tauhid merupakan satu prinsip lengkap yang menembus
semua dimensi dan aksi manusia. Karena itu,

"Allah tidak mengampuni siapa yang mempersekutukan-Nya
dengan sesuatu, dan dapat mengampuni selain itu bagi siapa
yang Dia kehendaki (QS Al-Nisa, [4]: 48).

Kalau dalam alam raya ini ada matahari yang menjadi sumber
kehidupan makhluk di permukaan bumi ini, dan yang
berkeliling padanya planet-planet tata surya yang tidak
dapat melepaskan diri darinya, maka akidah tauhid merupakan
matahari kehidupan ruhani dan yang berkeliling di sekitarnya
kesatuan-kesatuan yang tidak dapat pula melepaskan diri atau
dilepaskan darinya. Kesatuan dimaksud antara lain adalah
kesatuan alam semesta, kesatuan kehidupan dunia dan akhirat,
kesatuan natural dan supranatural, kesatuan ilmu, kesatuan
agama, kesatuan kemanusiaan, kesatuan umat, kesatuan
kepribadian manusia, dan lain-lain.

Prinsip lengkap ini harus terus-menerus dipelihara, diasah,
dan diasuh. Memang boleh jadi seorang Muslim mengalami
godaan sehingga timbul tanda tanya menyangkut kehadiran
Allah Yang Maha Esa itu. Yang demikian adalah wajar-wajar
saja, asal ia selalu berupaya untuk mengusir godaan itu. Hal
ini dialami juga oleh para sahabat Nabi Saw. Mereka yang
mengadukan pengalamannya kepada beliau ditanggapi oleh Nabi
Saw. dengan bersabda,

"Segala puji bagi Allah yang menangkal tipuannya (setan)
menjadi waswasah (bisikan)."

Sahabat Nabi, Ibnu Abbas, pernah ditanya oleh Abu Zamil
Sammak ibn Al-Walid, "Apakah yang saya rasakan di dalam
dadaku (ini)?" "Apakah itu," tanya Ibnu Abbas. "Demi Allah
saya tidak akan mengatakannya." Ibnu Abbas bertanya balik,
"Apakah semacam syak atau keraguan?" Si penanya mengiyakan.
Ibnu Abbas kemudian berkata, "Tidak seorang pun (dari kami)
yang terbebaskan dari yang demikian, sampai turun firman
Allah:

"Apabila kamu dalam keraguan dari apa yang Kami turunkan
kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca
kitab sebelum kamu" (QS Yunus [10]: 94).

Apabila engkau mendapatkan hal itu bacalah, Dia yang Awal,
Dia Yang Akhir, Dia Yang Zhahir (tampak melalui
ciptaan-Nya), Dia juga Yang Batin (tak tampak hakikat
Zat-Nya), dan Dia. Maha Mengetahui segala sesuatu."

Demikian Allah Swt. Karena itu wajar kita bermohon:

"Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami
condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada
kami, karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu.
Sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi anugerah" (QS Ali 'Imran
13]: 8).[]

Catatan kaki:
-------------
1 Wahyu pertama adalah lima ayat pertama surat Al-'Alaq. Di
sana tidak ada kata "Allah.". Wahyu kedua adalah beberapa
ayat dari surat Al-Qalam. dalam surat ini tidak disebut
kata "Allah." Wahyu ketiga adalah awal surat Al-Muzammil.
Dalam surat ini kata Rabbika ditemukan dua kali, dan kata
"Allah" tujuh kali, yaitu pada ayat terakhir (kedua puluh).
Dapat dipastikan bahwa ayat terakhir tersebut turun setelah
Nabi hijrah ke Madinah, karena ayat tersebut berbicara
tentang keterlibatan para sahabat dalam peperangan,
sedangkan peperangan pertama baru terjadi pada tahun kedua
Hijriah.

Wahyu keempat adalah awal suratAl-Muddatstsir (tujuh ayat
pertama). Dalam tujuh ayat pertama tersebut kata pengganti
Tuhan Yang Maha Esa adalah "Rabbika" yang disebut sebanyak
dua kali. Benar bahwa dalam surat tersebut ditemukan kata
"Allah" sebanyak empat kali, tetapi ayat-ayatnya bukan
merupakan rangkaian wahyu-wahyu pertama.

Wahyu kelima adalah surat Al-Lahab (Tabbat) . Dalam surat
ini tidak ditemukan kata apa pun yang menunjukkan kepada
Tuhan Yang Maha Esa.

Wahyu keenam adalah surat At-Takwir. Pada ayat terakhir
(ke-29) surat ini, ditemukan kata dengan predikat Rabbul
'Alamin, namun seperti yang diriwayatkan oleh banyak ulama,
ayat itu turun terpisah dari ayat-ayat sebelumnya.

Wahyu ketujuh adalah surat "Sabbihisma." Dalam surat ini
disebutkan kata-kata "Rabbuka," "Allah," dan "Rabbihi"
masing-masing sekali. Di sõnilah kata "Allah" disebutkan
untuk pertama kalinya dalam rangkaian wahyu-wahyu Al-Quran.
Namun perlu digarisbawahi bahwa surat ini justru menjelaskan
sifat-sifat Allah Yang Mahasuci, serta perbuatan-
perbuatan-Nya.

Wahyu kedelapan adalah Alam Nasyrah, wahyu kesembilan
Al-Ashr, wahyu kesepuluh Al-Fajr, wahyu kesebelas Adh-Dhuha,
wahyu kedua belas Al-Lail, wahyu ketiga belas Al-'Adiyat,
wahyu keempat belas Al-Kautsar, wahyu kelima belas
At-Takwir, wahyu keenam belas At-Takatsur, wahyu ketujuh
belas Al-Ma'un, wahyu kedelapan belas Al-Fil.

Dalam Wahyu kedelapan hingga kedelapan belas tersebut di
atas, tidak terdapat kata "Allah." Nanti pada wahyu
kesembilan belas yaitu, Qul Huwa Allahu Ahad, barulah kata
Allah dijelaskan secara rinci, sebagai jawaban terhadap kaum
musyrik yang mempertanyakan tentang Tuhan yang disembah oleh
Nabi Muhammad Saw.