Habib Umar bin Hafidz : 10 Prinsip Hidup dalam Pluralitas ( Keberagaman )


Indonesia merupakan satu-satunya negara di dunia yang terdiri dari berbagai berbagai macam suku, ras, agama, bangsa dengan aneka adat yang bermacam-macam. Kebhinekaan yang ada di Indonesia ini sangat dikagumi Negara lain, karena Indonesia terkenal dengan masyarakatnya yang ramah dan saling menghormati.

Indonesia merupakan Negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam ( muslim ) yang senantiasa menghormati kebebasan dalam menjalankan peribadatan sesuai dengan agama dan kepercagaan masing - masing.

Hubungan baik antar manusia dengan berbagai macam keberagaman ras adalah hal pokok dalam kehidupan. Allah Swt. menyatakan; “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. al-Hujurat ayat 13).

Dengan mengingat kesatuan asal-muasal manusia, maka ikatan psikologis telah dijalin demi persatuan sosial. Serta mengurangi sebisa mungkin kebanggaan-kebanggan individu yang saling merendahkan satu sama lain. Hal ini berdasarkan pada ayat suci; “…dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. Dan Kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebagian yang lain, maukah kamu bersabar? Dan adalah Tuhanmu Maha Melihat.” (QS. al-Furqan ayat 20).

Setidaknya ada 10 prinsip yang diajarkan syari’ah Islam untuk menata kehidupan sebagai konsep dalam masyarakat yang plural (beragam):

1. Tidak Ada Pemaksaan dalam Berkeyakinan
Di dalam al-Quran, Allah Swt. menyebutkan; “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.” (QS. al-Baqarah ayat 256). Perlu dicatat, bagaimanapun, bahwa mendakwahkan agama dan mengkampanyekan kebaikan-kebaikannya tidak akan berhasil dengan paksaan, maka hal tersebut dilarang. Meskipun begitu, dakwah tetap merupakan kewajiban, bahkan menjadi tugas yang pokok bagi kaum Muslimin.

Ada perbedaan yang sangat jelas antara menerapkan kekerasan untuk pemaksaan agama dengan perlawanan fisik terhadap hambatan dakwah, yang dimulai dengan argumen-argumen bernas. Ketika memang terjadi hal terakhir itulah, perlu ada perlawanan fisik. Allah Swt. berfirman; “Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang dzalim.” (QS. al-Baqarah ayat 193). Namun tentu saja, sikap perlawanan ini tidak boleh bertentangan dengan ayat sebelumnya, bahwa “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).”

2. Perlindungan atas Nyawa, Harta dan Kehormatan Setiap Warga
Di dalam al-Quran disebutkan; “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: 'Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya'.” (QS. al-Maidah ayat 32).

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah Saw. bersabda; “Barangsiapa membunuh seorang mu’ahad (yakni orang yang dijamin keselamatannya, merujuk kepada orang non-Muslim yang hidup di negeri Muslim), tidak akan mencium wewangian surga, meskipun aroma surga bisa tercium dari jarak 40 tahun perjalanan.” Maka atas dasar perlindungan terhadap kehidupan, kepemilikan dan kehormatan itulah pentingnya membangun hubungan baik di antara kelompok-kelompok sebagai anggota suatu masyarakat.

3. Keadilan dalam Setiap Kebijakan Pemerintah terhadap Semua Elemen Masyarakat
Pembawaan emosional maupun kepentingan pribadi tidak diperbolehkan menjadi dasar untuk membuat putusan; baik untuk menegaskan yang salah, maupun untuk membatalkan kebenaran. 

Allah Swt. berfirman; “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Mahamendengar lagi Mahamelihat.” (QS. an-Nisa' ayat 58).

Disebutkan juga di dalam al-Quran; “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Mahamengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Sejarah kejayaan Islam menyebutkan kisah menarik, yakni tentang suatu balapan kuda antara putra ‘Amr bin Ash (gubernur Mesir saat itu) dengan seorang warga Mesir biasa. Karena kalah, putra ‘Amr ini emosi kemudian memukul orang Mesir itu tanpa kendali. Kemudian orang Mesir tersebut melaporkan hal ini kepada Khalifah Umar bin Khattab. Beliaupun memanggil putra ‘Amr dan ayahnya, lalu mempersilakan si orang Mesir untuk membalas sesuai dengan perlakuan yang dialaminya. Lalu Khalifah menegur si pelaku; “Sejak kapan engkau mulai memiliki orang yang terlahir merdeka ke dunia ini?” Lihatlah, kejadian ini menjadi salah satu cerminan prinsip keadilan dan kesetaraan di dalam Islam.

4. Cinta-kasih dan Kesetiaan vis-a-vis Keadilan dan Kebaikan
Meskipun cinta dan kasih mendalam tidak diperkenankan untuk ditunjukkan kepada mereka yang mengingkari Allah dan RasulNya, namun nilai-nilai kebaikan dan keadilan harus tetap ditegakkan, sebagaimana diajarkan oleh Islam dan merupakan warisan dari Rasulullah Saw. Penjelasan tentang ini nampak jelas di dalam al-Quran;
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. al-Mumtahanah ayat 8).

Larangan di dalam ayat ini terkecualikan bagi segelintir orang, yakni mereka yang memobilisasi kekuatan untuk menyerang, menekan dan menjajah, sebagaimana ditekankan dalam ayat al-Quran; “Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim.” (QS. al-Mumtahanah ayat 9).

Jika ayat-ayat al-Quran kita lihat secara keseluruhan, maka ayat-ayat semacam ini: “Wahai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah Jahannam. Dan itu adalah tempat kembali yang seburuk-buruknya.” (QS. at-Taubah ayat 73), ialah merujuk kepada kelompok manusia tertentu yang melakukan penyerangan, menjajah kemerdekaan dan menebarkan kerusakan. Tak perlu dipertanyakan lagi bahwa penjajah memang harus dilawan. Namun perlu dipahami bahwa ada garis-garis tuntunan dalam hal tentang perlawanan ini. 

Narasi berikut ini sekiranya bisa menggambarkan hal tersebut;
Diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi, dari Abu Imran al-Jauni, bahwa Abu Bakr ash-Shiddiq Ra. suatu kali mengirimkan Yazid bin Abi Sufyan ke Syam (hari ini Suriah dan sekitarnya). Kala itu, Yazid berkata, “Aku tak suka melihat keadaan ini; aku berkendara sedangkan engkau jalan kaki.” Kemudian Abu Bakr menyahut, “Engkau telah keluar sebagai orang yang berperang di jalan Allah, maka aku mengharapkan pahala dari jalan kakiku ini.” Lalu beliau menasehati Yazid, “Jangan membunuh anak-anak, wanita, orang tua, jangan pula menyerang orang terluka dan sakit, maupun para rahib. Pastikan jangan sampai menebang pohon-pohon berbuah, atau merusak wilayah berpenghuni. Jangan bunuh unta-unta atau hewan ternak melainkan sekedar untuk makan, jangan pula tenggelamkan pohon-pohon kurma ke laut atau membakarnya.”

Jika demikian halnya etika yang diteladankan oleh Rasulullah melalui para sahabat terhadap para penyerang dan penjajah, maka bagaimana kiranya akhlaq beliau terhadap mereka yang tidak menyerang?

5. Mematuhi Kesepakatan dan Mencegah Pengkhianatan
Allah Swt. berfirman; “Kecuali orang-orang musyrik yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa.” (QS. at-Taubah ayat 4).

Di dalam kiab sirahnya, Ibnu Hisyam menuliskan bahwa; "Ketika Abu Jandal mendatangi Rasulullah Saw. pada saat perjanjian Hudaibiyah. Saat itu, Rasulullah Saw. berkata kepadanya; “Wahai Abu Jandal, bersabarlah dan harapkanlah pahala, sebab Allah akan menyediakan jalan keluar bagimu dan kaum Muslimin yang bersamamu. Kita telah mengikat kepercayaan dengan mereka, kita telah berjanji tidak akan mencederai perjanjian ini dan merekapun demikian atas nama Allah. Maka kita tidak akan mengkhianati perjanjian ini.”

Stabilitas dan keseimbangan jangka panjang hanya bisa diharapkan jika seluruh unsur masyarakat mau berkomitmen terhadap persetujuan bersama. Hal ini kemudian akan menciptakan situasi yang aman, suasana yang nyaman dalam keberagaman, dimana pelaksanaan dan pertukaran kepentingan bersama bisa berlangsung.

6. Mengenali Pihak-pihak yang Bisa Diajak Bekerjasama
Ketika Rasulullah Saw. meninggalkan Mekkah bersama Abu Bakr Ra., beliau menyewa seorang musyrik yang bisa dipercaya untuk memandu jalan. Bahkan pada saat hendak Perang Badar. Diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. berpesan kepada para sahabat; “Aku kenal banyak diantara Bani Hasyim dan lainnya yang dipaksa untuk berperang dalam medan ini. Maka jika kalian berhadapan dengan orang-orang dari Bani Hasyim, jangan serang mereka, dan siapapun yang berhadapan dengan Abbas bin Abdul Mutthalib maka jangan sampai membunuhnya karena ia pun telah dipaksa berperang dan tidak atas kemauannya.”

Lebih jauh lagi, saat Rasulullah Saw. kembali dari Tha’if menuju Mekkah, sambil memperkirakan akan muncul banyak serangan sepeninggal Abu Thalib, maka beliau bernaung di bawah perlindungan Muth’im bin ‘Adi, sedangkan Abu Bakr kepada Ibnu Dughunnah.

7. Membuat Pembedaan antara Ilmu-ilmu Materi dengan Ilmu-ilmu Akidah dan Syari’ah
Dalam ilmu-ilmu materi, semisal bahasa, permesinan, sosiologi matematika, teknik, industri, profesi, dan sebagainya, bisa dipelajari dari siapapun yang memang ahli dalam bidang masing-masing, tentu saja tanpa melalaikan kewajiban syari’ah. Namun dalam ilmu-ilmu akidah dan syari’ah, harus dipelajari melalui sumber-sumber otentik, dengan belajar bersama guru yang bersambung rantai keilmuannya (sanad) kepada Rasulullah Saw. Hal ini diterapkan bagi ilmu-ilmu akidah dan syari’ah, tidak demikian dengan ilmu-ilmu material karena tentu akan sangat menghambat.

Al-Hafidz Ibnu Hajar menorehkan di dalam Fathul Bari, “Ahmad dan Ibnu Abi al-Bazzar menyampaikan dari riwayat Jabir, bahwa Umar Ra. suatu kali datang kepada Nabi Saw. dengan membawa sebuah buku yang ia dapatkan dari beberapa Ahlul Kitab. Saat ia membacakannya di hadapan Nabi, beliau pun nampak marah dan berujar, “Telah kubawakan padamu yang suci dan murni. Maka jangan kau minta kepada mereka sesuatu yang tidak jelas, yang mana bisa berupa kebenaran namun kau mengingkarinya, atau berupa kesalahan namun kau mengiyakannya. Demi Dzat yang jiwaku ada di TanganNya, jika Musa masih hidup tentu dia tak punya pilihan lain selain mengikutiku.”

Imam Muslim, di dalam mukadimah Shahih-nya, mengatakan ujaran Imam Muhammad bin Sirin bahwa; “Sungguh ilmu ini ialah agama. Maka perhatikan darimana engkau mengambil agamamu.”

8. Membalas Kebaikan dengan Kebaikan Pula
Rasulullah Saw., sebagai bentuk penghormatan terhadap para tawanan Perang Badr, mengatakan; “Perlakukan Ibnu ‘Adi dengan baik di antara para tawanan ini, pasti aku akan bebaskan mereka semua sebab dia.” Hal ini dikarenakan Ibnu ‘Adi adalah sosok yang sangat menentang pemboikotan kaum Quraisy terhadap Nabi, serta dialah yang merobek surat kesepakatan yang memutuskan pengasingan Bani Hasyim di Syi’b Abu Thalib selama beberapa tahun, serta dia pulalah yang memberikan perlindungan kepada Nabi ketika kembali dari Tha'if.

Juga harus dicatat, bahwa penolakan segala bentuk rasisme dan kesukuan akan sangat memperkuat kebaikan di antara unsur dalam masyarakat. Abu Dawud meriwayatkan dari Jubair ibn Muth’im, bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa mengajak kepada ashabiyyah (fanatisme kesukuan) maka ia bukan dari golongan kami. Barangsiapa yang bertempur sebab ashabiyyah, maka ia bukan dari golongan kami. Barangsiapa yang mati dalam ashabiyyah, maka dia bukan dari golongan kami.”

9. Menghindari Debat Kusir dan Menyalurkannya Secara Efektif
Salah satu faktor utama penyebab kekisruhan dalam keberagaman adalah pertengkaran dalam debat yang berlebihan, hasutan menuju keributan, serta pergolakan dan kritik-kritik yang tidak penting. Syari’ah jelas telah melarang kita untuk berbantahan, kecuali dengan cara yang baik dan terpuji. Allah Swt. menyatakan; “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik." (QS. al-‘Ankabut ayat 46).

Juga disebutkan di dalam al-Quran; “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalanNya, dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. an-Nahl ayat 125).

Salah satu cara yang juga bisa menjaga dari perdebatan adalah dengan menyadari bahwa kewajiban dalam dakwah ialah menyampaikan dengan lemah lembut dan luwes, bukan dengan sikap agresif dan dominasi. Kita juga jangan sampai memaksakan kehendak kepada orang-orang, mengukur tingkat keimanan orang lain dan menghakimi apa yang mereka lakukan. Sayangnya perilaku semacam ini kadang kita temukan pada mereka yang mengaku berdakwah, dan menganggapnya sebagai bentuk ghirah dalam beragama.

10. Membuka dan Menyediakan Ruang bagi Para Pencari Kebenaran
“Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (QS. at-Taubah ayat 6).

Sebagai komentar bagi ayat ini, Ibnu Katsir menyatakan dalam tafsirnya; “Maksudnya; Allah menitahkan kepada NabiNya; jika orang-orang musyrik yang halal darahnya (sebab penganiayaan yang telah mereka lakukan) itu datang kepadamu untuk meminta perlindungan, maka berilah mereka perlindungan hingga mereka bisa mendengarkan al-Quran. Hal ini memungkinkan bagi mereka untuk menerima kebenaran Islam, serta mengimani Allah Swt. Setelah itu, mereka bisa menetap di tempat yang aman sampai tiba masanya mereka bisa kembali ke kampung halaman. Dan Allah menyatakan hal ini untuk menunjukkan bahwa ada kesempatan bagi mereka untuk memahami pesan-pesan Ilahi dan kemuliaan aturan Islam.”

Inilah sepuluh prinsip hidup dalam keberagaman (pluralitas) yang disampaikan oleh al-Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz bin Syaikh Abi Bakr bin Salim, pengasuh Ma’had Darul Musthafa, Tarim Hadhramaut Yaman. (Sumber: Naseem al Sham, diterjemahkan oleh Zia Ul Haq dari catatan Dr. Muhammad Yasir al-Qadmani atas transkrip ceramah al-Habib Umar bin Muhammad bin Hafidz.