Polemik Memakai Cadar

APAKAH MEMAKAI CADAR ITU BID'AH? 

Dr. Yusuf Qardhawi

PERTANYAAN

Telah terjadi polemik dalam  beberapa  surat  kabar  di
Kairo  seputar  masalah  "cadar"  yang dipakai sebagian
remaja muslimah,  khususnya  para  mahasiswi.  Hal  itu
berawal  dari keputusan Pengadilan Mesir yang menangani
tuntutan  mahasiswi  beberapa  perguruan  tinggi,  yang
mengajukan   tuntutan   ke   pengadilan  karena  merasa
teraniaya dengan keputusan sebagian dekan yang  memaksa
mereka melepas cadar apabila masuk kampus.

Para mahasiswi itu mengatakan bahwa mereka siap membuka
tutup wajah mereka  manakala  diperlukan,  apabila  ada
tuntutan  dari pihak yang bertanggung jawab, pada waktu
ujian atau lainnya.

Seorang  wartawan  terkenal,  Ustadz  Ahmad  Bahauddin,
menulis  artikel  -  dalam  surat kabar al-Ahram - yang
isinya  bertentangan   dengan   keputusan   pengadilan.
Menurutnya,  cadar  dan  penutup  wajah  itu  merupakan
bid'ah yang masuk ke kalangan Islam dan umat Islam. Hal
ini  diperkuat  oleh salah seorang dosen al-Azhar, yang
mengaku bahwa dirinya adalah Dekan Fakultas Ushuluddin,
dan sedikit banyak tahu tentang peradilan.

Kami  mohon Ustadz berkenan menjelaskan tentang masalah
yang masih campur aduk antara yang hak dan  yang  batil
ini.  Semoga  Allah  berkenan memberikan balasan kepada
Ustadz dengan balasan yang sebaik-baiknya.

JAWABAN

Alhamdulillah,  segala  puji  kepunyaan   Allah,   Rabb
semesta  alam.  Semoga  shalawat  dan  salam senantiasa
tercurahkan kepada Rasul paling mulia,  junjungan  kita
Nabi   Muhammad  saw.,  kepada  keluarganya,  dan  para
sahabatnya.

Pada  kenyataannya,  mengidentifikasi   cadar   sebagai
bid'ah  yang  datang  dari luar serta sama sekali bukan
berasal  dari  agama  dan  bukan  dari  Islam,   bahkan
menyimpulkan  bahwa  cadar masuk ke kalangan umat Islam
pada zaman kemunduran yang parah, tidaklah  ilmiah  dan
tidak  tepat sasaran. Identifikasi seperti ini hanyalah
bentuk perluasan yang merusak inti persoalan dan  hanya
menyesatkan  usaha untuk mencari kejelasan masalah yang
sebenarnya.

Satu hal yang tidak akan disangkal oleh siapa pun  yang
mengetahui sumber-sumber ilmu dan pendapat ulama, bahwa
masalah tersebut merupakan masalah khilafiyah. Artinya,
persoalan   apakah   boleh  membuka  wajah  atau  wajib
menutupnya - demikian pula dengan hukum  kedua  telapak
tangan - adalah masalah yang masih diperselisihkan.

Masalah ini masih diperselisihkan oleh para ulama, baik
dari kalangan ahli  fiqih,  ahli  tafsir,  maupun  ahli
hadits, sejak zaman dahulu hingga sekarang.

Sebab  perbedaan  pendapat itu kembali kepada pandangan
mereka terhadap nash-nash yang berkenaan dengan masalah
ini  dan  sejauh  mana  pemahaman  mereka  terhadapnya,
karena tidak didapatinya nash yang qath'i tsubut (jalan
periwayatannya)  dan  dilalahnya (petunjuknya) mengenai
masalah ini. Seandainya  ada  nash  yang  tegas  (tidak
samar), sudah tentu masalah ini sudah terselesaikan.

Mereka berbeda pendapat dalam menafsirkan firman Allah:

"...  Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka
kecuali yang biasa tampak daripadanya ..." (an-Nur: 31)

Mereka meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, dia berkata bahwa
yang  dimaksud  dengan  "kecuali  apa yang biasa tampak
daripadanya" ialah pakaian dan  jilbab,  yakni  pakaian
luar yang tidak mungkin disembunyikan.

Mereka  juga  meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa beliau
menafsirkan "apa yang biasa tampak"  itu  dengan  celak
dan cincin. Penafsiran yang sama juga diriwayatkan dari
Anas bin Malik. Dan penafsiran yang  hampir  sama  lagi
diriwayatkan  dari  Aisyah.  Selain  itu, kadang-kadang
lbnu Abbas menyamakan dengan celak dan cincin, terhadap
pemerah kuku, gelang, anting-anting, atau kalung.

Ada  pula  yang  menganggap  bahwa yang dimaksud dengan
"perhiasan" disini ialah tempatnya. Ibnu Abbas berkata,
"(Yang   dimaksud   ialah)  bagian  wajah  dan  telapak
tangan." Dan penafsiran serupa juga  diriwayatkan  dari
Sa'id bin Jubair, Atha', dan lain-lain.

Sebagian  ulama  lagi  menganggap  bahwa  sebagian dari
lengan termasuk "apa yang biasa tampak" itu.

Ibnu Athiyah  menafsirkannya  dengan  apa  yang  tampak
secara  darurat,  misalnya  karena  dihembus angin atau
lainnya.1

Mereka juga berbeda pendapat dalam  menafsirkan  firman
Allah:

"Hai  Nabi,  katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu dan  istri-isti  orang  mukmin,  'Hendaklah
mereka, mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.'
Yang demikian  itu  supaya  mereka  lebih  mudah  untuk
dikenal,  karena  itu  mereka tidak diganggu. Dan Allah
adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."  (al-Ahzab:
59)

Maka  apakah  yang dimaksud dengan "mengulurkan jilbab"
dalam ayat tersebut?

Mereka meriwayatkan  dari  Ibnu  Abbas  yang  merupakan
kebalikan  dari  penafsirannya  terhadap  ayat pertama.
Mereka meriwayatkan dari  sebagian  tabi'in  -  Ubaidah
as-Salmani  -  bahwa  beliau  menafsirkan  "mengulurkan
jilbab" itu dengan  penafsiran  praktis  (dalam  bentuk
peragaan), yaitu beliau menutup muka dan kepala beliau,
dan membuka mata beliau  yang  sebelah  kiri.  Demikian
pula yang diriwayatkan dari Muhammad Ka'ab al-Qurazhi.

Tetapi  penafsiran  kedua  beliau  ini  ditentang  oleh
Ikrimah, maula (mantan budak) Ibnu Abbas. Dia  berkata,
"Hendaklah   ia   (wanita)   menutup  lubang  (pangkal)
tenggorokannya  dengan  jilbabnya,  dengan  mengulurkan
jilbab tersebut atasnya."

Sa'id  bin  Jubair  berkata,  "Tidak  halal bagi wanita
muslimah  dilihat  oleh   lelaki   asing   kecuali   ia
mengenakan   kain   di   atas   kerudungnya,   dan   ia
mengikatkannya pada kepalanya dan lehernya."2

Dalam hal  ini  saya  termasuk  orang  yang  menguatkan
pendapat  yang mengatakan bahwa wajah dan kedua telapak
tangan bukan aurat dan tidak wajib bagi wanita muslimah
menutupnya.  Karena  menurut saya, dalil-dalil pendapat
ini lebih kuat daripada pendapat yang lain.

Disamping itu, banyak sekali ulama zaman sekarang  yang
sependapat   dengan   saya,   misalnya  Syekh  Muhammad
Nashiruddin al-Albani dalam kitabnya  Hijabul  Mar'atil
Muslimah   fil-Kitab  was-Sunnah  dan  mayoritas  ulama
al-Azhar  di  Mesir,   ulama   Zaitunah   di   Tunisia,
Qarawiyyin  di Maghrib (Maroko), dan tidak sedikit dari
ulama Pakistan, India, Turki, dan lain-lain.

Meskipun demikian, dakwaan (klaim) adanya  ijma'  ulama
sekarang  terhadap  pendapat  ini  juga tidaklah benar,
karena  di  kalangan  ulama  Mesir  sendiri  ada   yang
menentangnya.

Ulama-ulama  Saudi  dan  sejumlah  ulama  negara-negara
Teluk menentang  pendapat  ini,  dan  sebagai  tokohnya
adalah ulama besar Syekh Abdul Aziz bin Baz.

Banyak  pula  ulama  Pakistan  dan India yang menentang
pendapat ini,  mereka  berpendapat  kaum  wanita  wajib
menutup  mukanya.  Dan  diantara  ulama  terkenal  yang
berpendapat  demikian  ialah  ulama  besar   dan   da'i
terkenal,  mujaddid Islam yang masyhur, yaitu al-Ustadz
Abul A'la al-Maududi dalam kitabnya al-Hijab.

Adapun diantara ulama masa kini yang masih  hidup  yang
mengumandangkan wajibnya menutup muka bagi wanita ialah
penulis  kenamaan  dari  Suriah,  Dr.  Muhammad   Sa'id
Ramadhan al-Buthi, yang mengemukakan pendapat ini dalam
risalahnya Ilaa Kulli Fataatin Tu'minu billaahi (Kepada
setiap Remaja Putri yang Beriman kepada Allah) .

Disamping    itu,    masih   terus   saja   bermunculan
risalah-risalah dan fatwa-fatwa  dari  waktu  ke  waktu
yang  menganggap  aib jika wanita membuka wajah. Mereka
menyeru kaum wanita dengan  mengatasnamakan  agama  dan
iman  agar  mereka  mengenakan  cadar, dan menganjurkan
agar jangan  patuh  kepada  ulama-ulama  "modern"  yang
ingin   menyesuaikan  agama  dengan  peradaban  modern.
Barangkali  mereka  memasukkan  saya  kedalam  kelompok
ulama seperti ini.

Jika  dijumpai  diantara  wanita-wanita  muslimah  yang
merasa  mantap  dengan  pendapat  ini,  dan  menganggap
membuka wajah itu haram, dan menutupnya itu wajib, maka
bagaimana  kita  akan  mewajibkan  kepadanya  mengikuti
pendapat  lain, yang dia anggap keliru dan bertentangan
dengan nash?

Kami hanya mengingkari mereka  jika  mereka  memasukkan
pendapatnya  kepada orang lain, dan menganggap dosa dan
fasik terhadap orang yang menerapkan pendapat lain itu,
serta   menganggapnya  sebagai  kemunkaran  yang  wajib
diperangi, padahal para  ulama  muhaqiq  telah  sepakat
mengenai  tidak  bolehnya  menganggap  munkar  terhadap
masalah-masalah ijtihadiyah khilafiyah.

Kalau kami mengingkari (menganggap munkar)  pelaksanaan
pendapat  yang  berbeda  dengan  pendapat  kami - yaitu
pendapat yang muttabar dalam bingkai fiqih  Islam  yang
lapang  -  kemudian  mencampakkan pendapat tersebut dan
tidak memberinya hak hidup,  hanya  semata-mata  karena
berbeda  dengan  pendapat  kami,  berarti kami terjatuh
kedalam hal yang terlarang, yang  justru  kami  perangi
dan   kami   seru   manusia   untuk   membebaskan  diri
daripadanya.

Bahkan  seandainya  wanita  muslimah   tersebut   tidak
menganggap   wajib   menutup   muka,  tetapi  ia  hanya
menganggapnya  lebih  wara'  dan   lebih   takwa   demi
membebaskan  diri  dari  perselisihan pendapat, dan dia
mengamalkan yang lebih hati-hati,  maka  siapakah  yang
akan  melarang  dia  mengamalkan  pendapat  yang  lebih
hati-hati untuk dirinya dan agamanya? Dan apakah pantas
dia  dicela  selama  tidak  mengganggu  orang lain, dan
tidak membahayakan kemaslahatan (kepentingan) umum  dan
khusus?

Saya  mencela  penulis  terkenal Ustadz Ahmad Bahauddin
yang menulis masalah ini dengan  tidak  merujuk  kepada
sumber-sumber  tepercaya,  lebih-lebih  tulisannya  ini
dimaksudkan   sebagai   sanggahan   terhadap    putusan
pengadilan  khusus  yang bergengsi. Sementara kalau dia
menulis masalah politik, dia menulisnya dengan  cermat,
penuh   pertimbangan,   dan   dengan   pandangan   yang
menyeluruh.

Boleh  jadi  karena   dia   bersandar   pada   sebagian
tulisan-tulisan  ringan yang tergesa-gesa dan sembarang
yang membuatnya terjatuh ke  dalam  kesalahan  sehingga
dia menganggap "cadar" sebagai sesuatu yang munkar, dan
dikiaskannya dengan  "pakaian  renang"  yang  sama-sama
tidak memberi kebebasan pribadi.

Tidak  seorang  pun  ulama  dahulu  dan  sekarang  yang
mengharamkan memakai cadar  bagi  wanita  secara  umum,
kecuali  hanya  pada  waktu ihram. Dalam hal ini mereka
hanya berbeda pendapat antara yang mengatakannya wajib,
mustahab, dan jaiz.

Sedangkan  tentang keharamannya, tidak seorang pun ahli
fiqih   yang   berpendapat   demikian,   bahkan    yang
memakruhkannya  pun  tidak  ada. Maka saya sangat heran
kepada Ustadz Bahauddin yang  mengecam  sebagian  ulama
al-Azhar  yang  mewajibkan menutup muka (cadar) sebagai
telah mengharamkan  apa  yang  dihalalkan  Allah,  atau
sebagai pendapat orang yang tidak memiliki kemajuan dan
pengetahuan   yang   mendalam    mengenai    Al-Qur'an,
as-Sunnah, fiqih, dan ushul Fiqih.

Kalau   hal  itu  hanya  sekadar  mubah  -  sebagaimana
pendapat yang saya pilih, bukan wajib  dan  bukan  pula
mustahab  -  maka  merupakan  hak  bagi  muslimah untuk
membiasakannya, dan tidak boleh  bagi  seseorang  untuk
melarangnya,    karena   ia   cuma   melaksanakan   hak
pribadinya.    Apalagi,    dalam    membiasakan    atau
mengenakannya  itu tidak merusak sesuatu yang wajib dan
tidak membahayakan seseorang. Ada  pepatah  Mesir  yang
menyindir orang yang bersikap demikian:

"Seseorang   bertopang   dagu,   mengapa   Anda   kesal
terhadapnya?"

Hukum   buatan   manusia   sendiri   mengakui   hak-hak
perseorangan ini dan melindunginya.

Bagaimana mungkin kita akan mengingkari wanita muslimah
yang komitmen pada agamanya dan hendak  memakai  cadar,
sementara  diantara  mahasiswi-mahasiswi  di  perguruan
tinggi itu ada yang  mengenakan  pakaian  mini,  tipis,
membentuk  potongan  tubuhnya  yang  dapat  menimbulkan
fitnah   (rangsangan),   dan   memakai   bermacam-macam
make-up,  tanpa seorang pun yang mengingkarinya, karena
dianggapnya sebagai kebebasan pribadi. Padahal  pakaian
yang  tipis, yang menampakkan kulit, atau tidak menutup
bagian  tubuh  selain  wajah  dan  kedua   tangan   itu
diharamkan  oleh  syara'  demikian  menurut kesepakatan
kaum muslim.

Kalau pihak yang bertanggung jawab di  kampus  melarang
pakaian  yang  seronok  itu,  sudah tentu akan didukung
oleh syara' dan  undang-undang  yang  telah  menetapkan
bahwa  agama  resmi  negara  adalah  Islam,  dan  bahwa
hukum-hukum  syariat  Islam  merupakan   sumber   pokok
perundang-undangan.

Namun kenyataannya, tidak seorang pun yang melarangnya!

Sungguh   mengherankan!   Mengapa   wanita-wanita  yang
berpakaian tetapi  telanjang,  yang  berlenggak-lenggok
dan bergaya untuk memikat orang lain kepada kemaksiatan
dibebaskan saja tanpa ada seorang pun yang  menegurnya?
Kemudian  mereka tumpahkan seluruh kebencian dan celaan
serta caci maki terhadap wanita-wanita  bercadar,  yang
berkeyakinan  bahwa  hal itu termasuk ajaran agama yang
tidak boleh disia-siakan atau dibuat sembarang?

Kepada Allah-lah kembalinya segala urusan  sebelum  dan
sesudahnya.  Tidak  ada daya untuk menjauhi kemaksiatan
dan tidak ada kekuatan untuk melakukan ketaatan kecuali
dengan pertolongan

Catatan kaki:
1 Lihat penafsiran ayat ini oleh Ibnu Jarir,
  Ibnu Katsir, al-Qurthubi, dan pada ad-Durrul
  Mantsur (5: 41-42), dan lain-lain.
2 Lihat: ad-Durrul Mantsur, 5: 221-222,
  dan sumber-sumber terdahulu mengenai penafsiran
  ayat tersebut.