Artikel Islami Tentang Pakaian


Baju Muslim
Fashion Muslimah - Pixabay

Al-Quran paling tidak menggunakan tiga istilah untuk pakaian yaitu, libas, tsiyab, dan sarabil. Kata libas ditemukan sebanyak sepuluh kali, tsiyab ditemukan sebanyak delapan kali, sedangkan sarabil ditemukan sebanyak tiga kali dalam dua ayat.

Libas pada mulanya berarti penutup --apa pun yang ditutup. Fungsi pakaian sebagai penutup amat jelas. Tetapi, perlu dicatat bahwa ini tidak harus berarti "menutup aurat", karena cincin yang menutup sebagian jari juga disebut libas, dan pemakainya ditunjuk dengan menggunakan akar katanya.

Ketika berbicara tentang laut, Al-Quran surat Al-Nahl (16): 14 menyatakan bahwa,

Dan kamu mengeluarkan dan laut itu perhiasan (antara lain mutiara) yang kamu pakai.

Kata libas digunakan oleh Al-Quran untuk menunjukkan pakaian lahir maupun batin, sedangkan kata tsiyab digunakan untuk menunjukkan pakaian lahir. Kata ini terambil dari kata tsaub yang berarti kembali, yakni kembalinya sesuatu pada keadaan semula, atau pada keadaan yang seharusnya sesuai dengan ide pertamanya.

Ungkapan yang menyatakan, bahwa "awalnya adalah ide dan akhirnya adalah kenyataan", mungkin dapat membantu memahami pengertian kebahasaan tersebut. Ungkapan ini berarti kenyataan
harus dikembalikan kepada ide asal, karena kenyataan adalah cerminan dari ide asal.

Apakah ide dasar tentang pakaian?

Ar-Raghib Al-Isfahani --seorang pakar bahasa Al-Quran-- menyatakan bahwa pakaian dinamai tsiyab atau tsaub, karena ide dasar adanya bahan-bahan pakaian adalah agar dipakai. Jika bahan-bahan tersebut setelah dipintal kemudian menjadi pakaian, maka pada hakikatnya ia telah kembali pada ide dasar keberadaannya. Hemat penulis, ide dasar juga dapat dikembalikan pada apa yang terdapat dalam benak manusia pertama tentang dirinya.

Al-Quran surat Al-'Araf (7): 20 menjelaskan peristiwa ketika Adam dan Hawa berada di surga:

Setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan pada keduanya apa yang tertutup dari mereka, yaitu auratnya, dan setan berkata, "Tuhan kamu melarang kamu mendekati pohon ini, supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (di surga)."

Selanjutnya dijelaskan dalam ayat 22 bahwa:

...setelah mereka merasakan (buah) pohon (terlarang) itu tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga...

Terlihat jelas bahwa ide dasar yang terdapat dalam diri manusia adalah "tertutupnya aurat", namun karena godaan setan, aurat manusia terbuka. Dengan demikian, aurat yang ditutup
dengan pakaian akan dikembalikan pada ide dasarnya. Wajarlah jika pakaian dinamai tsaub/tsiyab yang berarti "sesuatu yang mengembalikan aurat kepada ide dasarnya", yaitu tertutup.

Dan ayat di atas juga tampak bahwa ide "membuka aurat" adalah ide setan, dan karenanya "tanda-tanda kehadiran setan adalah "keterbukaan aurat". Sebuah riwayat yang dikemukakan oleh
Al-Biqa'i dalam bukunya Shubhat Waraqah menyatakan bahwa ketika Nabi Saw. belum memperoleh keyakinan tentang apa yang dialaminya di Gua Hira --apakah dari malaikat atau dari
setan-- beliau menyampaikan hal tersebut kepada istrinya Khadijah. Khadijah berkata, "Jika engkau melihatnya lagi, beritahulah aku". Ketika di saat lain Nabi Saw. melihat
(malaikat) yang dilihatnya di Gua Hira, Khadijah membuka pakaiannya sambi1 bertanya, "Sekarang, apakah engkau masih melihatnya?" Nabi Saw. menjawab, "Tidak, ... dia pergi."

Khadijah dengan penuh keyakinan berkata, "Yakinlah yang datangbukan setan, ... (karena hanya setan yang senang melihat aurat)".

Dalam hal ini Al-Quran mengingatkan:

Wahai putra-putra Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia (telah menipu orang tuamu Adam dan Hawa) sehingga ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga. Ia menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan kepada keduanya aurat mereka berdua (QS Al-A'raf [7]: 27).

Kata ketiga yang digunakan Al-Quran untuk menjelaskan perihal pakaian adalah sarabil. Kamus-kamus bahasa mengartikan kata ini sebagai pakaian, apa pun jenis bahannya. Hanya dua ayat
yang menggunakan kata tersebut. Satu di antaranya diartikan sebagai pakaian yang berfungsi menangkal sengatan panas, dingin, dan bahaya dalam peperangan (QS Al-Nahl [16]: 81).

Satu lagi dalam surat Ibrahim (14): 50 tentang siksa yang akan dialami oleh orang-orang berdosa kelak di hari kemudian: pakaian mereka dari pelangkin. Dari sini terpahami bahwa
pakaian ada yang menjadi alat penyiksa. Tentu saja siksaan tersebut karena yang bersangkutan tidak menyesuaikan diri dengan nilai-nilai yang diamanatkan oleh Allah Swt.

PAKAIAN DAN FITRAH

Dari ayat yang menguraikan peristiwa terbukanya aurat Adam, dan ayat-ayat sesudahnya, para ulama menyimpulkan bahwa pada hakikatnya menutup aurat adalah fitrah manusia jarang diaktualkan pada saat ia memiliki kesadaran.

Seperti dikemukakan ketika menjelaskan arti tsaub, manusia pada mulanya tertutup auratnya. Ayat yang menguraikan hal ini menggunakan istilah li yubdiya lahuma ma~ wuriya 'anhuma min
sauatihima (untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka, yaitu auratnya) (QS Al-A'raf [7]: 20).

Penggalan ayat itu bukan saja mengisyaratkan bahwa sejak semula Adam dan Hawa tidak dapat saling melihat aurat mereka, melainkan juga berarti bahwa aurat masing-masing tertutup
sehingga mereka sendiri pun tidak dapat melihatnya.

Kemudian setan merayu mereka agar memakan pohon terlarang, dan akibatnya adalah aurat yang tadinya tertutup menjadi terbuka, dan mereka menyadari keterbukaannya, sehingga mereka berusaha
menutupinya dengan daun-daun surga. Usaha tersebut menunjukkan adanya naluri pada diri manusia sejak awal kejadiannya bahwa aurat harus ditutup dengan cara berpakaian.

Perlu diperhatikan pula kalimat yang dipergunakan Al-Quran untuk menyatakan usaha kedua orang tua kita, "Wa thafiqa yakhshifan 'alaihima min waraq al-jannah."

Kata yakhshifan terambil dari kata khashf yang berarti menempelkan sesuatu pada sesuatu yang lain agar menjadi lebih kokoh. Contoh yang dikemukakan oleh pakar-pakar bahasa adalah menempelkkan lapisan baru pada lapisan yang ada dari alas kaki, agar lebih kuat dan kokoh.

Adam dan Hawa bukan sekadar mengambil satu lembar daun untuk menutup auratnya (karena jika demikian pakaiannya adalah mini), melainkan sekian banyak lembar agar melebar, dengan
cara menempelkan selembar daun di atas lembar lain, sebagai tanda bahwa pakaian tersebut sedemikian tebal, sehingga tidak transparan atau tembus pandang.

Hal lain yang mengisyaratkan bahwa berpakaian atau menutup aurat merupakan fitrah manusia adalah penggunaan istilah "Ya Bani Adam" (Wahai putra-putri Adam) dalam ayat-ayat yang
berbicara tentang berpakaian.

Panggilan semacam ini hanya terulang empat kali dalam Al-Quran. Kesan dan makna yang disampaikannya berbeda dengan panggilan ya ayyuhal ladzina amanu yang hanya khusus kepada
orang-orang mukmin, atau ya ayyuhan nas yang boleh jadi hanya ditujukan kepada seluruh manusia sejak masa Nabi Saw. hingga akhir zaman. Panggilan ya Bani Adam jelas tertuju kepada
seluruh manusia. Bukankah Adam adalah ayah seluruh manusia?

Hanya empat kali panggilan ya Bani Adam dalam Al-Quran, dan semuanya terdapat dalam surat Al-'Araf, yaitu:

1. Ayat 26 berbicara tentang macam-macam pakaian yang dianugerahkan Allah.

2. Ayat 27 berbicara tentang larangan mengikuti setan yang menyebabkan terbukanya aurat orang tua manusia (Adam dan Hawa).

3. Ayat 31 memerintahkan memakai pakaian indah pada saat memasuki masjid.

4. Ayat 35 adalah kewajiban taat kepada tuntunan Allah yang disampaikan oleh para rasul-Nya (tentu termasuk tuntunan berpakaian).

Ini menunjukkan bahwa sejak dini Allah Swt. telah mengilhami manusia sehingga timbul dalam dirinya dorongan untuk berpakaian, bahkan kebutuhan untuk berpakaian, sebagaimana diisyaratkan oleh surat Thaha (20): 117-118, yang mengingatkan Adam bahwa jika ia terusir dari surga karena setan, tentu ia akan bersusah payah di dunia untuk mencari sandang, pangan, dan papan. Dorongan tersebut diciptakan Allah dalam naluri manusia yang memiliki kesadaran kemanusiaan. Itu sebabnya
terlihat bahwa manusia primitif pun selalu menutupi apa yang dinilainya sebagai aurat.

Dari ayat yang berbicara tentang ketertutupan aurat, ditemukan isyarat bahwa untuk merealisasikan hal tersebut, manusia tidak membutuhkan upaya dan tenaga yang berat. Hal ini diisyaratkan
oleh bentuk pasif yang dipilih Al-Quran untuk menyebut tertutupnya aurat Adam dan Hawa, yakni ayat 22 surat Al-A'raf yang dikutip pada awal uraian ini: "yang tertutup dan mereka yaitu aurat mereka."

Menutup aurat tidak sulit, karena dapat dilakukan dengan bahan apa pun yang tersedia, sekalipun selembar daun (asalkan dapat menutupinya).

FUNGSI PAKAIAN

Dari sekian banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang pakaian, dapat ditemukan paling tidak ada empat fungsi pakaian.

Al-Quran surat Al-A'raf (7): 26 menjelaskan dua fungsi pakaian:

Wahai putra putri Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kamu pakaian yang menutup auratmu dan juga (pakaian) bulu (untuk menjadi perhiasan), dan pakaian takwa itulah yang paling baik.

Ayat ini setidaknya menjelaskan dua fungsi pakaian, yaitu penutup aurat dan perhiasan.

Sebagian ulama bahkan menyatakan bahwa ayat di atas berbicara tentang fungsi ketiga pakaian, yaitu fungsi takwa, dalam arti pakaian dapat menghindarkan seseorang terjerumus ke dalam
bencana dan kesulitan, baik bencana duniawi maupun ukhrawi.

Syaikh Muhammad Thahir bin 'Asyur menjelaskan jalan pikiran ulama yang berpendapat demikian. Ia menulis dalam tafsirnya tentang ayat tersebut:

Libasut taqwa dibaca oleh Imam Nafi' ibnu Amir, Al-Kisa'i, dan Abu Ja'far dengan nashab (dibaca libasa sehingga kedudukannya sebagai objek penderita). Ini berarti sama dengan pakaian-pakaian lain yang diciptakan, dan tentunya pakaian ini tidak berbentuk abstrak, melainkan nyata. Takwa yang dimaksud di sini adalah pemeliharaan, sehingga yang dimaksud dengannya
adalah pakaian berupa perisai yang digunakan dalam peperangan untuk memelihara dan menghindarkan pemakainya dari luka dan bencana lain.

Ada juga yang membaca libasu at-taqwa, sehingga kata tersebut tidak berkedudukan sebagai objek penderita. Ketika itu, salah satu makna yang dikandungnya adalah adanya pakaian batin yang dapat menghindarkan seseorang dari bencana duniawi dan ukhrawi.

Betapapun, ditemukan ayat lain yang menjelaskan fungsi ketiga pakaian, yakni fungsi pemeliharaan terhadap bencana, dan dari sengatan panas dan dingin,

Dia (Allah) menjadikan untuk kamu pakaian yang memelihara kamu dari sengatan panas (dan dingin), serta pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam peperangan... (QS Al-Nahl [16]: 81).

Fungsi pakaian selanjutnya disyaratkan oleh Al-Quran surat Al-Ahzab (33): 59 yang menugaskan Nabi Saw. agar menyampaikan kepada istri-istrinya, anak-anak perempuannya, serta wanita-wanita Mukmin agar mereka mengulurkan jilbab mereka:

Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang Mukmin,

"Hendaklah mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh
mereka." Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenal, sehingga mereka tidak diganggu (oleh lidah/tangan usil).

Terlihat fungsi pakaian sebagai penunjuk identitas pembeda antara seseorang dengan yang lain.

1. Penutup Sau-at (Aurat)

Sau-at terambil dari kata sa-a -yasu-u yang berarti buruk, tidak menyenangkan. Kata ini sama maknanya dengan 'aurat, yang terambil dari kata 'ar yang berarti onar, aib, tercela.

Keburukan yang dimaksud tidak harus dalam arti sesuatu yang pada dirinya buruk, tetapi bisa juga karena adanya faktor lain yang mengakibatkannya buruk. Tidak satu pun dari bagian tubuh
yang buruk karena semuanya baik dan bermanfaat --termasukaurat. Tetapi bila dilihat orang, maka "keterlihatan" itulah yang buruk.

Tentu saja banyak hal yang sifatnya buruk, masing-masing orang dapat menilai. Agama pun memberi petunjuk tentang apa yang dianggapnya 'aurat atau sau-at. Dalam fungsinya sebagai
penutup, tentunya pakaian dapat menutupi segala yang enggan diperlihatkan oleh pemakai, sekalipun seluruh badannya.

Tetapi dalam konteks pembicaraan tuntunan atau hukum agama, aurat dipahami sebagai anggota badan tertentu yang tidak boleh dilihat kecuali oleh orang-orang tertentu.

Bahkan bukan hanya kepada orang tertentu selain pemiliknya, Islam tidak "senang" bila aurat --khususnya aurat besar (kemaluan)-- dilihat oleh siapa pun. Bukankah seperti yang dikemukakan terdahulu, bahwa ide dasar aurat adalah "tertutup atau tidak dilihat walau oleh yang bersangkutan sendiri?"

Beberapa hadis menerangkan hal tersebut secara rinci:

Hindarilah telanjang, karena ada (malaikat) yang selalu bersama kamu, yang tidak pernah berpisah denganmu kecuali ketika ke kamar belakang (wc) dan ketika seseorang berhubungan seks dengan istrinya. Maka malulah kepada mereka dan hormatilah mereka (HR At-Tirmidzi).

Apabila salah seorang dari kamu berhubungan seks dengan pasangaunnya, jangan sekali-kali keduannya telanjang bagaikan telanjangnya binatang (HR Ibnu Majah).

Yang dikemukakan di atas adalah tuntunan moral. Sedangkan tuntunan hukumnya tentunya lebih longgar. Dari segi hukum, tidak terlarang bagi seseorang --bila sendirian atau bersama istrinya-- untuk tidak berpakaian. Tetapi, ia berkewajiban menutup auratnya, baik aurat besar (kemaluan) maupun aurat kecil, selama diduga akan ada seseorang --selain pasangannya-- yang mungkin melihat.

Ulama bersepakat menyangkut kewajiban berpakaian sehingga aurat tertutup, hanya saja mereka berbeda pendapat tentang batas aurat itu. Bagian mana dari tubuh manusia yang harus selalu ditutup.

Imam Malik, Syafi'i, dan Abu Hanifah berpendapat bahwa lelaki wajib menutup seluruh badannya dari pusar hingga lututnya, meskipun ada juga yang berpendapat bahwa yang wajib ditutup dari anggota tubuh lelaki hanya yang terdapat antara pusat dan lutut yaitu alat kelamin dan pantat.

Wanita, menurut sebagian besar ulama berkewajiban menutup seluruh angggota tubuhnya kecuali muka dan telapak tangannya, sedangkan Abu Hanifah sedikit lebih longgar, karena
menambahkan bahwa selain muka dan telapak tangan, kaki wanita juga boleh terbuka. Tetapi Abu Bakar bin Abdurrahman dan Imam Ahmad berpendapat bahwa seluruh anggota badan perempuan harus ditutup.

Salah satu sebab perbedaan ini adalah perbedaan penafsiran mereka tentang maksud firman Allah dalam surat Al-Nur (24): 31:

Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang tampak darinya.


2. Perhiasan

Di bagian terdahulu telah dikemukakan ayat Al-Quran yang
memerintahkan umat Islam agar memakai perhiasannya
--lebih-lebih ketika berkunjung ke masjid (QS Al-A'raf [7]:
31).

Perhiasan adalah sesuatu yang dipakai untuk memperelok.
Tentunya pemakainya sendiri harus lebih dahulu menganggap
bahwa perhiasan tersebut indah, kendati orang lain tidak
menilai indah atau pada hakikatnya memang tidak indah.

Al-Quran tidak menjelaskan --apalagi merinci-- apa yang
disebut perhiasan, atau sesuatu yang "elok". Sebagian pakar
menjelaskan bahwa sesuatu yang elok adalah yang menghasilkan
kebebasan dan keserasian.

Bentuk tubuh yang elok adalah yang ramping, karena kegemukan
membatasi kebebasan bergerak. Sentuhan yang indah adalah
sentuhan yang memberi kebebasan memegang sehingga tidak ada
duri atau kekasaran yang mengganggu tangan. Suara yang elok
adalah suara yang keluar dari tenggorokan tanpa paksaan atau
dihadang oleh serak dan semacamnya. Ide yang indah adalah ide
yang tidak dipaksa atau dihambat oleh ketidaktahuan, takhayul,
dan semacamnya. Sedangkan pakaian yang elok adalah yang
memberi kebebasan kepada pemakainya untuk bergerak. Demikian
kurang lebih yang ditulis Abbas A1-Aqqad dalam bukunya
Muthal'at fi Al-Kutub wa Al-Hayat.

Harus diingat pula bahwa kebebasan mesti disertai tanggung
jawab, karenanya keindahan harus menghasilkan kebebasan yang
bertanggung jawab.

Tentu saja kita dapat menerima atau menolak pendapat tersebut,
sekalipun sepakat bahwa keindahan adalah dambaan manusia.
Namun harus disepakati pula bahwa keindahan sangat relatif;
tergantung dari sudut pandang masing-masing penilai. Hakikat
ini merupakan salah satu sebab mengapa Al-Quran tidak
menjelaskan secara rinci apa yang dinilainya indah atau elok.

Wahyu kedua (atau ketiga) yang dinilai oleh ulama sebagai
ayat-ayat yang mengandung informasi pengangkatan Nabi Muhammad
Saw. sebagai Rasul antara lain menuntun beliau agar menjaga
dan terus-menerus meningkatkan kebersihan pakaiannya (QS
Al-Muddatstsir [74]: 4).

Memang salah satu unsur mutlak keindahan adalah kebersihan.
Itulah sebabnya mengapa Nabi Saw. senang memakai pakaian
putih, bukan saja karena warna ini lebih sesuai dengan iklim
Jazirah Arabia yang panas, melainkan juga karena warna putih
segera menampakkan kotoran, sehingga pemakainya akan segera
terdorong untuk mengenakan pakaian lain (yang bersih).

Al-Quran setelah memerintahkan agar memakai pakaian-pakaian
indah ketika berkunjung ke masjid, mengecam mereka yang
mengharamkan perhiasan yang telah diciptakan Allah untuk
manusia.

Katakanlah! "Siapakah yang mengharamkan perhiasan yang
telah Allah keluarkan untuk hamba-hamba-Nya...?" (QS
Al-A'raf [7]: 32)

Berhias adalah naluri manusia. Seorang sahabat Nabi pernah
bertanya kepada Nabi Saw.,

"Seseorang yang senang pakaiannya indah dan alas
kakinya indah (Apakah termasuk keangkuhan?)" Nabi
menjawab, "Sesungguhnya Allah indah, senang kepada
keindahan, keangkuhan adalah menolak kebenaran dan
menghina orang lain."

Terdapat sekian banyak riwayat yang menginformasikan bahwa
Rasullah Saw. menganjurkan agar kuku pun harus dipelihara, dan
diperindah. Istri Nabi, Aisyah, meriwayatkan bahwa:

Seorang wanita menyodorkan --dengan tangannya-- sepucuk
surat kepada Nabi dari belakang tirai, Nabi berhenti
sejenak sebelum menerimanya, dan bersabda, "Saya tidak
tahu, apakah yang (menyodorkan surat) ini tangan lelaki
atau perempuan." Aisyah berkata, "Tangan perempuan,"
Nabi kemudian berkata kepada wanita itu, "Seandainya
Anda wanita, niscaya Anda memelihara kuku Anda
(mewarnainya dengan pacar)."

Demikian Nabi Saw. menganjurkan agar wanita berhias. Al-Quran
memang tidak merinci jenis-jenis perhiasan, apalagi bahan
pakaian yang baik digunakan. Meskipun ada sekian ayat yang
berbicara tentang penghuni surga dan pakaian mereka. misalnya:

Bagi mereka surga 'Adn, mereka masuk ke dalamnya, di
sana mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari
emas dan mutiara, dan pakaian mereka di sana adalah
sutera (QS Fathir [35]: 33).

...Dalam surga mereka dihiasi dengan gelang emas dan
mereka memakai pakaian hijau dan sutera halus dan
sutera tebal, dalam keadaan mereka duduk sambil
bersandar di atas dipan-dipan yang indah... (QS Al-Kahf
[18]: 31).

Perlu dicatat, bahwa yang disebutkan di atas tidak dapat
dianalogikan dengan nama bahan yang sama di dunia ini. Ketika
penghuni surga diberi rezeki berupa buah-buahan, orang menduga
bahwa suguhan tersebut sama dengan yang pernah mereka peroleh
di dunia. Dugaan ini dibantah oleh Al-Quran surat Al-Baqarah
(2): 25 dengan menyatakan, "Mereka diberi yang serupa (tetapi
tak sama)." Demikian juga halnya dengan jenis-jenis perhiasan
yang telah disebutkan.

Berbicara tentang perhiasan, salah satu yang diperselisihkan
para ulama adalah emas dan sutera sebagai pakaian atau
perhiasan lelaki.

Dalam Al-Quran, persoalan ini tidak disinggung, tetapi sekian
banyak hadis Nabi Saw. menegaskan bahwa keduanya haram dipakai
oleh kaum lelaki.

Ali bin Abi Thalib berkata, "Saya melihat Rasullullah
Saw, mengambil sutera lalu beliau meletakkan di sebelah
kanannya, dan emas diletakkannya di sebelah kirinya,
kemunduran beliau bersabda, 'Kedua hal ini haram bagi
lelaki umatku" (HR Abu Dawud dan Nasa'i).

Pendapat ulama berbeda-beda tentang sebab-sebab diharamkannya
kedua hal tersebut bagi kaum lelaki. Antara lain bahwa
keduanya menjadi simbol kemewahan dan perhiasan yang
berlebihan, sehingga menimbulkan ketidakwajaran kecuali bagi
kaum wanita. Selain itu ia dapat mengundang sikap angkuh, atau
karena menyerupai pakaian kaum musyrik.

Muhammad bin 'Asyur, seorang ulama besar kontemporer serta
Mufti Tunisia yang telah diakui otoritasnya oleh dunia Islam,
menulis dalam bukunya Maqashid Asy-Syari'ah Al-Islamiyyah,
bahwa ucapan dan sikap Rasulullah Saw. tidak selalu harus
dipahami sebagai ketetapan hukum. Ada dua belas macam tujuan
ucapan dan sikap beliau, walaupun diakuinya bahwa yang
terpenting dan terbanyak adalah dalam bidang syariat atau
hukum.

Salah satu dari kedua belas tujuan tersebut adalah al-hadyu wa
al-irsyad (tuntunan dan petunjuk). Ini berbeda dengan
ketetapan hukum, karena --tulisnya:

Boleh jadi Nabi Saw. memerintah atau melarang, tetapi
tujuannya bukan harus melaksanakan itu, melainkan
tujuannya adalah tuntunan ke jalan-jalan yang baik
(hlm. 32).

Dalam rinciannya, ulama besar itu menulis bahwa sebagian
tuntunan tersebut berupa nasihat-nasihat. Dalam bidang pakaian
dikemukakannya hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang
disampaikan oleh sahabat Nabi Al-Bara' bin 'Azib:

Rasulullah Saw. memerintahkan kami tujuh hal dan
melarang tujuh hal; memerintahkan kami mengunjungi
orang sakit, mengantar jenazah, mendoakan yang bersin
(mengucapkan "yarhamukallah" bila orang yang bersin
mengucapkan alhamdulillah), mengabulkan permintaan
(yang meminta dengan menyebut nama Allah), membantu
yang teraniaya, menyebarluaskan salam, serta menghadiri
undangan. Beliau melarang kami memakai cincin emas,
perabot perak, pelana dari kapas, aqsiyah (bentuk jamak
dari "qisiy", yaitu sejenis pakaian yang dibuat di
Mesir berbahan sutera), istabraq (sutera tebal), dan
dibaj (sutera halus).

Di sini, tulis Muhammad bin 'Asyur, terdapat perintah yang
jelas-jelas wajib, seperti membantu yang teraniaya (kalau
mampu). Ada juga larangan yang jelas haram, seperti minum dari
gelas perak. Ada juga yang jelas tidak wajib, seperti
mendoakan orang yang bersin, dan mengabulkan permintaan
(walau) dengan cara yang disebut di atas, dan terdapat juga
yang jelas tidak haram seperti mengenakan pelana dari kapas
atau jenis pakaian buatan Mesir. Larangan-larangan semacam itu
tidak lain kecuali bertujuan menghindarkan sahabat-sahabat
beliau (dan tentu termasuk umatnya) dari penampilan
berlebih-lebihan, berfoya-foya, dan berhias dengan warna-warna
menyolok seperti warna merah. Pemahaman ini diperkuat oleh
hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ali bin Abi Thalib
yang menyatakan bahwa,

Rasul Saw. melarang memakai aqsiyah, bercincin emas,
membaca ayat Al-Quran ketika sedang rukuk dan sujud
dalam shalat. (Ali berkata), "Aku tidak berkata bahwa
kamu sekalian dilarang."

Maksudnya bahwa sebagian larangan itu tidak ditujukan kepada
seluruh umat, tetapi hanya kepada Ali bin Abi Thalib.
Demikian Muhammad Thahir bin 'Asyur, dalam Magashid
Asy-Syariah Al-Islamiyyah' hlm. 36.

Sebelum mengakhiri uraian tentang fungsi pakaian sebagai
perhiasan, perlu digarisbawahi bahwa salah satu yang harus
dihindari dalam berhias adalah timbulnya rangsangan berahi
dari yang melihatnya (kecuali suami atau istri) dan atau sikap
tidak sopan dari siapa pun.

Hal-hal tersebut dapat muncul dari cara berpakaian, berhias,
berjalan, berucap, dan sebagainya.

Berhias tidak dilarang dalam ajaran Islam, karena ia adalah
naluri manusiawi. Yang dilarang adalah tabarruj al-jahiliyah,
satu istilah yang digunakan Al-Quran (QS Al-Ahzab [33]: 33)
mencakup segala macam cara yang dapat menimbulkan rangsangan
berahi kepada selain suami istri. Termasuk dalam cakupan
maksud kata tabarruj menggunakan wangi-wangian (yang menusuk
hidung). Rasul Saw. bersabda:

Wanita yang memakai parfum (yang merangsang) dan lewat
di satu majelis (kelompok pria), maka sesungguhnya dia
"begini" (yakni berzina) (HR At-Tirmidzi).

Al-Quran mempersilakan perempuan berjalan di hadapan lelaki,
tetapi diingatkannya agar cara berjalannya jangan sampai
mengundang perhatian. Dalam bahasa Al-Quran disebutkan:

...dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar
diketahui perhiasan yang mereka "sembunyikan" (QS
Al-Nur [24]: 31).

Al-Quran tidak melarang seseorang berbicara atau bertemu
dengan lawan jenisnya, tetapi jangan sampai sikap dan isi
pembicaraan mengundang rangsangan dan godaan,... demikian
maksud firman Allah dalam sural Al-Ahzab (33): 32:

...maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
berkeinginan orang yang ada penyakit dalam jiwanya...
(QS Al-Ahzab [33]: 32).

Demikian, sebagian tuntunan Al-Quran tentang perhiasan.

PERLINDUNGAN (TAKWA)

Di atas telah dikemukakan bahwa salah satu fungsi pakaian
adalah "perlindungan". Bahwa pakaian tebal dapat melindungi
seseorang dari sengatan dingin, dan pakaian yang tipis dari
sengatan panas, bukanlah hal yang perlu dibuktikan. Yang
demikian ini adalah perlindungan secara fisik.

Di sisi lain, pakaian memberi pengaruh psikologis bagi
pemakainya. Itu sebabnya sekian banyak negara mengubah pakaian
militernya, setelah mengalami kekalahan militer. Bahkan Kemal
Ataturk di Turki, melarang pemakaian tarbusy (sejenis tutup
kepala bagi pria), dan memerintahkan untuk menggantinya dengan
topi ala Barat, karena tarbusy dianggapnya mempengaruhi sikap
bangsanya serta merupakan lambang keterbelakangan.

Dalam kehidupan sehari-hari kita dapat merasakan pengaruh
psikologis dari pakaian jika kita ke pesta. Apabila mengenakan
pakaian buruk, atau tidak sesuai dengan situasi, maka
pemakainya akan merasa rikuh, atau bahkan kehilangan
kepercayaan diri, sebaliknya pun demikian.

Kaum sufi, sengaja memakai shuf (kain wol) yang kasar agar
dapat menghasilkan pengaruh positif dalam jiwa mereka.

Memang, harus diakui bahwa pakaian tidak menciptakan santri,
tetapi dia dapat mendorong pemakainya untuk berperilaku
seperti santri atau sebaliknya menjadi setan, tergantung dari
cara dan model pakaiannya. Pakaian terhormat, mengundang
seseorang untuk berperilaku serta mendatangi tempattempat
terhormat, sekaligus mencegahnya ke tempat-tempat yang tidak
senonoh. Ini salah satu yang dimaksud Al-Quran dengan
memerintahkan wanita-wanita memakai jilbab.

Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenal
(sebagai Muslimah/wanita terhormat) sehingga mereka
tidak diganggu.

Fungsi perlindungan bagi pakaian dapat juga diangkat untuk
pakaian ruhani, libas at-tagwa. Setiap orang dituntut untuk
merajut sendiri pakaian ini. Benang atau serat-seratnya adalah
tobat, sabar, syukur, qana'ah, ridha, dan sebagainya.

Iman itu telanjang, pakaiannya adalah takwa.

Demikian sabda Nabi Muhammad Saw.

Al-Quran mengingatkan kepada mereka yang telah berhasil
merajut pakaian takwa:

Janganlah kamu menjadi seperti seorang perempuan (gila
dalam cerita lama) mengurai kembali tenunannya sehelai
benang demi sehelai, setelah ditenunnya dengan kuat (QS
Al-Nahl [l6]: 92).

PENUNJUK IDENTITAS

Yang demikian itu lebih mudah bagi mereka untuk dikenal (QS
Al-Ahzab [33]: 59)

Demikian terjemahan ayat yang menggambarkan fungsi pakaian.

Identitas/kepribadian sesuatu adalah yang menggambarkan
eksistensinya sekaligus membedakannya dari yang lain.
Eksistensi atau keberadaan seseorang ada yang bersifat
material dan ada juga yang imaterial (ruhani). Hal-hal yang
bersifat material antara lain tergambar dalam pakaian yang
dikenakannya.

Anda dapat mengetahui sekaligus membedakan murid SD dan SMP,
atau Angkatan Laut dan Angkatan Darat, atau Kopral dan
Jenderal dengan melihat apa yang dipakainya. Tidak dapat
disangkal lagi bahwa pakaian antara lain berfungsi menunjukkan
identitas serta membedakan seseorang dari lainnya. Bahkan
tidak jarang ia membedakan status sosial seseorang.

Rasul Saw. amat menekankan pentingnya penampilan identitas
Muslim, antara lain melalui pakaian. Karena itu:

Rasulullah Saw. melarang lelaki yang memakai pakaian
perempuan dan perempuan yang memakai pakaian lelaki (HR
Abu Daud).

Kepribadian umat juga harus ada. Ketika Rasul membicarakan
bagaimana cara yang paling tepat untuk menyampaikan/mengundang
kaum Muslim melaksanakan shalat, maka ada di antara sahabatnya
yang mengusulkan menancapkan tanda, sehingga yang melihatnya
segera datang. Beliau tidak setuju. Ada lagi yang mengusulkan
untuk menggunakan terompet, dan komentar beliau: "Itu cara
Yahudi." Ada juga yang mengusulkan membunyikan lonceng. "Itu
cara Nasrani," sabda beliau. Akhirnya yang disetujui beliau
adalah adzan yang kita kenal sekarang, setelah Abdullah bin
Zaid Al-Anshari dan juga Umar ra. Bermimpi tentang cara
tersebut. Demikian diriwayatkan oleh Abu Daud. Yang penting
untuk digarisbawahi adalah bahwa Rasul menekankan pentingnya
menampilkan kepribadian tersendiri, yang berbeda dengan yang
lain. Dari sini dapat dimengerti mengapa Rasul Saw. bersabda:

Siapa yang meniru satu kaum, maka ia termasuk kelompok
kaum itu.

Kepribadian imaterial (ruhani) bahkan ditekankan oleh
Al-Quran, antara lain melalui surat Al-Hadid (57): 16:

Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman,
untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada
kebenaran yang telah turun, dan janganlah mereka
seperti orang-orang sebelumnya yang telah diberikan
Al-Kitab (orang Yabudi dan Nasrani). Berlalulah masa
yang panjang bagi mereka sehingga hati mereka menjadi
keras. Kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang
fasik.

Seorang Muslim diharapkan mengenakan pakaian ruhani dan
jasmani yang menggambarkan identitasnya.

Disadari sepenuhnya bahwa Islam tidak datang menentukan mode
pakaian tertentu, sehingga setiap masyarakat dan periode, bisa
saja menentukan mode yang sesuai dengan seleranya. Namun
demikian agaknya tidak berlebihan jika diharapkan agar dalam
berpakaian tercermin pula identitas itu.

Tidak diragukan lagi bahwa jilbab bagi wanita adalah gambaran
identitas seorang Muslimah, sebagaimana yang disebut Al-Quran.
Tetapi apa hukumnya? Baiklah kita membahasnya dalam bagian
berikut ini.

SEPUTAR AYAT AL-NUR DAN AL-AHZAB

Wanita-wanita Muslim, pada awal Islam di Madinah, memakai
pakaian yang sama dalam garis besar bentuknya dengan
pakaian-pakaian yang dipakai oleh wanita-wanita pada umumnya.
Ini termasuk wanita-wanita tuna susila atau hamba sahaya.
Mereka secara umum memakai baju dan kerudung bahkan jilbab
tetapi leher dan dada mereka mudah terlihat. Tidak jarang
mereka memakai kerudung tetapi ujungnya dikebelakangkan
sehingga telinga, leher dan sebagian dada mereka terbuka.
Keadaan semacam itu digunakan oleh orang-orang munafik untuk
menggoda dan mengganggu wanita-wanita termasuk wanita
Mukminah. Dan ketika mereka ditegur menyangkut gangguannya
terhadap Mukminah, mereka berkata: "Kami kira mereka hamba
sahaya." Ini tentu disebabkan karena ketika itu identitas
mereka sebagai wanita Muslimah tidak terlihat dengan jelas.
Nah, dalam situasi yang demikian turunlah petunjuk Allah
kepada Nabi yang menyatakan:

Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuan dan istri-istri orang Mukmin agar mengulurkan
atas diri mereka jilbab-jilbab mereka. Yang demikian
itu menjadikan mereka. Lebih mudah untuk dikenal
(sebagai wanita Muslimah/wanita merdeka/orang
baik-baik) sehingga mereka tidak diganggu. Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang (QS A1-Ahzab [33]: 59).

Jilbab adalah baju kurung yang longgar dilengkapi dengan
kerudung penutup kepala.

Ayat ini secara jelas menuntun/menuntut kaum Muslimah agar
memakai pakaian yang membedakan mereka dengan yang bukan
Muslimah yang memakai pakaian tidak terhormat lagi mengundang
gangguan tangan atau lidah yang usil. Ayat ini memerintahkan
agar jilbab yang mereka pakai hendaknya diulurkan ke badan
mereka.

Seperti tergambar di atas, wanita-wanita Muslimah sejak semula
telah memakai jilbab, tetapi cara pemakaiannya belum
menghalangi gangguan serta belum menampakkan identitas
Muslimah.

Nah, di sinilah Al-Quran memberi tuntunan itu.

Penjelasan serupa tentang pakaian ditemukan pada surat Al-Nur
(24): 31,

Katakanlah, kepada wanita yang beriman, hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya
dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali
yang tampak darinya. Hendaklah mereka
mengulurkan/menutupkan kain kudung kedadanya dan
janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada
suami mereka, atau ayah mereka, atau mertua mereka,
atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka,
atau saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara
lelaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan
mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang
mereka miliki, atau pelayan-pelayan lelaki yang tidak
mempunyai keinginan terhadap wanita, atau anak-anak
yang belum mengerti tentang aurat wanita. Janganlah
mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang
mereka sembunyikan dan bertobatlah kamu sekalian kepada
Allah, hai orang yang beriman, supaya kamu beruntung.

Surat Al-Nur (24): 31 di atas, kalimat-kalimatnya cukup jelas.
Tetapi yang paling banyak menyita perhatian ulama tafsir
adalah larangan menampakkan zinah (hiasan) yang dikecualikan
oleh ayat di atas dengan menggunakan redaksi illa ma zhahara
minha [kecuali (tetapi) apa yang tampak darinya].

Mereka sepakat menyatakan bahwa zinah berarti hiasan (bukan
zina yang artinya hubungan seks yang tidak sah); sedangkan
hiasan adalah segala sesuatu yang digunakan untuk memperelok,
baik pakaian penutup badan, emas dan semacamnya maupun
bahan-bahan make up.

Tetapi apa yang dimaksud dengan pengecualian itu? Inilah yang
mereka bahas secara panjang lebar sekaligus merupakan salah
satu kunci pemahaman ayat tersebut.

Ada yang berpendapat bahwa kata illa adalah istisna' muttashil
(satu istilah -- dalam ilmu bahasa Arab yang berarti "yang
dikecualikan merupakan bagian/jenis dari apa yang disebut
sebelumnya"), dan dalam penggalan ayat ini adalah zinah atau
hiasan.

Ini berarti ayat tersebut berpesan: "Hendaknya janganlah
wanita-wanita menampakkan hiasan (anggota tubuh) mereka
kecuali apa yang tampak."

Redaksi ini, jelas tidak lurus, karena apa yang tampak tentu
sudah kelihatan. Jadi, apalagi gunanya dilarang? Karena itu,
lahir paling tidak tiga pendapat lain guna lurusnya pemahamam
redaksi tersebut.

Pertama, memahami illa dalam arti tetapi atau dalam istilah
ilmu bahasa Arab istisna' munqathi' dalam arti yang
dikecualikan bukan bagian/jenis yang disebut sebelumnya. Ini
bermakna: "Janganlah mereka menampakkan hiasan mereka sama
sekali; tetapi apa yang tampak (secara terpaksa/bukan sengaja
seperti ditiup angin dan lain-lain), maka itu dapat dimaafkan.

Kedua, menyisipkan kalimat dalam penggalan ayat itu. Kalimat
dimaksud menjadikan penggalan ayat itu mengandung pesan lebih
kurang: "Janganlah mereka (wanita-wanita) menampakkan hiasan
(badan mereka). Mereka berdosa jika demikian. Tetapi jika
tampak tanpa disengaja, maka mereka tidak berdosa."

Penggalan ayat --jika dipahami dengan kedua pendapat di atas--
tidak menentukan batas bagi hiasan yang boleh ditampakkan,
sehingga berarti seluruh anggota badan tidak boleh tampak
kecuali dalam keadaan terpaksa.

Tentu saja pemahaman ini, mereka kuatkan pula dengan sekian
banyak hadis, seperti sabda Nabi Saw. kepada Ali bin Abi
Thalib yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan At-Tirmidzi melalui
Buraidah:

Wahai Ali, jangan ikutkan pandangan pertama dengan pandangan
kedua. Yang pertama Anda ditolerir, dan yang kedua anda
berdosa.

Riwayat berikut juga dijadikan alasan,

Pemuda, Al-Fadhl bin Abbas, ketika haji Wada'
menunggang unta bersama Nabi Saw., dan ketika itu ada
seorang wanita cantik, yang ditatap terus-menerus oleh
Al-Fadhl. Maka Nabi Saw. memegang dagu Al-Fadhl dan
mengalihkan wajahnya agar ia tidak melihat wanita
tersebut secara terus-menerus.

Demikian diriwayatkan oleh Bukhari dari saudara Al-Fadhl
sendiri, yaitu Ibnu Abbas.

Bahkan penganut pendapat ini merujuk kepada ayat A1-Quran,

Dan apabila kamu meminta sesuatu dan mereka, maka
mintalah dari belakang tabir (QS Al-Ahzab 133]: 53).

Ayat ini walaupun berkaitan dengan permintaan sesuatu dari
istri Nabi, namun dijadikan oleh ulama penganut kedua pendapat
di atas, sebagai dalil pendapat mereka.

Ketõga, memahami "kecuali apa yang tampak" dalam arti yang
yang biasa dan atau dibutuhkan keterbukaannya sehingga harus
tampak." Kebutuhan disini dalam arti menimbulkan kesulitan
bila bagian badan tersebut ditutup. Mayoritas ulama memahami
penggalan ayat tersebut dalam arti ketiga ini. Cukup banyak
hadis yang mendukung pendapat ini. Misalnya:

Tidak dibenarkan bagi seorang wanita yang percaya
kepada Allah dan hari kemudian untuk menampakkan kedua
tangannya, kecuali sampai di sini (Nabi kemudran
memegang setengah tangan belõau) (HR Ath-Thabari).

Apabila wanita telah haid, tidak wajar terlihat darinya
kecuali wajah dan tangannya sampai ke pergelangan (HR
Abu Daud).

Pakar tafsir Al-Qurthubi, dalam tafsirnya mengemukakan bahwa
ulama besar Said bin Jubair, Atha dan Al-Auzaiy berpendapat
bahwa yang boleh dilihat hanya wajah wanita, kedua telapak
tangan dan busana yang dipakainya. Sedang sahabat Nabi Ibnu
Abbas, Qatadah, dan Miswar bin Makhzamah, berpendapat bahwa
yang boleh termasuk juga celak mata, gelang, setengah dari
tangan yang dalam kebiasaan wanita Arab dihiasi/diwarnai
dengan pacar (yaitu semacam zat klorofil yang terdapat pada
tumbuhan yang hijau), anting, cincin, dan semacamnya.
Al-Qurthubi juga mengemukakan hadis yang menguraikan kewajiban
menutup setengah tangan.

Syaikh Muhammad Ali As-Sais, Guru Besar Universitas Al-Azhar
Mesir, mengemukakan dalam tafsirnya-yang menjadi buku wajib
pada Fakultas Syariah Al-Azhar bahwa Abu Hanifah berpendapat
kedua kaki, juga bukan aurat. Abu Hanifah mengajukan alasan
bahwa ini lebih menyulitkan dibanding dengan tangan, khususnya
bagi wanita-wanita miskin di pedesaan yang (ketika itu)
seringkali berjalan (tanpa alas kaki) untuk memenuhi kebutuhan
mereka. Pakar hukum Abu Yusuf bahkan berpendapat bahwa kedua
tangan wanita bukan aurat, karena dia menilai bahwa mewajibkan
untuk menutupnya menyulitkan wanita.

Dalam ajaran Al-Quran memang kesulitan merupakan faktor yang
menghasilkan kemudahan. Secara tegas Al-Quran menyatakan bahwa
Allah tidak berkehendak menjadikan bagi kamu sedikit kesulitan
pun (QS Al-Ma-idah [5]: 6) dan bahwa Allah menghendaki buat
kamu kemudahan bukan kesulitan (QS Al-Baqarah [2): 185).

Pakar tafsir Ibnu Athiyah sebagaimana dikutip oleh Al-Qurthubi
berpendapat:

Menurut hemat saya, berdasarkan redaksi ayat, wanita
diperintahkan untuk tidak menampakkan dan berusaha
menutup segala sesuatu yang berupa hiasan.
Pengecualian, menurut hemat saya, berdasarkan keharusan
gerak menyangkut (hal-hal) yang mesti, atau untuk
perbaikan sesuatu dan semacamnya.

Kalau rumusan Ibnu Athiyah diterima, maka tentunya yang
dikecualikan itu dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan
mendesak yang dialami seseorang.

Al-Qurthubi berkomentar:

Pendapat (Ibnu Athiyah) ini baik. Hanya saja karena
wajah dan kedua telapak tangan seringkali (biasa)
tampak --baik sehari-hari maupun dalam ibadah seperti
ketika shalat dan haji-- maka sebaiknya redaksi
pengecualian "kecuali yang tampak darinya" dipahami
sebagai kecuali wajah dan kedua telapak tangan yang
biasa tampak itu.

Demikian terlihat pakar hukum ini mengembalikan pengecualian
tersebut kepada kebiasaan yang berlaku. Dari sini, dalam
Al-Quran dari Terjemah-nya susunan Tim Departemen Agama,
pengecualian itu diterjemahkan sebagai kecuali yang (biasa)
tampak darinya.

Nah, Anda boleh bertanya, apakah "kebiasaan" yang dimaksud
berkaitan dengan kebiasaan wanita pada masa turunnya ayat ini,
atau kebiasaan wanita di setiap masyarakat Muslim dalam masa
yang berbeda-beda? Ulama tafsir memahami kebiasaan dimaksud
adalah kebiasaan pada masa turunnya Al-Quran, seperti yang
dikemukakan Al-Qurthubi di atas.

Sebelum menengok kepada pendapat beberapa ulama kontemporer,
ada baiknya kita melanjutkan sedikit lagi uraian ayat di atas,
menyangkut kerudung.

Hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke atas
juyubi-hinna (dada mereka).

Juyub adalah jamak jaib yaitu lubang yang terletak di bagian
atas pakaian yang biasanya menampakkan (sebagian) dada.

Kandungan ayat ini berpesan agar dada ditutup dengan kerudung
(penutup kepala). Apakah ini berarti bahwa kepala (rambut)
juga harus ditutup? Jawabannya, "ya". Demikian pendapat yang
logis, apalagi jika disadari bahwa "rambut adalah
hiasan/mahkota wanita". bahwa ayat ini tidak menyebut secara
tegas perlunya rambut ditutup, hal ini agaknya tidak perlu
disebut. Bukankah mereka telah memakai kudung yang tujuannya
adalah menutup rambut?

PENDAPAT BEBERAPA ULAMA KONTEMPORER TENTANG JILBAB

Di atas --semoga telah tergambar-- tafsir serta pandangan
ulama-ulama mutaqaddimin (terdahulu) tentang persoalan jilbab
dan batas aurat wanita. Tidak dapat disangkal bahwa pendapat
tersebut didukung oleh banyak ulama kontemporer. Namun amanah
ilmiah mengundang penulis untuk mengemukakan pendapat yang
berbeda --dan yang boleh jadi dapat dijadikan bahan
pertimbangan dalam menghadapi kenyataan yang ditampilkan oleh
mayoritas wanita Muslim dewasa ini.

Muhammad Thahir bin Asyur seorang ulama besar dari Tunis, yang
diakui juga otoritasnya dalam bidang ilmu agama, menulis dalam
Maqashid Al-Syari'ah sebagal berikut:

Kami percaya bahwa adat kebiasaan satu kaum tidak boleh
--dalam kedudukannya sebagai adat-- untuk dipaksakan
terhadap kaum lain atas nama agama, bahkan tidak dapat
dipaksakan pula terhadap kaum itu.

Bin Asyur kemudian memberikan beberapa contoh dari Al-Quran
dan Sunnah Nabi. Contoh yang diangkatnya dari Al-Quran adalah
surat Al-Ahzab (33): 59, yang memerintahkan kaum Mukminah agar
mengulurkan jilbabnya. Tulisnya:

Di dalam Al-Quran dinyatakan, Wahai Nabi, katakan
kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan
wanita-wanita Mukmin; hendak1ah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka, yang demikian itu
supaya mereka lebih mudah dikenal sehingga tidak
diganggu. Ini adalah ajaran yang mempertimbangkan adat
orang-orang Arab, sehingga bangsa-bangsa lain yang
tidak menggunakan jilbab, tidak memperoleh bagian
(tidak berlaku bagi mereka) ketentuan ini.

Dalam kitab tafsirnya ia menulis bahwa:

Cara memakai jilbab berbeda-beda sesuai dengan
perbedaan keadaan wanita dan adat mereka. Tetapi tujuan
perintah ini adalah seperti bunyi ayat itu yakni "agar
mereka dapat dikenal (sebagai wanita Muslim yang baik)
sehingga tidak digangu" (Tafsir At-Tahrir, jilid XXII,
hlm. lO).

Tetapi bagaimana dengan ayat-ayat ini, yang menggunakan
redaksi perintah?

Jawabannya --yang sering terdengar dalam diskusi-- adalah:
Bukankah tidak semua perintah yang tercantum dalam Al-Quran
merupakan perintah wajib? Pernyataan itu, memang benar.
Perintah menulis hutang-piutang (QS Al-Baqarah [2]: 282)
adalah salah satu contohnya.

Tetapi bagaimana dengan hadis-hadis yang demikian banyak?
Jawabannya pun sama. Bukankah seperti yang dikemukakan oleh
Bin Asyur di atas bahwa ada hadis-hadis Nabi yang merupakan
perintah, tetapi perintah dalam arti "sebaiknya" bukan
seharusnya. (Lihat kembali uraian tentang memakai pakaian
sutera, cincin, emas pada buku ini).

Memang, kita boleh berkata bahwa yang menutup seluruh badannya
kecuali wajah dan (telapak) tangannya, menjalankan bunyi teks
ayat itu, bahkan mungkin berlebih. Namun dalam saat yang sama
kita tidak wajar menyatakan terhadap mereka yang tidak memakai
kerudung, atau yang menampakkan tangannya, bahwa mereka
"secara pasti telah melanggar petunjuk agama". Bukankah
Al-Quran tidak menyebut batas aurat? Para ulama pun ketika
membahasnya berbeda pendapat.

Namun demikian, kehati-hatian amat dibutuhkan, karena pakaian
lahir dapat menyiksa pemakainya sendiri apabila ia tidak
sesuai dengan bentuk badan si pemakai. Demikian pun pakaian
batin. Apabila tidak sesuai dengan jati diri manusia, sebagai
hamba Allah, yang paling mengetahui ukuran dan patron terbaik
buat manusia.

***

Sebagai akhir dari uraian tentang wawasan Islam menyangkut
pakaian, ada baiknya digarisbawahi dua hal.

Pertama: Al-Quran dan Sunnah secara pasti melarang segala
aktivitas --pasif atau aktif-- yang dilakukan seseorang bila
diduga dapat menimbulkan rangsangan berahi kepada 1awan
jenisnya. Di sini tidak ada tawar-menawar.

Kedua, Tuntunan Al-Quran menyangkut berpakaian --sebagaimana
terlihat dalam surat Al-Ahzab dan Al-Nur-- yang dikutip di
atas, ditutup dengan ajakan bertobat (QS Al-Nur [24]: 31) dan
pernyataan bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang pada
surat Al-Ahzab (33): 59.

Ajakan bertobat agaknya merupakan isyarat bahwa pelanggaran
kecil atau besar terhadap tuntunan memelihara pandangan kepada
lawan jenis, tidak mudah dihindari oleh seseorang. Maka setiap
orang dituntut untuk berusaha sebaik-baiknya dan sesuai
kemampuannya. Sedangkan kekurangannya, hendaknya dia mohonkan
ampun dari Allah, karena Dia Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.

Pernyataan bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
--semoga-- mengandung arti bahwa Allah mengampuni kesalahan
mereka yang lalu dalam hal berpakaian. Karena Dia Maha
Penyayang dan mengampuni pula mereka yang tidak sepenuhnya
melaksanakan tuntunan-Nya dan tuntunan Nabi-Nya, selama mereka
sadar akan kesalahan dan kekurangannya serta berusaha untuk
menyesuaikan diri dengan petunjuk-petunjuk-Nya.

Wa Allahu A'lam.