Keindahan Seni


Seni adalah keindahan. Ia merupakan ekspresi ruh dan budaya
manusia yang mengandung dan mengungkapkan keindahan. Ia lahir
dari sisi terdalam manusia didorong oleh kecenderungan seniman
kepada yang indah, apa pun jenis keindahan itu. Dorongan
tersebut merupakan naluri manusia, atau fitrah yang
dianugerahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya.

Di sisi lain, Al-Quran memperkenalkan agama yang lurus sebagai
agama yang sesuai dengan fitrah manusia.

Maka, tetapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama
(Allah); (tetaplah atas) fitrah Alah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus,
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (QS Al-Rum
[30]: 30)

Adalah merupakan satu hal yang mustahil, bila Allah yang
menganugerahkan manusia potensi untuk menikmati dan
mengekspresikan keindahan, kemudian Dia melarangnya. Bukankah
Islam adalah agama fitrah? Segala yang bertentangan dengan
fitrah ditolaknya, dan yang mendukung kesuciannya ditopangnya.

Kemampuan berseni merupakan salah satu perbedaan manusia
dengan makhluk lain. Jika demikian. Islam yasti mendukung
kesenian selama penampilan lahirnya mendukung fitrah manusia
yang suci itu, dan karena itu pula Islam bertemu dengan seni
dalam jiwa manusia, sebagaimana seni ditemukan oleh jiwa
manusia di dalam Islam.

Tetapi mengapa selama ini ada kesan bahwa Islam menghambat
perkembangan seni dan memusuhinya? Jawabannya boleh jadi
tersirat dari informasi berikut.

Diriwayatkan bahwa Umar Ibnul Khaththab --khalifah kedua--
pernah berkata, Umat Islam meninggalkan dua pertiga dari
transaksi ekonomi karena khawatir terjerumus ke dalam haram
(riba). Ucapan ini benar adanya, dan agaknya ia juga dapat
menjadi benar jika kalimat transaksi ekonomi diganti dengan
kesenian.

Boleh jadi problem yang paling menonjol dalam hubungan dengan
seni budaya dan Islam, sekaligus kendala utama kemauannya
adalah kekhawatiran tersebut.

Bahasan berikut akan berusaha memaparkan wawasan Al-Quran
tentang seni.

KEINDAHAN DALAM KONSEP AL-QURAN

Tidak keliru jika dikatakan bahwa inti dari segala uraian
Al-Quran adalah memperkenalkan keesaan Allah Swt. Ini terlihat
sejak wahyu pertama Al-Quran, ketika wahyu tersebut
memerintahkan untuk membaca dengan nama Tuhan yang
diperkenalkannya sebagai Maha Pencipta, Maha Pemurah serta
Pengajar.

Dalam rangka memperkenalkan diri-Nya itulah Allah menciptakan
alam raya, seperti bunyi satu ungkapan yang dinilai oleh
sementara ulama sebagai hadis qudsi,

Aku tadinya sesuatu yang tidak dikenal. Aku ingin
dikenal, maka Kuciptakan makhluk agar mereka
mengenal-Ku.

Untuk tujuan memperkenalkan-Nya --disamping tujuan yang lain--
kitab suci Al-Quran mengajak manusia memandang ke seluruh
jagat raya, antara lain dari sisi keserasian dan keindahanya.

Tidakkah mereka melihat ke langit yang ada di atas
mereka, bagaimana Kami meninggikan dan menghiasi, dan
langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikit pun?
(QS Qaf [50]: 6)

Setelah Al-Quran berbicara tentang aneka tumbuh-tumbuhan
dinyatakannya,

Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah
(perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada
yang demikian itu, terdapat tanda-tanda (kekuasaan
Allah) bagi orang-orang yang beriman (QS Al-Anam [61:
99)

Allah Swt. tidak hanya menciptakan 1angit, melainkan juga
memeliharanya. Bukan hanya hifzhan, tetapi juga zinatan
(hiasan yang indah). Begitu pernyataan Allam dalam surat
Ash-Shaffat (37): 6-7 dan Fushshilat (41): 12. Laut pun
diciptakan antara lain agar dapat diperoleh darinya bukan
sekadar daging segar, tetapi juga hiasan yang memperindah
penampilan seseorang.

Dan Dialah (Allah) yang menundukkan lautan (untukmu)
agar kamu dapat memakan darinya (laut itu) daging
yang segar (ikan), dan kamu dapat mengeluarkan
darinya (lautan itu) perhiasan yang kamu pakai, serta
kamu dapat melihat bahtera yang berlayar padanya ...
(QS Al-Nah1 [16]: 14) .

Gunung-gunung dengan ketegarannya, bintang ketika terbenam,
matahari saat naik sepenggalan, malam ketika hening dan masih
banyak yang lain, semua diungkapkan oleh A1-Quran. Bahkan
pemandangan ternak dinyatakannya:

Kamu memperoleh pandangan yang indah ketika kamu
membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu
melepaskannya ke tempat penggembalaan (QS Al-Nah1
[16]: 6).

Ayat terakhir ini melepaskan kendali kepada manusia yang
memandangnya untuk menikmati dan melukiskan keindahan itu,
sesuai dengan subjektivitas perasaannya. Begitu kurang lebih
uraian para mufasir ketika menganalisis redaksi ayat itu.

Ini berarti bahwa seni dapat dicetuskan oleh perorangan sesuai
dengan kecenderungannya, atau, oleh kelompok masyarakat sesuai
dengan budayanya, tanpa diberi batasan ketat kecuali yang
digariskan-Nya pada awal uraian surat Al-Nahl itu, yakni

Mahasuci Allah dari segala kekurangan dan Mahatinggi
dari apa yang mereka persekutukan.

Menang, kehidupan dunia tidak akan berakhir kecuali apabila
dunia ini telah sempurna keindahannya, dan manusia telah
mengenakan semua hiasannya.

Sesungguhnya perumpamaan kehidupan dunia ini adalah
seperti air hujan yang Kami turunkan dari langit,
lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu
tanaman-tanaman di bumi di antaranya ada yang dimakan
manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi
telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula)
perhiasannya, serta pemilik-pemiliknya merasa yakin
berkuasa atasnya, ketika itu serta merta datang siksa
Kami di waktu malam atau siang, lalu kami jadikan
tanaman-tanamannya laksana tanaman yang telah
disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin.
Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan
Kami kepada orang-orang yang berpikir (QS Yunus [10]:
24).

Bumi berhias sedemikian itu sebagai buah keberhasilan manusia
memperindahnya. Tentu saja hal tersebut merupakan hasil
dorongan naluri manusia yang selalu mendambakan keindahan.

Kembali kepada keindahan alam raya dan peranannya dalam
pembuktian keesaan dan kekuasaan Allah, kita dapat berkata
bahwa mengabaikan sisi-sisi keindahan yang terdapat di alam
raya ini, berarti mengabaikan salah satu dari bukti keesaan
Allah Swt., dan mengekspresikannya dapat merupakan upaya
membuktikan kebesaran-Nya, tidak kalah --kalau enggan berkata
lebih kuat-- dari upaya membuktikannya dengan akal pikiran.
Bukankah seperti tulis Immannuel Kant, dan dikuatkan juga oleh
mantan Pemimpin Tertinggi Al-Azhar Syaikh Abdul-Halim Mahmud,
bahwa Bukti terkuat tentang wujud Tuhan terdapat dalam rasa
manusia, bukan akalnya. Kita tidak perlu bertepuk tangan
kepada logika yang membuktikan wujud Tuhan, karena dengan
logika juga orang membuktikan sebaliknya.

Karena itu pula Imam Al-Ghazali menulis dalam Ihya Ulumuddin.
bahwa:

Siapa yang tidak berkesan hatinya di musim bunga
dengan kembang-kembangnya, atau oleh alat musik dan
getaran nadanya, maka fitrahnya telah mengidap
penyakit parah yang sulit diobati.

Seorang Muslim dituntut untuk berakhlak dengan akhlak Ilahi
sesuai dengan kemampuannya sebagai makhluk. Dalam konteks ini,
Nabi Saw. bersabda, Berakhlaklah dengan akhlak Allah.

Dalam sabda yang lain beliau menyatakan bahwa

Sesungguhnya Allah Mahaindah dan menyenangi
keindahan.

Bahkan ada hadis Nabi yang memberi kesan bolehnya
memperhatikan keindahan diri sampai pada batas bersaing untuk
menjadi yang terindah. Seorang sahabat Nabi bernama Malik bin
Mararah Ar-Rahawi, pernah bertanya kepada Nabi Saw.,

Sahabat Rasul Malik bin Mararah Ar-Rahawi bertanya
kepada Nabi Saw., Wahai Rasul, Allah telah
menganugerahkan kepadaku keindahan seperti yang
engkau lihat. Aku tidak senang ada seseorang yang
melebihiku walau dengan sepasang alas kaki atau
melebihinya, apakah demikian merupakan keangkuhan?
Nabi menjawab, Tidak! Keangkuhan adalah meremehkan
hak dan merendahkan orang lain. (HR Ahmad dan Abu
Dawud).

Rasulullah Saw. sendiri memakai pakaian yang indah, bahkan
suatu ketika beliau memperoleh hadiah berupa pakaian yang
bersulam benang emas, lalu naik ke mimbar, namun beliau tidak
berkhutbah dan kemudian turun. Sahabat-sahabatnya demikian
kagum dengan baju itu, sampai mereka memegang dan merabanya,
Nabi Saw. bersabda.

Apakah kalian mengagumi baju ini? Mereka berkata,
Kami sama sekali belum pernah melihat pakaian lebih
indah dari ini. Nabi bersabda: Sesungguhnya
saputangan Sad bin Muadz di surga jauh lebih indah
dari yang kalian lihat.

Demikian beliau memakai baju yang indah, tetapi beliau tetap
menyadari sepenuhnya tentang keindahan surgawi.

APAKAH YANG DISEBUT SENI?

Kalau memang seperti itu pandangan Islam tentang kesenian,
maka mengapa warna kesenian Islami tidak tampak dengan jelas
pada masa Nabi Saw. dan para sahabatnya. Bahkan mengapa terasa
atau terdengar adanya semacam pembatasan-pembatasan yang
menghambat perkembangan kesenian?

Boleh jadi sebabnya menurut Sayyid Quthb yang berbicara
tentang masa Nabi dan para sahabatnya adalah karena seniman,
baru berhasil dalam karyanya jika ia dapat berinteraksi dengan
gagasan, menghayatinya secara sempurna sampai menyatu dengan
jiwanya, lalu kemudian mencetuskannya daLam bentuk karya seni.
Nah, pada masa Nabi dan sahabat beliau, proses penghayatan
nilai-nilai Islami baru dimulai, bahkan sebagian mereka baru
dalam tahap upaya membersihkan gagasan-gagasan Jahiliah yang
telah meresap selama ini dalam benak dan jiwa masyarakat,
sehingga kehati-hatian amat diperlukan baik dari Nabi sendiri
sebagai pembimbing maupun dari kaum Muslim lainnya.

Atas dasar inilah kita harus memahami larangan-larangan yang
ada, kalau kita menerima adanya larangan penampilan karya seni
terlentu. Apalagi seperti dikemukakan di atas bahwa apresiasi
Al-Quran terhadap seni sedemikian besar.

Mari kita coba melihat dua macam seni yang seringkali
dinyatakan terlarang, dalam Islam,

a. Seni Lukis, Pahat, atau Patung

Al-Quran secara tegas dan dengan bahasa yang sangat jelas
berbicara tentang patung pada tiga surat Al-Quran.

1. Dalam surat Al-Anbiya (21): 51-58 diuraikan tentang
patung-patung yang disembah oleh ayah Nabi Ibrahim dan
kaumnya. Sikap Al-Quran terhadap patung-patung itu, bukan
sekadar menolaknya, tetapi merestui penghancurannya.

Maka Ibrahim menjadikan berhala-berhala itu hancur
berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari
patung-patung yang lain, agar mereka kembali (untuk
bertanya) kepadanya (QS Al-Anbiya [21]: 58).

Ada satu catatan kecil yang dapat memberikan arti dari sikap
Nabi Ibrahim di atas, yaitu bahwa beliau menghancurkan semua
berhala kecuali satu yang terbesar. Membiarkan satu di
antaranya dibenarkan, karena ketika itu berhala tersebut
diharapkan dapat berperan sesuai dengan ajaran tauhid. Melalui
berhala itulah Nabi Ibrahim membuktikan kepada mereka bahwa
berhala --betapapun besar dan indahhya-- tidak wajar untuk
disembah.

Sebenarnya patung yany besar inilah yang melakukannya
(penghancuran berhala-berhala itu). Maka tanyakanlah
kepada mereka jika mereka dapat berbicara. Maka
mereka kembali kepada kesadaran diri mereka, lalu
mereka berkata, Sesungguhnya kami sekalian adalah
orang-orang yang menganiaya (diri sendiri) (QS
Al-Anbiya [21]: 63-64)

Sekali lagi Nabi Ibrahim a.s. tidak menghancurkan berhala yang
terbesar pada saat berhala itu difungsikan untuk satu tujuan
ycang benar. Jika demikian, yang dipersoalkan bukan
berhalanya, tetapi sikap terhadap berhala, serta peranan yang
diharapkan darinya.

2. Dalam surat Saba (34): 12-13 diuraikan tentang nikmat yang
dianugerahkan Allah kepada Nabi Sulaiman, yang antara lain
adalah,

(Para jin) membuat untuknya (Sulaiman) apa yang
dikehendakinya seperti gedung-gedung yang tinggi dan
patung-patung ... (QS Saba [34]: 13).

Dalam Tafsir Al-Qurthubi disebutkan bahwa patung-patung itu
terbuat dari kaca, marmer, dan tembaga, dan konon menampilkan
para ulama dan nabi-nabi terdahulu. (Baca Tafsirnya menyangkut
ayat tersebut).

Di sini, patung-patung tersebut --karena tidak disembah atau
diduga akan disembah-- maka keterampilan membuatnya serta
pemilikannya dinilai sebagai bagian dari anugerah Ilahi.

3. Dalam Al-Quran surat Ali Imran (3): 48-49 dan Al-Maidah
(5): 110 diuraikan mukjizat Nabi Isa a.s. antara lain adalah
menciptakan patung berbentuk burung dari tanah liat dan
setelah ditiupnya, kreasinya itu menjadi burung yang
sebenarnya atas izin Allah.

Aku membuat untuk kamu dari tanah (sesuatu) berbentuk
seperti burung kemudian aku meniupnya, maka ia
menjadi seekor burung seizin Allah (QS Ali Imran [3):
49).

Di sini, karena kekhawatiran kepada penyembahan berhala atau
karena faktor syirik tidak ditemukan, maka Allah SWt
membenarkan pembuatan patung burung oleh Nabi Isa as. Dengan
demikian, penolakan Al-Quran bukan disebabkan oleh patungnya,
melainkan karena kemusyrikan dan penyembahannya.

Kaum Nabi Shaleh terkenal dengan keahlian mereka memahat,
sehingga Allah berfirman,

Ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikan kamu
pengyanti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum Ad,
dan memberikan tempat bagimu di bumi, Kamu dirikan
istana-istana di tanah-tanah yang datar, dan kamu
pahat gunung-gunung untuk dijadikan rumah, maka
ingatlah nikmat-nikmat Allah, dan janganlah kamu
merajalela di bumi membuat kerusakan (QS Al-Araf [7]:
74).

Kaum Tsamud amat gandrung melukis dan memahat, serta amat ahli
dalam bidang ini sampai-sampai relief-relief yang mereka buat
demikian indah bagaikan sesuatu yang hidup, menghiasi
gunung-gunung tempat tinggal mereka. Kaum ini enggan beriman,
maka kepada mereka disodorkan mukjizat yang sesuai dengan
keahliannya itu, yakni keluarnya seekor unta yang benar-benar
hidup dari sebuah batu karang. Mereka melihat unta itu makan
dan minum (QS Al-Araf [7]: 73 dan QS Al-Syuara [26]: 155-156),
bahkan mereka meminum susunya. Ketika itu relief-relief yang
mereka lukis tidak berarti sama sekali dibanding dengan unta
yang menjadi mukjizat itu. Sayang mereka begitu keras kepala
dan kesal sampai mereka tidak mendapat jalan lain kecuali
menyembelih unta itu, sehingga Tuhan pun menjatuhkan palu
godam terhadap mereka (Baca QS Al-Syams [91]: 13-15) .

Yang digarisbawahi di sini adalah bahwa pahat-memahat yang
mereka tekuni itu merupakan nikmat Allah Swt. yang harus
disyukuri, dan harus mengantar kepada pengakuan dan kesadaran
akan kebesaran dan keesaan Allah Swt.

Allah sendiri yang menantang kaum Tsamud dalam bidang keahlian
mereka itu, pada hakikatnya merupakan Seniman Agung kalau
istilah ini dapat diterima.

Kembali kepada persoalan sikap Islam tentang seni pahat atau
patung, maka agaknya dapat dipahami antara lain melalui
penjelasan berikut.

Syaikh Muhammad Ath-Thahir bin Asyur ketika menafsirkan
ayat-ayat yang berbicara tentang patung-patung Nabi Sulaiman
menegaskan, bahwa Islam mengharamkan patung karena agama ini
sangat tegas dalam memberantas segala bentuk kemusyrikan yang
demikian mendarah daging dalam jiwa orang-orang Arab serta
orang-orang selain mereka ketika itu. Sebagian besar berhala
adalah patung-patung, maka Islam mengharamkannya karena alasan
tersebut; bukan karena dalam patung terdapat keburukan, tetapi
karena patung itu dijadikan sarana bagi kemusyrikan.

Atas dasar inilah, hendaknya dipahami hadis-hadis yang
melarang menggambar atau melukis dan memahat makhluk-makhluk
hidup.

Apabila seni membawa manfaat bagi manusia, memperindah hidup
dan hiasannya yang dibenarkan agama, mengabadikan nilai-nilai
luhur dan menyucikannya, serta mengembangkan serta memperhalus
rasa keindahan dalam jiwa manusia, maka sunnah Nabi mendukung,
tidak menentangnya. Karena ketika itu ia telah menjadi salah
satu nikmat Allah yang dilimpahkan kepada manusia. Demikian
Muhammad Imarah dalam bukunya Maalim Al-Manhaj Al-Islami yang
penerbitannya disponsori oleh Dewan Tertinggi Datwah Islam,
Al-Azhar bekerjasama dengan Al-Mahad Al-Alami lil Fikr
Al-Islami (International Institute for Islamic Thought).

b. Seni Suara

Ada tiga ayat yang dijadikan alasan oleh sementara ulama untuk
melarang --paling sedikit dalam arti memakruhkan-- nyanyian,
yaitu: surat Al-Isra (17): 64, Al-Najm (53): 59-61, dan Luqman
(31): 6.

Surat Al-Isra dimaksud adalah perintah Allah kepada setan:

Hasunglah siapa yang kamu sanggup (hasung) diantara
mereka (manusia) dengan suaramu, dan kerahkanlah
terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang
beralas kaki dan berserikatlah dengan mereka pada
harta dan anak-anak, dan beri janjilah mereka. Tidak
ada yang dijanjikan oleh setan kepada mereka kecuali
tipuan belaka.

Kata suaramu dalam ayat di atas menurut sementara ulama adalah
nyanyian. Tetapi benarkah demikian? Membatasi arti suara
dengan nyanyian merupakan pembatasan yang tidak berdasar, dan
kalaupun itu diartikan nyanylan, maka nyanyian yang dimaksud
adalah yang didendangkan oleh setan, sebagaimana bunyi ayat
ini. Dan suatu ketika ada nyanyian yang dilagukan oleh bukan
setan, maka belum tentu termasuk yang dikecam oleh ayat ini.

Surat Al-Najm yang dimaksud adalah:

Apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini
(adanya Kiamat)? Kamu menertawakan dan tidak
menangis? Sedang kamu samidun (QS Al-Najm [53]:
59-61).

Kata samidun diartikan oleh yang melarang seni suara dengan
arti dalam keadaan menyanyi-nyanyi. Arti ini tidak disepakati
oleh ulama, karena kata tersebut walaupun digunakan oleh suku
Himyar (salah satu suku bangsa Arab) dalam arti demikian.
Tetapi dalam kamus-kamus bahasa seperti --Mujam Maqayis
Al-Lughah-- dijelaskan bahwa akar kata samidun adalah samada
yang maknanya berkisar pada berjalan bersungguh-sungguh tanpa
menoleh ke kiri dan ke kanan, atau secara majazi dapat
diartikan serius atau tidak mengindahkan selain apa yang
dihadapinya.

Dengan demikian, kata samidun dalam ayat tersebut dapat
diartikan lengah karena seorang yang lengah biasanya serius
dalam menghadapi sesuatu dan tidak mengindahkan yang lain

Dalam Al-Quran dan Terjemahnya Departemen Agama RI kata
samidun diartikan seperti keterangan di atas, yakni lengah.
Kalaupun kata di atas dibatasi dalam arti nyanyian maka
nyanyian yang dikecam di sini adalah yang dilakukan oleh
orang-orang menertawakan adanya hari kiamat, dan atau
me1engahkan mereka (1ari peristiwa yang seharusnya memilukan
mereka.

Ayat ketiga yang dijadikan argumentasi keharaman menyanyi atau
mendengarkannya adalah surat Luqman ayat 6

Di antara manusia ada yang mempergunakan lahwa
al-hadits (kata-kata yang tidak berguna) untuk
menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa
pengetahuan, dan menjadikan jalan Allah itu
olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh siksa yang
menghinakan.

Mereka mengartikan kata-kata yang tidak berguna (lahwa
al-hadits) sebagai nyanyian.

Pendapat ini jelas tidak beralasan untuk menolak seni-suara,
bukan saja karena lahwa al-hadits tidak berarti nyanyian,
tetapi juga karena seandainya kalimat tersebut diartikan
nyanyian, yang dikecam di sini adalah bila kata-kata yang
tidak berguna itu menjadi alat untuk menyesatkan manusia. Jadi
masalahnya bukan terletak pada nyanyiannya, melainkan pada
dampak yang diakibatkanya.

Sejarah kehidupan Rasulullah Saw. membuktikan bahwa beliau
tidak melarang nyanyian yang tidak mengantar kepada
kemaksiatan. Bukankah sangat populer di kalangan umat Islam,
lagu-lagu yang dinyanylkan oleh kaum Anshar di Madinah dalam
menyambut Rasulullah Saw.?

Thalaa al-badru alaina. Min tsaniyat al-wadai
Wajabasy syukru alaina. Ma daa lillahi dai
Ayyuha al-mabutsu fina. Jita bil amril muthai

Memang benar, apabila nyanyian mengandung kata-kata yang tidak
sejalan dengan ajaran Islam, maka ia harus ditolak. Imam Ahmad
meriwayatkan bahwa dua orang wanita mendendangkan lagu yang
isinya mengenang para pahlawan yang telah gugur dalam
peperangan Badr sambil menabuh gendang. Di antaranya syairnya
adalah:

Dan kami mempunyai Nabi yang mengetahui apa yang akan
terjadi besok

Mendengar ini Nabi Saw. menegur mereka sambil bersabda:

Adapun yang demikian, maka jangan kalian ucapkan.
Tidak ada yang mengetahui (secara pasti) apa yang
terjadi esok kecuali Allah (Diriwayatkan oleh Ahmad).

Al-Quran sendiri memperhatikan nada dan langgam ketika memilih
kata-kata yang digunakannya setelah terlebih dahulu
memperhatikan kaitan antara kandungan kata dan pesan yang
ingin disampaikannya.

Sebelum seseorang terpesona dengan keunikan atau kemukjizatan
kandungan Al-Quran, terlebih dahulu ia akan terpukau oleh
beberapa hal yang berkaitan dengan susunan kata-kata dan
kalimatnya, antara lain menyangkut nada dan langgamnya.

Walaupun ayat-ayat Al-Quran ditegaskan oleh Allah bukan syair,
atau puisi, namun ia terasa dan terdengar mempunyai keunikan
dalam irama dan ritmenya. Ini disebabkan karena huruf dari
kata-kata yang dipilihnya melahirkan keserasian bunyi, dan
kemudian kumpulan kata-kata itu melahirkan pula keserasian
irama dalam rangkaian kalimat ayatayatnya.

Bacalah misalnya surat Asy-Syams, atau Adh-Dhuha atau Al-Lahab
dan surat-surat lainnya. Atau baca misalnya surat An-Naziat
ayat 15-26.

Yang ingin digarisbawahi di sini adalah nada dan irama yang
unik itu. Ini berarti bahwa Allah sendiri berfirman dengan
menyampaikan kalimat-kalimat yang memiliki irama dan nada.
Nada dan irama itu tidak lain dari apa yang kemudian
diistilahkan oleh sementara ilmuwan Al-Quran dengan Musiqa
Al-Quran (musik Al-Quran). Ini belum lagi jika ditinjau dari
segi ilmu tajwid yang mengatur antara lain panjang pendeknya
nada bacaan, bahkan belum lagi dan lagu-lagu yang
diperkenalkan oleh ulama-ulama Al-Quran. Imam Bukhari, dan Abu
Daud meriwayatkan sabda Nabi Saw.:

Perindahlah Al-Quran dengan suara kamu.

Bukankah semua ini menunjukkan bahwa menyanyikan Al-Quran
tidak terlarang, dan karena itu menyanyi secara umum pun tidak
terlarang kecuali kalau nyanyian tersebut tidak sejalan dengan
tuntunan Islam.

SENI ISLAM

Apakah seni suara (nyanyian) harus dalam bahasa Arab? ataukah
harus berbicara tentang ajaran Islam? Dengan tegas jawabannva
adalah: Tidak. Dalam konteks ini, Muhammad Quthb menulis.

Kesenian Islam tidak harus berbicara tentang Islam.
Ia tidak harus berupa nasihat langsung, atau anjuran
berbuat kebajikan, bukan juga penampilan abstrak
tentang akidah. 'Seni yang Islami adalah seni yang
dapat menggambarkar wujud ini, dengan bahasa yang
indah serta sesuai dengan cetusan fitrah. Seni Islam
adalah ekspresi tentang keindahan wujud dari sisi
pandangan Islam tentang alam, hidup, dan manusia yang
mengantar menuju pertemuan sempurna antara kebenaran
dan keindahan. Boleh jadi seseorang menggambarkan
Muhammad Saw. dengan sangat indah sebagai tokoh
genius yang memiliki berbagai keistimewaan.
Penggambaran semacam ini belum menjadikan karya seni
yang ditampilkannya adalah seni yang Islami, karena
ketika itu ia baru menampilkan beliau sebagai
manusia, tanpa menggambarkan hubungan beliau dengan
hakikat mutlak yaitu Allah Swt. Penggambaran itu
tidak sejalan dengan pandangan Islam menyangkut
manusia. (Baca selengkapnya Manhaj Al-Tarbiyah
Al-Islamiyah. hlm. 119).

Anda boleh memilih objek dan cara menampilkan seni. Anda boleh
menggambarkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat di mana
Anda berada. Anda boleh memadukannya dengan apa saja, boleh
berimajinasi karena lapangan seni Islami adalah semua wujud,
tetapi sedikit catatan, yaitu jangan sampai seni yang Anda
tampilkan bertentangan dengan fitrah atau pandangan Islam
tentang wujud itu sendiri. Jangan sampai, misalnya pemaparan
tentang manusia hanya terbatas pada jasmaninya semata atau
yang ditonjolkan hanya manusia dalam aspek debu tanahnya,
tidak disertai dengan unsur roh Ilahi yang menjadikannya
sebagai manusia.

Jika catatan ini diindahkan, maka pada saat itu pula, seni
telah mengayunkan langkah untuk berfungsi sebagai sarana
dakwah Islamiyah.

Islam, melalui sumber utamanya Al-Quran, bahkan melukiskan
dengan sangat indah, kelemahan-kelemahan manusia; gejolak
nafsu berahi pun ditampilkannya, Dan dirayunya pemuda yang ada
di rumahnya? ditutupnya semua pintu amat rapat. Ssambil
berkata Inilah daku. Sesunguhnya dia telah bermaksud melakukan
itu dan pemuda itu pun bermaksud ... Begitu sekelumit dari
sisi kelemahan manusia yang diabadikan oleh Al-Quran dalam
kisah Yusuf (QS 12: 23-24). Tetapi Al-Quran tidak larut dalam
melukiskannya --karena ini dapat menghanyutkan, tetapi juga
dia tidak berhenti sampai di sana. Karena itu baru aspek debu
tanah manusia, kisahnya dilanjutkan dengan menggambarkan
kesadaran para pelaku, sehingga pada akhirnya bertemu debu
tanah dan ruh Ilahi itu pada sosok kedua hamba Allah itu.

Allah Swt. meyakinkan manusia tentang ajarannya dengan
menyentuh seluruh totalitas manusia, termasuk menyentuh hati
mereka melalui seni yang ditampilkan Al-Quran, antara lain
melalui kisah-kisah nyata atau simbolik yang dipadu oleh
imajinasi: melalui gambaran-gambaran konkret dari gagasan
abstrak yang dipaparkan dalam bahasa seni yang mencapai
puncaknya. Dapat dipastikan bahwa Al-Quran menggunakan seni
untuk dakwah, dan dapat pula dipastikan bahwa selama ini, kita
belum memanfaatkan secara maksimal apalagi mengembangkan apa
yang dicontohkan Al-Quran itu.

Kalau Al-Quran menggambarkan dalam bahasa lisan sikap dan
gejolak hati manusia, maka tentu tidak ada salahnya jika sikap
dan gejolak hati itu digambarkan dalam bentuk bahasa gerak dan
mimik, bersama dengan bahasa lisan. Itulah salah satu contoh
pengembangan, karena menjadikan Al-Quran sebagai petunjuk
bukan berarti kita harus menirunya dalam segala hal, tetapi
dalam bidang seni misalnya, ia berarti menghayati jiwa
bimbingan dan nafas penampilannya, kemudian setelah itu
mempersilakan setiap seniman untuk menerjemahkan jiwa dan
nafas tersebut dalam kreasi seninya.

Al-Quran misalnya menjadikan kisah sebagai salah satu sarana
pendidikan yang sejalan dengan pandangannya tentang alam,
manusia, dan kehidupan. Maka pada saat seseorang menggunakan
kisah sebagai sarana pendidikan seni dan hiburan dengan tujuan
memperhalus budi, mengingatkan tentang jati diri manusia,
menggambarkan akibat baik atau buruk dan satu pengamalan, maka
pada saat itu, seni yang ditampilkannya adalah seni yang
bernafaskan Islam, walaupun di celah-celah kisahnya dilukiskan
kelemahan manusia dalam batas dan penampilan yang tidak
mendorong kejatuhannya.

Al-Quran dan sunnah misalnya melukiskan alam dengan begitu
indah, berdialog, dan bersambung rasa dengan manusia. Dan pada
saat kita menikmati suatu lukisan yang hidup, maka kisah itu
telah memerankan pandangan Islam tentang alam, tidak jauh
berbeda dengan ungkapan Rasulullah Saw. ketika melukiskannya
dengan bahasa lisan

Gunung ini (Uhud) mencintai kita dan kita pun
mencintainya

Memang Al-Quran, demikian juga sunnah, sangat memperhatikan
sisi hidup pada penggambaran yang diberikannya. Perhatikan
bagaimana Al-Quran melukiskan tanah yang gersang sebagai tanah
yang mati, dan tanah vang subur sebagai tanah yang hidup (QS
Al-Baqarah [2]: 164). Bahkan dengarkan bagaimana Al-Quran
melukiskan alam raya ini bagai sesuatu yang hidup dan mampu
berdialog.

Kemudian Allah menuju kepada penciptaan langit, dan
langit (ketika itu) masih merupakan asap, lalu Dia
berkata kepadanya dan kepada bumi, Datanglah kamu
berdua menurut perintah-Ku suka atau tidak suka!
Keduanya menjawab, Kami datang dengan suka hati (QS
Al-Fushshilat [41]: 11).

Bahkan segala sesuatu hidup bertasbih kepada Allah:

Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di
dalamnya bertasbih kepada-Nya (Allah). Tiada sesuatu
pun melainkan bertasbih. dengan memuji-Nya, tetapi
kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun. Lagi Maha
Pengampun (QS Al-Isra[17]: 44).

Tentu penggambaran alam raya ini sebagai sesuatu yang hidup,
bukan sekadar bertujuan seni, tetapi untuk mengingatkan kepada
manusia bahwa alam raya adalah sesuatu yang hidup dan memiliki
kepribadian. Sehingga manusia perlu menjalin hubungan
persahabatan dengannya, atau paling tidak alam raya perlu
dipelihara, dijaga kesinambungannya serta dilimpahkan
kepadanya rahmat dan kasih sayang.

SENI DAN BUDAYA ASING

Islam dapat menerima semua hasil karya manusia selama sejalan
dengan pandangan Islam menyangkut wujud alam raya ini. Namun
demikian wajar dipertanyakan bagaimana sikap satu masyarakat
dengan kreasi seninya yang tidak sejalan dengsan budaya
masyarakatnya?

Dalam konteks ini, perlu digarisbawahi bahwa Al-Quran
memerintahkan kaum Muslim untuk menegakkan kebajikan,
memerintahkan perbuatan makruf dan mencegah perbuatan munkar.

Makruf merupakan budaya masyarakat sejalan dengan nilai-nilai
agama, sedangkan munkar adalah perbuatan yang tidak sejalan
dengan budaya masyarakat.

Dari sini, setiap Muslim hendaknya memelihara nilai-nilai
budaya yang makruf dan sejalan dengan ajaran agama, dan ini
akan mengantarkan mereka untuk memelihara hasil seni budaya
setiap masyarakat. Seandainya pengaruh --apalagi yang
negatif-- dapat merusak adat-istiadat serta kreasi seni dari
satu masyarakat, maka kaum Muslim di daerah itu harus tampil
mempertahankan makruf yang diakui oleh masyarakatnya, serta
membendung setiap usaha --dari mana pun datangnya-- yang dapat
merongrong makruf tersebut. Bukankah Al-Quran memerintahkan
untuk menegakkan makruf?!

Demikian, sekelumit yang dapat dikemukakan tentang seni dalam
wawasan Al-Quran. Agaknya kita dapat menyimpulkan bahwa
Al-Quran sangat menghargai segala kreasi manusia, termasuk
kreasi manusia yang lahir dari penghayatan rasa manusia
terhadap seluruh wujud ini, selama kreasi tersebut sejalan
dengan fitrah kesucian jiwa manusia.