Jaga Kesucian Khutbah dari Kebencian

Khutbah

Khutbah Idul Fitri 1438 H/2017 M di alun-alun Wonosari Gunung Kidul Yogyakarta yang lalu kembali mendapat perhatian dari khalayak. Sebagaimana diberitakan oleh sejumlah media, jamaah yang hadir untuk menunaikan rangkaian ibadah shalat Idul Firi di tempat itu secara berangsur-angsur meninggalkan sang khatib yang sedang berkhutbah. Padahal, rangkaian khutbah setelah shalat merupakan rangkaian yang tak terpisahkan dari ibadah shalat Idul Fitri itu sendiri. Mengapa para jamaah meninggalkan sang khatib? Ternyata, dalam khutbah tersebut sang khatib menyampaikan ceramah yang provokatif, menguak isu kriminalisasi ulama, penodaan agama, dan kasus yang menjerat Ahok. 

Kasus pemanfaatan khutbah atau ceramah keagamaan di ruang ibadah seperti yang terjadi di Gunung Kidul bisa jadi itu merupakan potret atas fenomena betapa ruang  ceramah keagamaan telah dimanfaatkan secara terbuka tidak proporsional oleh sebagian para juru dakwah. Memanfaatkan media keagamaan untuk tujuan tertentu yang sangat tidak proporsional, termasuk untuk kepentingan politik-praktis serta mengembangkan ide-ide yang kontraproduktif dengan ideologi negara dan keindonesiaan, kemudian dinyatakan sebagai bagian dari gerakan dakwah, tampaknya semakin menggejala secara luas di negeri ini. Bahkan, fenomena itu bisa jadi akan terus bergulir, utamanya menjelang dan hingga pelaksanaan Pilkada atau Pilpres 2019.

Sebab, menjelang Pilkada dan Pilpres yang penuh dengan kepentingan politik, forum-forum keagamaan menjadi sasaran empuk dalam membangun dan merekrut partisan politik, sehingga politisasi forum keagamaan sangat mungkin masif terjadi. Jika itu benar-benar terjadi, maka sebagai warga negara dan umat beragama tentu kita tidak bisa membiarkan itu terus terjadi. 

Dalam konteks fenomena di atas, penulis mengapresiasi kepada Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, yang telah melahirkan “Seruan Ceramah di Rumah Ibadah” pada tanggal 28 April 2017. Substansi dari seruan ceramah itu mengingatkan semua pihak, termasuk juru dakwah, pengurus/pengelola rumah ibadah dan masyarakat luas, untuk menggunakan ceramah agama dan ruang ibadah sebagaimana mestinya, yakni mendakwahkan tujuan utama diturunkannya agama untuk melindungi martabat kemanusiaan serta menjaga kelangsungan hidup dan perdamaian umat manusia, tidak bertolak belakang dengan ideologi dan nilai-nilai kebangsaan, dan tidak mengandung provokasi atau adu domba. Jika seruan ini dipedomani oleh semua pihak, hemat penulis, fenomena khutbah Idul Fitri Gunung Kidul dan semacamnya semestinya tidak perlu terjadi.

Di sebagian kalangan masyarakat, terdapat penilaian bahwa Kementerian Agama itu bagaikan kementerian super-power. Ia memiliki kekuasaan yang tak terbatas, termasuk dalam melakukan pembinaan dan penindakan atas fenomena penceramah agama yang tidak proporsional itu. Tentu, anggapan ini tidaklah pada tempatnya. Pasalnya, Kementerian Agama bertanggung jawab pada pembinaan di bidang agama. Ia tidak dapat melakukan peran-peran di luar batas kewenangannya, seperti penindakan hukum, meski di bidang agama. Persoalan hukum dan tindakan tegas yang berimplikasi secara hukum tentu itu menjadi domain dari lembaga penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan lembaga peradilan. Dalam posisi ini, penulis dapat memahami mengapa kemudian, misalnya, yang menangani kasus penodaan agama adalah kepolisian, bukan Kementerian Agama. Sebab, kasus penodaan agama merupakan delik hukum. Kementerian Agama membatasi diri sesuai dengan tugas dan fungsinya, yakni bukan sebagai lembaga penegak hukum.  

Untuk menangani juru dakwah yang tidak proporsional, ada sejumlah hal yang perlu dilakukan. Pertama, diperlukan dorongan dari lembaga dan ormas keagamaan yang moderat, seperti MUI, NU, dan Muhammadiyah, untuk menerbitkan dan memfatwakan secara tegas atas sikap yang harus dilakukan oleh  jamaah atau audien jika didapati khatib atau juru dakwah yang tidak proporsional. Misalnya, kepastian hukum untuk melakukan interupsi ketika khutbah Jumat yang khatibnya menyampaikan kebencian, caci maki, dan mengembangkan ide-ide yang bertolak belakang dengan ideologi negara. Fatwa keagamaan ini penting untuk memastikan bahwa ceramah atau khutbah keagamaan itu benar-benar sesuai dengan fungsinya. Di samping itu, fatwa ini untuk membekali para jamaah agar dapat berperan sebagai pengontrol pelaksanaan ceramah atau khutbah keagamaan, sehingga khatib tidak merasa “mentang-mentang” dan melampaui batas kepatutan.

Kedua, pedoman manajemen bagi pengelola lembaga keagamaan, seperti pedoman manajemen masjid dari Kementerian Agama untuk para pengurus masjid. Pedoman ini untuk memberikan guide dalam pelaksanaan ceramah atau khutbah, kriteria yang harus dipenuhi oleh sang khatib yang akan dihadirkan oleh pengurus masjid, serta norma-norma yang harus dijunjung  tinggi dalam pelaksanaan ceramah atau khutbah itu. Dengan disediakannya pedoman ini, terlebih bersifat imperatif, para pengurus atau pengelola lembaga keagamaan memiliki dasar hukum dan pembenaran untuk melakukan koreksi atau langkah yang dilakukan, jika ditemui khatib atau juru dakwah itu tidak proporsional.

Ketiga, menyediakan bahan bacaan atau naskah khutbah yang telah dipastikan isinya benar dan sesuai dengan norma keagamaan dan kebangsaan. Ketersediaan naskah ini di samping untuk melengkapi koleksi kepustakaan, juga dapat digunakan untuk antisipasi jika terjadi keterlambatan atau tidak adanya khatib yang profesional. Bahkan, bisa saja di event-event tertentu, Kementerian Agama mewajibkan kepada seluruh lembaga keagamaan untuk menggunakan naskah khutbah tertentu.

Keempat, Kementerian Agama perlu melakukan sinergi program dengan ormas keagamaan moderat, seperti NU dan Muhammadiyah, dalam penguatan manajemen masjid. Masjid-masjid di masyarakat pada kenyataannya tidak sedikit yang menginduk pada ormas keagamaan itu, setidaknya dalam melakukan amaliah ibadah yang dilakukan di lingkungan masjid. Di PBNU, misalnya, ada LTM-NU (Lembaga Takmir Masjid Nahdlatul Ulama) yang sangat getol melakukan program Muharrik Masjid. Program ini sangat tepat disinergikan dengan Kementerian Agama, mengingat di lapangan terjadi pergeseran fungsi masjid terutama yang dimanfaatkan untuk mengembangkan ajaran-ajaran keagamaan yang radikal. 

Kelima, mendorong kepada pondok pesantren dan PTKI (Perguruan Tinggi Keagamaan Islam) terutama pada Fakultas Dakwah untuk menghasilkan ketersediaan dan kesadaran juru dakwah yang “genah”. Juru dakwah yang memiliki kesadaran keagamaan dan kebangsaan perlu direproduksi, tentu dengan tanpa menghilangkan kualitasnya yang baik.

Di samping melakukan beberapa hal di atas, jika ternyata didapati juru dakwah yang benar-benar menyampaikan ujaran kebencian dan perpecahan antarwarga negara serta mengajarkan ideologi yang betentangan dengan Pancasila, seperti mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi lainnya, disertai dengan alat bukti yang cukup, perlu ada dukungan dari semua pihak untuk memproses dan mengajukan juru dakwah tersebut ke ranah hukum, sesuai dengan prosedur dan norma hukum yang berlaku. Hal ini penting untuk dilakukan untuk menjamin kesucian forum keagamaan, tidak dikotori dengan umpatan dan caci makian yang justeru menghilangkan kesucian mimbar dan hakikat agama itu sendiri. 


Penulis adalah alumnus Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon