Menuduh Kafir atau Musyrik Pada Orang Lain

Stop Menuduh Kafir Musyrik


Dont Look The Book Just From The Cover sebuah kalimat yang memiliki pesan, janganlaj melihat Buku dari Sampulnya. Begitu juga seharusnya sikap seorang Muslim yang mengaku beragama Islam, janganlah menilai atau mudah menuduh seseorang dengan kata - kata kafir atau musyrik. Karena sikap gampang menuduh kafir bukanlah sikap yang Islami.

Rasulullah Saw telah mengikat umat beliau dengan ikatan persaudaraan. Bahkan sedari awal risalah beliau selalu berupaya mempersaudarakan kelompok yang bertikai. Misalnya ketika pertama Rasulullah Saw hijrah ke Madinah yang ternyata para Sahabat Anshar terdiri dari dua suku kabilah yang mengalami pertikaian sesama saudara, yaitu kabilah Khazraj dan kabilah Aus, maka Rasulullah Saw berhasil mempersatukan mereka dalam persaudaraan. Bukan justru memecah belah, memprovokasi, atau perilaku buruk lainnya. Jelas ini bukan cara dakwah Rasulullah Saw.


Ikatan saudara yang dimaksud adalah sabda Rasulullah Saw: "al-muslimu akhu al-muslimi laa yadzlimuhu wa laa yuslimuhu", artinya: "Seorang muslim adalah bersaudara dengan Muslim lainnya. Ia tidak boleh menganiayanya dan menghilangkan keselamatannya" (HR al-Bukhari No 6437) Hadis ini juga selaras dengan firman Allah yang artinya: "Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat" (al-Hujurat: 10)


Kriteria Kafir dan Musyrik

Kafir dan Musyrik adalah dua dosa besar dalam Islam. Kafir memiliki banyak bentuk, dimana setiap seseorang berbuat kekafiran maka hilanglah keimanannya. Artinya Kafir adalah lawan kata dari Iman. Maka jika seseorang tidak mempercayai rukun iman yang 6, atau ingkar pada rukun Islam yang 5 dan lainnya, maka ia disebut Kafir. Sedangkan Musyrik hanya ada 1 kriteria, yaitu berkeyakinan ada Tuhan selain Allah atau meyakini adanya Tuhan bersama Allah. (Abu Hilal al-'Askari, al-Furuq al-Lughawiyyah 454)


Fenomena menuduh kafir sebagaimana dalam tema ini, sebenarnya sudah terjadi sejak dahulu. Misalnya Hujjatul Islam al-Imam al-Ghazali (450-505 H / 1058-1111 M), beliau pun pernah dituduh kafir oleh kelompok yang anti dengan tasawwufnya Imam al-Ghazali. Maka beliau memberi bantahan dengan mengarang sebuah kitab yang bernama Faishal at-Tafriqah yang intinya melarang menuduh kafir kepada orang lain lantaran perbedaan madzhab. Menurut beliau orang yang disebut Kafir adalah orang yang inkar (tidak percaya) dengan ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw, sebagaimana dijelaskan dalam banyak hadis.


Larangan Menuduh Kafir dan Musrik


Ada begitu banyak riwayat hadis tentang larangan menuduh Kafir atau Musyrik, diantaranya: Rasulullah Saw bersabda: "Kaffu 'an ahli Laailaha illallah Laa tukaffiruuhum bi dzanbin. Fa man kaffara ahla Lailaha illallah fa huwa ila al-kufri aqrabu". Artinya: "Menghindarlah dari umat Islam yang mengucapkan kalimat tauhid ‘Tiada Tuhan selain Allah’. Jangan kau hukumi kafir lantaran mereka melakukan sebuah dosa. Barangsiapa yang mengkafirkan mereka, maka dia lebih dekat dengan kekufuran” (HR. Thabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir No. 12912 dari Ibnu Umar)


Juga sabda Rasulullah Saw: "Laa tasyhaduu 'ala ummatikum bi syirkin wa laa tukaffiruuhum bi dzanbin", artinya: “Janganlah kalian bersaksi atas kesyirikan umat kalian. Dan janganlan kalian menghukumi kafir pada mereka lantaran melakukan sebuah dosa…” (HR. Abd al-Razzaq dalam kitab al-Mushannaf No. 9611 dari Hasan)


Dalam Islam ada sebuah aliran sesat bernama Khawarij (sekarang sudah punah) yang menilai bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar, adalah Kafir. Namun dalam Madzhab Ahli Haqq (Madzhab yang benar), orang muslim tidaklah menjadi kafir lantaran melakukan sebuah dosa, seperti membunuh, berzina dan lainnya (Imam an-Nawawi dalam Syarah Sahih Muslim 2/48)


Jika dalam dosa-dosa yang telah dipastikan dalam Islam tidak boleh dituduh Kafir, apalagi masalah yang menjadi khilaf para ulama sejak dulu, misalnya Tawassul, Ziarah Kubur dan sebagainya. Jelas tidak boleh menuduh Kafir. Bahkan anehnya saat ini ada sebuah fitnah yang sangat kejam atas tuduhan sebagian ulama Arab Saudi yang menilai bahwa Abu Jahal dan Abu Lahab (yang sudah dinash dalam al-Quran masuk Neraka) lebih bersih keimanannya daripada umat Islam saat ini yang gemar melakukan Tawassul, Istighatsah, Ziarah Kubur dan sebagainya. Bagaimana bisa mereka menuduh seperti itu sementara Rasulullah Saw yang memiliki rasa kasih sayang kepada umatnya tidak pernah berkata yang demikian?


Tuduhan Kembali Pada Pelaku

Konsekwensi yang harus diterima bagi orang-orang yang mudah menuduh Kafir atau Musyrik adalah meraka yang berhak menerima predikat Kafir dan Musyrik. Rasulullah Saw bersabda: "Idzaa qaala ar-rajulu 'Yaa Kaafiru' fa qad baa'a bihi ahaduhumaa", artinya: "Barangsiapa berkata kepada saudaranya 'Wahai Kafir', maka sungguh perkataan itu kembali kepada salahsatunya" (HR al-Bukhari No 5638 dari Ibnu Umar)


Hadis ini diperkuat dengan hadis lain: "Laa yarmii rajulun rajulan bil fusuqi wa laa yarmiihi bil kufri illa irtaddat 'alaihi in lam yakun shaahibuhu kadzalika". Artinya: "Tidaklah seseorang menuduh kepada orang lain dengan kefasikan (dosa besar) atau dengan kekufuran, kecuali tuduhan itu kembali kepada penuduh, jika yang dituduh tidak sesuai dengan tuduhannya" (HR al-Bukhari No 5585 dari Abu Dzarr)


Bagaimana bisa tuduhan itu kembali kepada pelaku atau penuduh? Syaikh al-Qasthalani menjawab: "Sebab, jika yang menuduh itu benar, maka orang yang dituduh adalah kafir. Namun jika penuduh tersebut dusta (karena yang dituduh tidak kafir), maka penuduh tersebut telah menjadikan iman sebagai kekufuran. Dan barangsiapa yang menjadikan iman sebagai kekufuran, maka ia telah Kafir. Hal ini sebagaimana penafsiran al-Bukhari" (Irsyaad as-Saari 'ala Syarh al-Bukhaarii 9/65)


Para Sahabat Tidak Menuduh Kafir atau Musrik

Atsar shahabi dari Anas juga menyebutkan bahwa: “Yazid al-Raqqasyi bertanya pada sahabat Anas: Wahai Abu Hamzah. Sesungguhnya orang-orang bersaksi bahwa kita adalah ‘kufur dan syirik’. Anas berkata: Merekalah makhluk yang paling jelek” (Diriwayatkan oleh Abu Ya’la al-Mushili, dalam al-Musnad IV/132)


Begitupula sahabat Jabir bin Abdillah: “Dari Abu Sufyan: Saya bertanya kepada Jabir yang sedang akan ke Makkah, ia berada di Bani Fihr; ‘Apakah kamu memanggil dengan sebutan Musyrik kepada seseorang yang (salat) menghadap ke Qiblat?’ Jabir menjawab: Saya berlindung kepada Allah. Dia terkejut. Lalu bertanya lagi: ‘Apakah kamu memanggil dengan sebutan Kafir kepada mereka?’ Jabir menjawab: Tidak!’ (Diriwayatkan oleh Abu Ya’la al-Mushili, dalam al-Musnad IV/207, dengan sanad yang sahih)


Dua sahabat Rasulullah ini menolak tuduhan Kafir atau Musrik. Sahabat Anas yang dituduh Kafir, justru menolaknya. Sementara Sahabat Jabir juga menolak untuk mengatakan Kafir dan Musyrik kepada umat Islam yang Salat menghadap Ka'bah.


Penutup

Rasulullah Saw bersabda: "Sesungguhnya yang paling Aku takutkan bagi kalian adalah seseorang yang membaca al-Quran, sehingga ketika dia terlihat kebesarannya, pembelaannya untuk Islam, kemudian ia terlepas dan mencampakkannya di belakangnya, membawa pedang kepada tetangganya dan menuduhnya syirik. Saya (Khudzaifah) bertanya: Ya Nabiyyallah, siapakah di antaranya yang lebih berhak pada kesyirikan, yang dituduh ataukah yang menuduh? Rasulullah Saw menjawab: Yang menuduh" (HR Ibnu Hibban 1/282 dari Khudzaifah, dengan sanad yang hasan)


Dengan hadis-hadis di atas, maka menjadi pedoman dakwah kita bersama agar tidak mudah menuduh Kafir dan Musyrik kepada semua Umat Islam.

( Moh. Ma'ruf Khozin, Narasumber TV9 )