Rumaisha Ummu Sulaim binti Malhan, Menikah dengan Mahar Masuk Islam
Realitas kebanyakan kaum wanita dimana sekarang ini tentang sisi pandang mereka mengenai pernikahan, akan terlihat perbedaan yang jelas dan jarak yang jauh antara mereka dengan generasi Ummu Sulaim.
Pikiran dan ambisi wanita di zaman sekarang tentang pernikahan adalah murni materi. Wanita akan melihat harta yang dimiliki oleh sang pelamar,menuntut untuk dipenuhi pembantu, sopir, dan lainnya.
Namun dia lalai untuk mencari tentang agama sang pelamar dan ketaqwaannya kepada Allah ta'ala. Tidak ragu lagi ini adalah bukti tentang kurangnya pengetahuan sekelompok wanita tersebut tentang Islam.
Padahal apa perlunya harta dan kedudukan bagi istri apabila suaminya tidak takut kepada Allah ta'ala dan bertaqwa kepada-Nya, bahkan menyia-nyiakan perintah Allah ta'ala dan berani untuk melanggar batasan-batasanNya ?
Suami yang demikian keadaannya pantas untuk tidak dipercaya oleh istri yang berada didalam perlindungan dan kekuasaannya.
Benarlah Rosulullah sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila datang kepada kalian orang yang kalian ridha dalam hal agama dan akhlaknya maka nikahkanlah dia. Apabila kalian tidak mengerjakannya,maka akan terjadi fitnah dan kerusakan yang besar.”
Dan pantaslah Ummu Sulaim radhiyallohu ‘anha sebagai pemilik mahar termahal dan terbesar secara mutlak.
Ummu Sulaim binti Malhan
Nama lengkapnya adalah Rumaisha’ Ummu Sulaim binti Malhan bin Khalid bin Zaid binHaram bin Jundub bin Amir bin Ghanam bin Adi bin Naja al-Anshaiyahal-Khazrajiyah.
Beliau adalah seorang wanita muslimah yang memiliki sifat keibuan dan cantik, dihiasi pula dirinya denganketabahan, kebijaksanaan, lurus pemikirannya, dan dihiasi pula dengan kecerdasan berpikir dan kefasihan serta berakhlak mulia, sehingga nantinya cerita yang baik ditujukan kepada beliau dan setiap lisan memuji atasnya.
Karena, beliau memiliki sifat yang agung tersebut sehingga mendorong putra pamannya yang bernama malik bin Nadhar untuk segera menikahinya yang akhirnya melahirkan Anas bin Malik.
Cahaya Nubuwah
Saat dakwah tauhid berhembus secara perlahan bersama misi kenabian Rasulullah ﷺ, Ummu Sulaim termasuk golongan yang pertama menyatakan beriman.
Bersama sekumpulan dari kalangan Anshar, ia meninggalkan agama Jahiliyah menuju cahaya kenabian. Seolah tak peduli kemungkinan yang akan terjadi, ia teguh memilih untuk meneguk air kedamaian. Sehingga ketika Malik bin Nadhar mendengar isterinya masuk Islam, ia murka. Dan dalam puncak amarah ia bertanya kepada sang istri, “Apakah Engkau murtad dari agama moyangmu?!”.
Maka dengan yakin dan penuh ketegaran Ummu Sulaim menjawab, “Tidak, bahkan aku telah beriman.”
Suatu ketika ia menuntun Anas putranya untuk melafalkan kalimat syahadat, “Katakanlah, ‘Tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah’, dan katakanlah, ‘Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah’.”
Naluri seorang anak yang selalu menerima atas segala yang menurutnya benar dan akan membawa pada kebaikan, membuat Anas mau mengucapkan kalimat syahadat. Hingga saat hal ini diketahui sang suami, Ummu Sulaim dibentak, “Jangan Kau rusak akidah anakku!”
Ummu Sulaim dengan santun menjawab, “Aku tidak merusaknya, akan tetapi mendidiknya dan memperbaikinya.”
Dakwah Berbuah Kecewa
Bukan karena tidak mau untuk mengakui Islam sebagai agama yang benar, tapi keegoisan serta rasa gengsi yang membuat Malik bin Nadhar enggan untuk berpindah keyakinan. Berulang kali Ummu Sulaim dipaksa agar kembali ke agama nenek moyangnya, namun selalu disambut dengan keteguhan hati.
Ia selalu kukuh tanpa henti memperdengarkan kalimat syahadat. Sehingga, sang suami memutuskan pergi dari rumah dan berjanji tidak akan kembali. Ummu Sulaim tak bisa menghalanginya. Ia pun kecewa atas dakwahnya. Seketika itu Ummu Sulaim berjanji untuk rela merawat anaknya seorang diri, seraya berkata, “Aku tidak akan menyapih Anas sampai ia sendiri yang memutusnya, dan aku tidak akan menikah lagi sampai Anas yang menyuruhku.”
Abu Thalhah ingin memperistri Ummu Sulaim.
“Demi Allah, orang seperti anda tidak pantas untuk ditolak, hanya saja engkau adalah orang kafir sedangkan aku adalah seorang muslimah sehingga tidak halal untuk menikah denganmu. Jika kamu mau masuk Islam, maka itulah mahar bagiku dan kau tidak meminta yang selain dari itu.”
Sungguh ungkapan tesebut mampu menyentuh perasaan yang paling dalam dan mengisi hati Abu Thalhah, sungguh Ummu Sulaim telah bercokol dihatinya secara sempurna, dia bukanlah seorang wanita yang suka bermain-main dan takluk dengan rayuan-rayuan kemewahan, sesungguhnya dia adalah wanita cedas, dan apakah dia akan mendapatkan pengganti yang lebih baik darinya untuk dijadikan suami atau ibu bagi anak-anaknya?”
Tanpa terasa lisan Abu Thahah mengulang-ulang, “Aku berada di atas apa yang kamu yakini, aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang hak kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”
Ummu Sulaim lalu menoleh kepada putranya Anas dan beliau berkata dengan suka cita karena hidayah Allah yang diberikan kepada Abu Thalhah melalui tangannya, “Wahai Anas nikahkanlah aku dengan Abu Thalhah.”
Kemudian beliau pun dinikahkan dengan Islam sebagai mahar. Oleh karena itu, Tsabit meiwayatkan hadis dari Anas :
“Aku belum penah mendengarrseorang wanita yang paling mulia dari Ummu Sulaim karena maharnya adalah Islam.” (SunanNasa’i VI/114).
Ummu Sulaim hidup bersama Abu Thahah dengan kehidupan suami istriyang diisi dengan nilai-nilai Islam yang menaungi bagi kehidupan suami istri,dengan kehidupan yang tenang dan penuh kebahagiaan.
Ummu Sulaim adalah profil seorang istri yang menunaikan hak-haksuami istri dengan sebaik-baiknya, sebagaimana juga contoh terbaik sebagaiseorang ibu, seorang pendidik yang utama dan orang da’iyah.
Begitulah Abu Thalhah mulai memasuki madrasah imaniyah melaluiistrinya yang utama, yakni Ummu Sulaim. sehingga, pada gilirannya beliau minumdari mata air nubuwwah hingga menjadi setara dalam hal kemuliaan dengan UmmuSulaim.
Marilah kita dengarkan penuturan Anas bin malik yang menceitakan kepada kita bagaimana pelakuan Abu Thalhah terhadap kitabullah dan komitmenya tehadap Alquran sebagai landasan dan kepribadian.
Anas bin Malik berkata:
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempuna), sebelu kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (Ali Imran: 92).
Seketika Abu Thalhah bediri menghadap Rasulullah Shallallahu‘alaihi wassalam dan berkata, “Sesungguhnya Allah telah berfiman di dalam kitabnya (yang artinya), “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yangsempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” Dan sesungguhnya harta yang paling aku sukai adalah kebunku, untuk itu aku sedekahkan ia untuk Allah degan harapan mendapatkan kebaikan dan simpanan disisi Allah, maka pergunakanlah sesukamu ya Rasulullah.”
“Bagus…itulah harta yang menguntungkan… itulah harta yang menguntungkan…. Aku telah mendengar apa yang kamu katakan dan aku memutuskan agar engkau sedekahkan kepada kerabat-kerabatmu.”
Maka Abu Thalhah membagi-bagikannya kepada anak kerabatnya danBani dari pamanya.
Allah memuliakan kedua orang suami istri ini dengan seorang anaklaki-laki sehingga keduanya sangat bergembira dan anak tersebut menjadi penyejuk pandangan bagi keduanya dengan pergaulannya dan dengan tingkahlakunya. Anak tersebut diberi nama Abu Umair.
Suatu ketika anak tersebut bemain-main dengan seekor burung lalu burung tersebut mati. Hal itu menjadikan anak tersebut bersedih dan menangis. Pada saat itu Rasulullah Shallallahu‘alaihi wassalam melewati dirinya maka beliau berkata kepada anak tesebut untuk meghibur dan bermain dengannya, “Wahai Abu Umair, apa yang dilakukan oleh anak burung pipit itu?” (Al-Bukhari VII/109).
Allah berkehendak untuk menguji keduanya denga seorang anak yang cakap dan dicintai. Suatu ketika Abu umair sakit sehingga kedua orang tuanya disibukkan olehnya.
Sudah menjadi kebiasaan bagi ayahya apabila kembali daripasar, petama kali yang dia kerjakan setelah mengucapkan salam adalah bertanyatentang kesehatan anaknya, dan beliau belum merasa tenag sebelum melihatanaknya.
Suatu ketika Abu Thalhah keluar ke masjid dan bersamaan dengan itu anaknya meninggal. Maka Ibu mukminah yang sabar ini menghadapi musibah tersebut dengan jiwa yang ridha dan baik.
Sang ibu membaringkannya di tempat tidur sambil senantiasa mengulangi, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Beliau berpesan kepada anggota keluarganya, “Janganlah kalian menceritakan kepada AbuThalhah hingga aku sendiri yang menceritakan kepadanya.”
Ketika Abu Thalhah kembali, Ummu Sulaim mengusap air mata kasihsayangnya, kemudian dengan semangat menyambut suaminya dan menjawab seperti biasanya,
“Apa yang dilakukan oleh anakku?”
Beliau menjawab, “Dia dalam keadaantenang.”
Abu Thalhah mengira bahwa anaknya sudah dalam keadaan sehat, sehingga Abu Thalhah bergembira dengan ketenangan dan kesehatannya, dan diatidak mau mendekat karena kahawatir mengganggu ketenangannya.
Kemudian UmmuSulim mendekati beliau dan mempersiapkan makan malam baginya, lalu beliaumakan dan minum, sementara Ummu Sulaim bersolek dengan dandanan yang lebih cantik daripada hari-hari sebelumnya, beliau mengenakan baju yang paling bagus, berdandan dan memakai wangi-wangian, kemudian keduanya pun berbuat sebagaimana layaknya suami istri.
Tatkala Ummu Sulaim melihat bahwa suaminya sudah kenyang dan telah mencampurinya serta merasa tenang terhadap keadaan anaknya, maka beliau memuji Allah karena beliau tidak membuat risau suaminya dana beliau biarkan suaminya terlelap dalam tidurnya.
Tatkala di akhir malam beliau berkata kepada suaminya, “Wahai AbuThalhah, bagaimana pendapatmu seandainya ada suatu kaum menitipkan barangnya kepada suatu keluarga kemudian suatu ketika mereka mengambil titipan tersebut, maka bolehkah bagi keluarga tersebut menolaknya?”
Abu Thalhah menjawab, “Tentusaja tidak boleh.”
Kemudian Ummu Sulim berkata lagi, “Bagaimana pendapatmu jikakeluarga tersebut berkeberatan tatkala titipannya diambil setelah dia sudah dapat memanfaatkannya?”
Abu Thalhah berkata, “Berarti mereka tidak adil.” Ummu Sulaim berkata, “Sesungguhnya anakmu adalah titipan dari Allah dan Allah telah mengambil, maka tabahkanlah hatimu dengan meninggalnya anakmu.”
Abu Thalhah tidak kuasa menahan amarahnya, maka beliau berkata dengan marah, “Kau biarkan aku dalam keadaan seperti ini baru kamu kabari tentang anakku?”
Beliau mengulangi kata-kata tersebut hingga beliau mengucapkan kalimat istirja’ (inna lillahi wa inna ilaihi raji’un) lalu bertahmid kepada Allah sehingga berangsur-angsur jiwanya menjadi tenang.
Keesokan harinya beliau pergi menghadap Rasullah Shallallahu‘alaihi wassalam dan mengabarkan kepadanya tentang apa yang telah terjadi, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Semoga Allah memberkahi malam kalian berdua.”
Mulai hari itulah Ummu Sulaim mengandung seorang anak yang akhirnya diberi nama Abdullah. Tatkala Ummu Sulaim melahirkan, beliau utus Anas bin Malik untuk membawanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam,selanjutnya Anas berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Ummu Sulaim telah melahirkan tadi malam.”
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam mengunyah kurma dan mentahnik bayi tersebut (yakni menggosokkan kurma yang telah dikunyahke langit-langit mulut si bayi).
Anas berkata, “Berikanlah nama bayi ya Rasulullah!” beliau bersabda, “Namanya Abdullah.”
Ubadah, salah seorang rijal sanad berkata, “Aku melihat dia memiliki tujuh orang anak yang kesemuanya hafal Alquran.”
Di antara kejadian yang mengesankan pada diri wanita yang utama dan juga suaminya yang mukmin adalah bahwa Allah menurunkan ayat tentang mereka berdua yang manusia dapat beribadah dengan membacanya.
Abu Hurairah berkata,“Telah datang seorang laki-laki kepada Rasullah Shallallahu ‘alaihi wassalamdan berkata, ‘Sesungguhnya aku dalam keadaan lapar’.
Maka RasulullahShallallahu ‘alaihi wassalam menanyakan kepada salah satu istrinya tentang makanan yang ada di rumahnya, namun beiau menjawab, ‘Demi yang mengutusmu dengan haq, aku tidak memiliki apa-apa kecuali hanya air, kemudian beliau bertanya kepada istri yang lain, namun jawabannya sama. Seluruhnya menjawab dengan jawaban yang sama. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, ‘Siapakah yang akan menjamu tamu ini, semoga Allah merahmatinya’.
Maka berdirilah seorang Anshar yang namanya Abu Thalhah seraya berkata, ‘Saya, yaRasulullah’. Maka dia pergi bersama tamu tadi menuju rumahnya kemudian sahabat Anshar tersebut bertanya kepada istrinya (Ummu Sulaim),
“Apakah kamu memiliki makanan?” Istrinya menjawab, ‘Tidak punya melainkan makanan untuk anak-anak’.
Abu Thalhah berkata, ‘ Berikanlah minuman kepada mereka dan tidurkanlah mereka. Nanti apabila tamu saya masuk, maka akan saya perlihatkan bahwa saya ikut makan, apabila makanan sudah berada di tangan, maka berdirilah dan matikanlah lampu’.
Hal itu dilakukan oleh Ummu Sulaim. Mereka duduk-duduk dan tamu makan hidangan tersebut, sementara kedua istri tersebut bermalam dalam keadaan tidakmakan. Keesokan harinya keduanya datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihiwassalam lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, ‘Sungguh Allah takjub (atau tertawa) terhadap fulan dan fulanah’.”
Dalam riwayat lain Rasulullah bersabda, “Sungguh Allah takjub terhadap apa yang kalian berdua lakukan terhadap tamu kalian.”
Di akhir hadis disebutkan, maka turunlah ayat:
“Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).” (Al-Hasyr: 9).
Abu Thalhah tak kuasa menahan rasa gembiranya, maka beliau bersegera memberikan kabar gembira itu kepada istrinya sehingga sejuklah pandangan matanya karena Allah menurunkan ayat tentang mereka dlam Alquran yangsenantiasa dibaca. Selain berdakwah di lingkungannya, Ummu Sulaim juga turut andil dalam berjihad bersama pasukan kaum muslimin.
Anas berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam berperang bersama Ummu Sulaim dan para wanita dari kalangan Anshar, apabila berperang, parawanita tersebut memberikan minum kepada mujahidin dan mengobati yang luka.”
Begitulah, Ummu Sulaim memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam, beliau tidak pernah masuk rumah selain rumah Ummu Sulaim, bahkan Rasulullah telah memberi kabar gembira bahwa beliautermasuk ahli jannah.
Sumber:
kitab Nisaa’ Haular Rasuul, karya Mahmud Mahdial-Istanbuli dan Musthafa Abu an-Nashr asy-Syalabi.