Kalau Para Wali Sakti, Kenapa Diam Melihat Kezaliman Dunia Ini
Haji Sholeh, yang sehari-hari berprofesi sebagai penjual kue dan martabak manis, tersenyum mendengar ‘pertanyaan’ muridnya ini.
“Ayolah Wak Haji,” dulkamdi terus mengeluarkan isi hatinya, “kenapa para Wali diam saja, bahkan banyak yang menyembunyikan jati dirinya sehingga orang-orang sekitarnya terus meremehkan mereka, sementara ketidakadilan terus berlangsung di depan mata para waliyullah.
Wak Haji Sholeh malah terus asyik membuat adonan kue dan martabak manis !
" Dulkamdi, dengarkan kisah ini ya…” Seperti biasa Wak Haji Sholeh lebih sering menjawab lewat berbagai kisah dan tamsil.
Dulkamdi mengatur posisi duduknya di dalam rumah kontrakan Haji Sholeh dan bersiap mendengar kisah yang akan diceritakan gurunya.
“Pernah pada suatu masa dialami oleh penduduk di suatu kampung, satu-satunya mesin untuk pengolah gandum yang dimiliki penduduk desa, rusak. Sementara itu hasil gandum bertumpuk-tumpuk di dalam gudang menunggu untuk dibuat menjadi tepung. Kalau tidak segera diolah maka gandum akan rusak dan sia-sialah jerih payah kerja penduduk desa selama ini.”
“Situasi makin mencekam, karena sudah hari ketiga, dan mesin belum juga berfungsi. Penduduk desa mendatangi seorang sufi yang tinggal di sudut desa itu sendirian. Mereka memelas agar sang sufi turun tangan mengatasi persoalan ini. Semula sang sufi enggan meluluskan permintaan ini, namun tangisan seluruh penduduk desa yang duduk bersimpuh di depan gubuk sang sufi akhirnya meluluhkan hatinya.”
Sang Sufi kemudian berkata: “Pulanglah kalian semua, besok semuanya sudah beres.”
“Penduduk desa pun pulang dan tidur nyenyak menanti apa yang terjadi esok pagi. Malam itu, sang sufi beraksi dan mengeluarkan kesaktiannya. Puluhan gudang berisi gandum dia olah sendiri dengan tangannya. Tubuhnya melesat melebihi kecepatan mesin. Semuanya beres dalam semalam seperti yang dia sampaikan.”
“Selamatlah penduduk satu kampung, dan mereka bisa menjual tepung sebagai bekal untuk satu tahun ke depan.”
Dulkamdi terlihat berseri mukanya. Sufi seperti inilah yang ia harapkan.
Haji Sholeh tersenyum melanjutkan kisahnya: “Namun beberapa tahun kemudian, menjelang wafatnya, sang sufi kerap kali tubuhnya menggelinding jatuh dari tikar yang menjadi alas tidurnya. Sang sufi kemudian menangis dan meratap: “ampuni aku, Ya Allah”
Kejadian itu berlangsung terus sampai 3 hari. Seorang muridnya bertanya: “apa gerangan yang terjadi pak yai?”
Sufi itu menjawab dengan linangan air mata: “Ingatkah engkau peristiwa pengolahan gandum beberapa tahun silam ketika aku menolong penduduk desa ini?
Aku memang turun tangan tidak tega melihat kesengsaraan penduduk desa, ku gunakan ilmu yang Allah anugerahkan padaku untuk menolong mereka, namun aku melupakan satu hal.
Aku khilaf tidak bertanya memohon ijin Allah terlebih dahulu sebelum menolong penduduk desa. Dan kini di akhir hayatku, Allah murka dan terus bertanya padaku: ‘siapa yang memberi ijin kamu ikut campur terhadap nasib penduduk desa itu? Apakah kamu merasa lebih menyayangi penduduk desa itu ketimbang Aku sehingga berani-beraninya tanpa ijin dari Ku mengintervensi semua proses yang tengah berjalan?
Tahu apa kamu terhadap skenarioKu akan penduduk desa itu?'”
“Itulah sebabnya aku terus memohon belas kasihan Allah mengampuni tindakanku yang telah menolong penduduk desa tanpa meminta ijin terlebih dahulu kepada Allah.”
Dulkamdi mendadak tercekat. Tidak menyangka ujung kisahnya akan seperti ini.
Haji Sholeh kemudian berkata santai sambil membereskan sarungnya: “Para kekasih Allah itu tidak akan bergerak tanpa perintah dan ijinNya. Skenario Allah melampaui semua pengetahuan mereka.
Kita tidak pernah tahu apa kasih sayang Allah dan pelajaran apa yang hendak diberikan kepada penduduk desa itu sebelum sang sufi ikut campur. Allah membiarkan kekasihNya mengeluarkan ilmuNya menolong penduduk desa, namun Allah mencatat itu sebagai sebuah ‘ketidaksopanan’ karena dilakukan tanpa ijinNya.”
Dulkamdi menundukkan kepala. Air mata menetes ke pipinya. Dulkamdi menyesal telah bertindak tidak sopan menggugat peranan para kekasih Allah karena sesungguhnya diam atau bergeraknya para kekasih Allah semata-mata sesuai perintah dan ijinNya semata.
Haji Sholeh menutup obrolan dengan berpesan: “Ilmu dari Allah tidak perlu dipamer-pamerkan atau dibangga-banggakan, lha wong menggunakannya dengan niat mulia tapi tanpa ijin Allah saja bisa dipermasalahkan kok. Kamu sangka saya mau terus menerus menjadi tukang martabak di depan kantor Polsek Metrojaya?
Kamu kira saya tidak sedih melihat berbagai kezaliman di dunia ini? Tapi belum ada perintah dan ijin Allah untuk saya bergerak.
Saya berbaik sangka pada semua skenario ilahi. Makanya saya hanya diam, sesuai ijin Allah”.
Dikutip dari catatan Nadirsyah Hosen, Pengasuh PonPes Ma'had Aly Raudhatul Muhibbin, Caringin Bogor pimpinan DR KH M Luqman Hakim.