Ukhuwah Islam

Ukhuwah (ukhuwwah) yang biasa diartikan sebagai
"persaudaraan", terambil dari akar kata yang pada mulanya
berarti "memperhatikan". Makna asal ini memberi kesan bahwa
persaudaraan mengharuskan adanya perhatian semua pihak yang
merasa bersaudara.

Boleh jadi, perhatian itu pada mulanya lahir karena adanya
persamaan di antara pihak-pihak yang bersaudara, sehingga
makna tersebut kemudian berkembang, dan pada akhirnya ukhuwah
diartikan sebagai "setiap persamaan dan keserasian dengan
pihak lain, baik persamaan keturunan, dari segi ibu, bapak,
atau keduanya, maupun dari segi persusuan". Secara majazi kata
ukhuwah (persaudaraan) mencakup persamaan salah satu unsur
seperti suku, agama, profesi, dan perasaan. Dalam kamus-kamus
bahasa Arab ditemukan bahwa kata akh yang membentuk kata
ukhuwah digunakan juga dengan arti teman akrab atau sahabat.

Masyarakat Muslim mengenal istilah ukhuwmah Islamiyyah.
Istilah ini perlu didudukkan maknanya, agar bahasan kita
tentang ukhuwah tidak mengalami kerancuan. Untuk itu terlebih
dahulu perlu dilakukan tinjauan kebahasaan untuk menetapkan
kedudukan kata Islamiah dalam istilah di atas. Selama ini ada
kesan bahwa istilah tersebut bermakna "persaudaraan yang
dijalin oleh sesama Muslim", atau dengan kata lain,
"persaudaraan antar sesama Muslim", sehingga dengan demikian,
kata "Islamiah" dijadikan pelaku ukhuwah itu.

Pemahaman ini kurang tepat. Kata Islamiah yang dirangkaikan
dengan kata ukhuwah lebih tepat dipahami sebagai adjektifa,
sehingga ukhuwah Islamiah berarti "persaudaraan yang bersifat
Islami atau yang diajarkan oleh Islam." Paling tidak, ada dua
alasan untuk mendukung pendapat ini.

Pertama, Al-Quran dan hadis memperkenalkan bermacam-macam
persaudaraan, seperti yang akan diuraikan selanjutnya.

Kedua, karena alasan kebahasaan. Di dalam bahasa Arab, kata
sifat selalu harus disesuaikan dengan yang disifatinya. Jika
yang disifati berbentuk indefinitif maupun feminin, kata
sifatnya pun harus demikian. Ini terlihat secara jelas pada
saat kita berkata ukhuwwah Islamiyyah dan Al-Ukhuwwah
Al-Islamiyyah.

UKHUWAH DALAM AL-QURAN

Dalam Al-Quran, kata akh (saudara) dalam bentuk tunggal
ditemukan sebanyak 52 kali. Kata ini dapat berarti.

1. Saudara kandung atau saudara seketurunan, seperti pada ayat
yang berbicara tentang kewarisan, atau keharaman mengawini
orang-orang tertentu, misalnya,

Diharamkan kepada kamu (mengawini) ibu-ibumu,
anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu,
saudara-saudara perempuan bapakmu, saudara-saudara
perempuan ibumu, (dan) anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki ... (QS Al-Nisa [4]:
23)

2. Saudara yang dijalin oleh ikatan keluarga, seperti bunyi
doa Nabi Musa a.s. yang diabadikan Al-Quran,

Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari
keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku (QS Thaha [20]:
29-30).

3. Saudara dalam arti sebangsa, walaupun tidak seagama seperti
dalam firman-Nya,

Dan kepada suku 'Ad, (kami utus) saudara mereka Hud
(QS Al-A'raf [7]: 65).

Seperti telah diketahui kaum 'Ad membangkang terhadap ajaran
yang dibawa oleh Nabi Hud, sehingga Allah memusnahkan mereka
(baca antara lain QS Al-Haqqah [69]: 6-7).

4. Saudara semasyarakat, walaupun berselisih paham.

Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai 99 ekor kambing
betina, dan aku mempunyai seekor saja, maka dia
berkata kepadaku, "Serahkan kambingmu itu kepadaku";
dan dia mengalahkan aku di dalam perdebatan (QS Shad
[38]: 23).

Dalam sebuah hadis, Nabi Saw. bersabda.

Belalah saudaramu, baik ia berlaku aniaya, maupun
teraniaya.

Ketika beliau ditanya seseorang, bagaimana cara membantu orang
yang menganiaya, beliau menjawab,

Engkau halangi dia agar tidak berbuat aniaya. Yang
demikian itulah pembelaan baginya. (HR Bukhari melalui
Anas bin Malik)

5. Persaudaraan seagama.

Ini ditunjukkan oleh firman Allah dalam surat Al-Hujurat ayat
10

Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara.

Di atas telah dikemukakan bahwa dari segi bahasa, kata ukhuwah
dapat mencakup berbagai persamaan. Dari sini 1ahir lagi dua
macam persaudaraan, yang walaupun secara tegas tidak disebut
oleh Al-Quran sebagai "persaudaraan", namun substansinya
adalah persaudaraan. Kedua hal tersebut adalah:

1. Saudara sekemanusiaan (ukhuwah insaniah).

Al-Quran menyatakan bahwa semua manusia diciptakan oleh Allah
dari seorang lelaki dan seorang perempuan (Adam dan Hawa) (QS
Al-Hujurat [49]: 13). Ini berarti bahwa semua manusia adalah
seketurunan dan dengan demikian bersaudara.

2. Saudara semakhluk dan seketundukan kepada Allah.

Di atas telah dijelaskan bahwa dari segi bahasa kata akh
(saudara) digunakan pada berbagai bentuk persamaan. Dari sini
1ahir persaudaraan kesemakhlukan. Al-Quran secara tegas
menyatakan bahwa:

Dan tidaklah (jenis binatang yang ada di bumi dan
burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya)
kecuali umat-umat juga seperti kamu (QS Al-An'am [6):
38).

MACAM-MACAM UKHUWAH ISLAMIAH

Di atas telah dikemukakan arti ukhuwah Islamiah, yakni ukhuwah
yang bersifat Islami atau yang diajarkan oleh Islam. Telah
dikemukakan pula beberapa ayat yang mengisyaratkan bentuk atau
jenis "persaudaraan" yang disinggung oleh Al-Quran. Semuanya
dapat disimpulkan bahwa kitab suci ini memperkenalkan paling
tidak empat macam persaudaraan:

1. Ukhuwwah 'ubudiyyah atau saudara kesemakhlukan dan
kesetundukan kepada Allah.

2. Ukhuwwah insaniyyah (basyariyyah) dalam arti seluruh umat
manusia adalah bersaudara, karena mereka semua berasal dari
seorang ayah dan ibu. Rasulullah Saw. juga menekankan lewat
sabda beliau,

Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara.

Hamba-hamba Allah semuanya bersaudara.

3. Ukhuwwah wathaniyyah wa an-nasab, yaitu persaudaraan dalam
keturunan dan kebangsaan.

4. Ukhuwwah fi din Al-Islam, persaudaraan antar sesama Muslim.
Rasulullah Saw. bersabda,

Kalian adalah sahabat-sahabatku, saudara-saudara kita
adalah yang datang sesudah (wafat)-ku.

Makna dan macam-macam persaudaraan tersebut di atas adalah
berdasarkan pemahaman terhadap teks ayat-ayat Al-Quran.
Ukhuwah yang secara jelas dinyatakan oleh Al-Quran adalah
persaudaraan seagama Islam, dan persaudaraan yang jalinannya
bukan karena agama. Ini tecermin dengan jelas dari pengamatan
terhadap penggunaan bentuk jamak kata tersebut dalam Al-Quran,
yang menunjukkan dua arti kata akh' yaitu:

Pertama, ikhwan, yang biasanya digunakan untuk persaudaraan
tidak sekandung. Kata ini ditemukan sebanyak 22 kali sebagian
disertakan dengan kata ad-din (agama) seperti dalan surat
At-Taubah ayat 11.

Apabila mereka bertobat, melaksanakan shalat, dan
menunaikan zakat, mereka adalah saudara-saudara kamu
seagama.

Sedangkan sebagian lain tidak dirangkaikan dengan kata ad-din
(agama) seperti:

Jika kamu menggauli mereka (anak-anak yatim), mereka
adalah saudara-saudaramu (QS Al-Baqarah [2]: 220).

Teks ayat-ayat tersebut secara tegas dan nyata menunjukkan
bahwa Al-Quran memperkenalkan persaudaraan seagama dan persaud
araan tidak seagama.

Bentuk jamak kedua yang digunakan oleh Al-Quran adalah ikhwat,
terdapat sebanyak tujuh kali dan digunakan untuk makna
persaudaraan seketurunan, kecuali satu ayat, yaitu,

Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara (QS
A1-Hujurat [49]: 10).

Menarik untuk dipertanyakan, mengapa Al-Quran menggunakan kata
ikhwah dalam arti persaudaraan seketurunan ketika berbicara
tentang persaudaraan sesama Muslim, atau dengan kata lain,
mengapa Al-Quran tidak menggunakan kata ikhwan, padahal kata
ini digunakan untuk makna persaudaraan tidak seketurunan?
Bukankah lebih tepat menggunakan kata terakhir, jika melihat
kenyataan bahwa saudara-saudara seiman terdiri dari banyak
bangsa dan suku, yang tentunya tidak seketurunan?

Menurut penulis, hal ini bertujuan untuk mempertegas dan
mempererat jalinan hubungan antar sesama-Muslim, seakan-akan
hubungan tersebut bukan saja dijalin oleh keimanan (yang di
dalam ayat itu ditunjukkan oleh kata al-mu'minun), melainkan
juga "seakan-akan" dijalin oleh persaudaraan seketurunan (yang
ditunjukkan oleh kata ikhwah). Sehingga merupakan kewajiban
ganda bagi umat beriman agar selalu menjalin hubungan
persaudaraan yang harmonis di antara mereka, dan tidak satupun
yang dapat dijadikan dalih untuk melahirkan keretakan
hubungan.

FAKTOR PENUNJANG PERSAUDARAAN

Faktor penunjang lahirnya persaudaraan dalam arti luas ataupun
sempit adalah persamaan. Semakin banyak persamaan akan semakin
kokoh pula persaudaraan. Persamaan rasa dan cita merupakan
faktor dominan yang mendahului lahirnya persaudaraan hakiki,
dan pada akhirnya menjadikan seseorang merasakan derita
saudaranya, mengulurkan tangan sebelum diminta, serta
memperlakukan saudaranya bukan atas dasar "take and give,"
tetapi justru

Mengutamakan orang lain atas diri mereka, walau diri
mereka sendiri kekurangan (QS Al-Hasyr [59]: 9).

Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial, perasaan tenang dan
nyaman pada saat berada di antara sesamanya, dan dorongan
kebutuhan ekonomi merupakan faktor-faktor penunjang yang akan
melahirkan rasa persaudaraan.

Islam datang menekankan hal-hal tersebut, dan menganjurkan
mencari titik singgung dan titik temu persaudaraan. Jangankan
terhadap sesama Muslim, terhadap non-Muslim pun demikian (QS
Ali 'Imran [3]: 64) dan Saba [34): 24-25).

PETUNJUK AL-QURAN UNTUK MEMANTAPKAN UKHUWAH

Guna memantapkan ukhuwah tersebut, pertama kali Al-Quran
menggarisbawahi bahwa perbedaan adalah hukum yang berlaku
dalam kehidupan ini. Selain perbedaan tersebut merupakan
kehendak Ilahi, juga demi kelestarian hidup, sekaligus demi
mencapai tujuan kehidupan makhluk di pentas bumi.

Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan
aturan dan jalan. Seandainya Allah menghendaki,
niscaya Dia menjadikan kamu satu umat, tetapi Allah
hendak menguji kamu mengenai pemberian-Nya kepadamu,
maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan (QS
Al-Ma-idah [5]: 48).

Seandainya Tuhan menghendaki kesatuan pendapat, niscaya
diciptakan-Nya manusia tanpa akal budi seperti binatang atau
benda-benda tak bernyawa yang tidak memiliki kemampuan memilah
dan memilih, karena hanya dengan demikian seluruhnya akan
menjadi satu pendapat.

Dari sini, seorang Muslim dapat memahami adanya pandangan atau
bahkan pendapat yang berbeda dengan pandangan agamanya, karena
semua itu tidak mungkin berada di luar kehendak Ilahi.
Kalaupun nalarnya tidak dapat memahami kenapa Tuhan berbuat
demikian, kenyataan yang diakui Tuhan itu tidak akan
menggelisahkan atau mengantarkannya "mati", atau memaksa orang
lain secara halus maupun kasar agar menganut pandangan
agamanya,

Sungguh kasihan jika kamu akan membunuh dirimu karena
sedih akibat mereka tidak beriman kepada keterangan
ini (Islam) (QS Al-Kahf [18]: 6).

Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman
semua orang yang ada di muka bumi seluruhnya. Maka
apakah kamu akan memaksa semua manusia agar menjadi
orang-orang yang beriman? (QS Yunus [10]: 99).

Untuk menjamin terciptanya persaudaraan dimaksud, Allah Swt.
memberikan beberapa petunjuk sesuai dengan jenis persaudaraan
yang diperintahkan. Pada kesempatan ini, akan dikemukakan
petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan persaudaraan secara
umum dan persaudaraan seagama Islam.

1. Untuk memantapkan persaudaraan pada arti yang umum, Islam
memperkenalkan konsep khalifah. Manusia diangkat oleh Allah
sebagai khalifah. Kekhalifahan menuntut manusia untuk
memelihara, membimbing, dan mengarahkan segala sesuatu agar
mencapai maksud dan tujuan penciptaannya. Karena itu, Nabi
Muhammad Saw. melarang memetik buah sebelum siap untuk
dimanfaatkan, memetik kembang sebelum mekar, atau menyembelih
binatang yang terlalu kecil. Nabi Muhammad Saw. juga
mengajarkan agar selalu bersikap bersahabat dengan segala
sesuatu sekalipun terhadap benda tak bernyawa. Al-Quran tidak
mengenal istilah "penaklukan alam", karena secara tegas
Al-Quran menyatakan bahwa yang menaklukkan alam untuk manusia
adalah Allah (QS 45: 13). Secara tegas pula seorang Muslim
diajarkan untuk mengakui bahwa ia tidak mempunyai kekuasaan
untuk menundukkan sesuatu kecuali atas penundukan Ilahi. Pada
saat berkendaraan seorang Muslim dianjurkan membaca,

Mahasuci Allah yang menundukkan ini buat kami, sedang
kami sendiri tidak mempunyai kesanggupan
menundukkannya (QS Al-Zukhruf [43]: 13).

2. Untuk mewujudkan persaudaraan antar pemeluk agama, Islam
memperkenalkan ajaran,

Bagimu agamamu dan bagiku agamaku (QS 109: 6), dan

Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu.
Tidak (perlu ada) pertengkaran di antara kami dan
kamu. Allah mengumpulkan kita dan kepada-Nyalah
kembali (putusan segala sesuatu) (QS Al-Syura [42):
15).

Al-Quran juga menganjurkan agar mencari titik singgung dan
titik temu antar pemeluk agama. Al-Quran menganjurkan agar
dalam interaksi sosial, bila tidak ditemukan persamaan
hendaknya masing-masing mengakui keberadaan pihak lain, dan
tidak perlu saling menyalahkan.

Katakanlah, "Wahai Ahl Al-Kitab, marilah kepada satu
kalimat kesepakatan yang tidak ada perselisihan di
antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali
Allah, dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu
pun, dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan
sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah." Jika
mereka berpaling (tidak setuju), katakanlah kepada
mereka, "Saksikanlah (akuilah eksistensi kami) bahwa
kami adalah orang-orang Muslim" (QS Ali 'Imran [3]:
64).

Bahkan Al-Quran mengajarkan kepada Nabi Muhammad Saw. dan
umatnya untuk menyampaikan kepada penganut agama lain, setelah
kalimat sawa' (titik temu) tidak dicapai:

Kami atau kamu pasti berada dalam kebenaran atau
kesesatan yang nyata. Katakanlah, "Kamu tidak akan
ditanyai (bertanggungjawab) tentang dosa yang kami
perbuat, dan kami tidak akan ditanyai (pula) tentang
hal yang kamu perbuat." Katakanlah, "Tuhan kita akan
menghimpun kita semua, kemudian menetapkan dengan
benar (siapa yang benar dan salah) dan Dialah Maha
Pemberi Keputusan lagi Maha Mengetahui (QS 34: 24-26).

Jalinan persaudaraan antara seorang Muslim dan non-Muslim sama
sekali tidak dilarang oleh Islam, selama pihak lain
menghormati hak-hak kaum Muslim,

Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berbuat
adil (memberikan sebagian hartamu) kepada orang-orang
yang tidak memerangi kamu karena agama, dan tidak
(pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil (QS
Al-Mumtahanah [60]: 8).

Ketika sebagian sahabat Nabi memutuskan bantuan
keuangan/material kepada sebagian penganut agama lain dengan
alasan bahwa mereka bukan Muslim, Al-Quran menegur mereka
dengan firman-Nya:

Bukan kewajibanmu menjadikan mereka memperoleh hidayah
(memeluk Islam), akan tetapi Allah yang memberi
petunjuk orang yang dikehendaki-Nya. Apa pun harta
yang baik yang kamu nafkahkan (walaupun kepada
non-Muslim), maka pahalanya itu untuk kami sendiri ...
(QS Al-Baqarah [2]: 272).

3. Untuk memantapkan persaudaraan antar sesama Muslim,
Al-Quran pertama kali menggarisbawahi perlunya menghindari
segala macam sikap lahir dan batin yang dapat mengeruhkan
hubungan di antara mereka.

Setelah menyatakan bahwa orang-orang Mukmin bersaudara, dan
memerintahkan untuk melakukan ishlah (perbaikan hubungan) jika
seandainya terjadi kesalahpahaman di antara dua orang
(kelompok) kaum Muslim, Al-Quran memberikan contoh-contoh
penyebab keretakan hubungan sekaligus melarang setiap Muslim
melakukannya:

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kaum (pria)
mengolok-olokkan kaum yang lain, karena boleh jadi
mereka (yang diolok-olokkan) itu lebih baik daripada
mereka (yang mengolok-oLokkan); dan jangan pula
wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita-wanita yang
lain, karena boleh jadi wanita-wanita yang
diperolok-olokkan lebih baik dan mereka (yang
memperolok-olokkan), dan janganlah kamu mencela dirimu
sendiri, dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan
gelar-gelar yang buruk. Sejelek-jeleknya panggilan
adalah (sebutan) yang buruk sesudah iman. Barangsiapa
tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang
zalim (QS Al-Hujurat [49]: 11).

Selanjutnya ayat di atas memerintahkan orang Mukmin untuk
menghindari prasangka buruk, tidak mencari-cari kesalahan
orang lain, serta menggunjing, yang diibaratkan oleh Al-Quran
seperti memakan daging-saudara sendiri yang telah meninggal
dunia (QS Al-Hujurat [49]: 12).

Menarik untuk diketengahkan, bahwa Al-Quran dan hadis-hadis
Nabi Saw. tidak merumuskan definisi persaudaraan (ukhuwwah),
tetapi yang ditempuhnya adalah memberikan contoh-contoh
praktis. Pada umumnya contoh-contoh tersebut berkaitan dengan
sikap kejiwaan (seperti terbaca di dalam surat Al-Hujurat ayat
11-12 di atas), atau tecermin misalnya dalam hadis Nabi Saw.
antara lain,

Hindarilah prasangka buruk, karena itu adalah
sebohong-bohongnya ucapan. Jangan pula saling
mencari-cari kesalahan. Jangan saling iri, jangan
saling membenci, dan jangan saling membelakangi
(Diriwayatkan oleh keenam ulama hadis, ke An-Nasa'i,
melalui Abu Hurairah).

Semua itu wajar, karena sikap batiniahlah yang melahirkan
sikap lahiriah. Demikian pula, bahwa sebagian dari redaksi
ayat dan hadis yang berbicara tentang hal ini dikemukakan
dengan bentuk larangan. Ini pun dimengerti bukan saja karena
at-takhliyah (menyingkirkan yang jelek) harus didahulukan
daripada at-tahliyah (menghiasi diri dengan kebaikan),
melainkan juga karena "melarang sesuatu mengandung arti
memerintahkan lawannya, demikian pula sebaliknya."

Semua petunjuk Al-Quran dan hadis Nabi Saw. yang berbicara
tentang interaksi antarmanusia pada akhirnya bertujuan untuk
memantapkan ukhuwah. Perhatikan misalnya larangan melakukan
transaksi yang bersifat batil (QS 2: 188), larangan riba (QS
2: 278), anjuran menulis utang-piutang (QS 2: 275), larangan
mengurangi atau melebihkan timbangan (QS 83: 1-3), dan
lain-lain.

Dalam konteks pendapat dan pengamalan agama, Al-Quran secara
tegas memerintahkan orang-orang Mukmin untuk merujuk Allah
(Al-Quran) dan Rasul (Sunnah). Tetapi seandainya terjadi
perbedaan pemahaman Al-Quran dan Sunnah itu, baik
mengakibatkan perbedaan pengamalan maupun tidak, maka petunjuk
Al-Quran dalam hal ini adalah:

Apabila kamu berbeda pendapat tentang sesuatu (karena
tidak menemukan petunjuknya dalam teks Al-Quran dan
Sunnah), maka kembalikanlah kepada Allah (jiwa
ajaran-ajaran Al-Quran), dan (jiwa ajaran-ajaran)
Rasul, jika memang kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
bagimu dan lebih baik akibatnya (QS Al-Nisa' [4]: 59).

KONSEP-KONSEP DASAR PEMANTAPAN UKHUWAH

Setelah mempelajari teks-teks keagamaan, para ulama
mengenalkan tiga konsep untuk memantapkan ukhuwah menyangkut
perbedaan pemahaman dan pengamalan ajaran agama.

a. Konsep tanawwu'al-'ibadah (keragaman cara beribadah)

Konsep ini mengakui adanya keragaman yang dipraktekkan Nabi
Saw. dalam bidang pengamalan agama, yang mengantarkan kepada
pengakuan akan kebenaran semua praktek keagamaan, selama
semuanya itu merujuk kepada Rasulullah Saw. Anda tidak perlu
meragukan pernyataan ini, karena dalam konsep yang
diperkenalkan ini, agama tidak menggunakan pertanyaan, "Berapa
hasil 5 + 5?", melainkan yang ditanyakan adalah, "Jumlah
sepuluh itu merupakan hasil penambahan berapa tambah berapa?"

b. Konsep al-mukhti'u fi al-ijtihad lahu ajr (Yang salah dalam
berijtihad pun [menetapkan hukum) mendapat ganjaran).

Ini berarti bahwa selama seseorang mengikuti pendapat seorang
ulama, ia tidak akan berdosa, bahkan tetap diberi ganjaran
oleh Allah Swt., walaupun hasil ijtthad yang diamalkannya
keliru. Hanya saja di sini perlu dicatat bahwa penentuan yang
benar dan salah bukan wewenang makhluk, tetapi wewenang Allah
Swt. sendiri, yang baru akan diketahui pada hari kemudian.
Sebagaimana perlu pula digarisbawahi, bahwa yang mengemukakan
ijtihad maupun orang yang pendapatnya diikuti, haruslah
memiliki otoritas keilmuan, yang disampaikannya setelah
melakukan ijtihad (upaya bersungguh-sungguh untuk menetapkan
hukum) setelah mempelajari dengan saksama dalil-dalil keagaman
(Al-Quran dan Sunnah).

c. Konsep la hukma lillah qabla ijtihad al-mujtahid (Allah
belum menetapkan suatu hukum sebelum upaya ijtihad dilakukan
oleh seorang mujtahid).

Ini berarti bahwa hasil ijtihad itulah yang merupakan hukum
Allah bagi masing-masing mujtahid, walaupun hasil ijtihadnya
berbeda-beda. Sama halnya dengan gelas-gelas kosong, yang
disodorkan oleh tuan rumah dengan berbagai ragam minuman yang
tersedia. Tuan rumah mempersilakan masing-masing tamunya
memilih minuman yang tersedia di atas meja dan mengisi
gelasnya --penuh atau setengah-- sesuai dengan selera dan
kehendak masing-masing (selama yang dipilih itu berasal dari
minuman yang tersedia di atas meja). Apa dan seberapa pun
isinya, menjadi pilihan yang benar bagi masing-masing pengisi.
Jangan mempersalahkan seseorang yang mengisi gelasnya dengan
kopi, dan Anda pun tidak wajar dipersalahkan jika memilih
setengah air jeruk yang disediakan oleh tuan rumah.

Memang Al-Quran dan hadis-hadis Nabi Saw. tidak selalu
memberikan interpretasi yang pasti dan mutlak. Yang mutlak
adalah Tuhan dan firman-firman-Nya, sedangkan interpretasi
firman-firman itu, sedikit sekali yang bersifat pasti ataupun
mutlak. Cara kita memahami Al-Quran dan Sunnah Nabi berkaitan
erat dengan banyak faktor, antara lain lingkungan,
kecenderungan pribadi, perkembangan masyarakat, kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, dan tentu saja tingkat kecerdasan
dan pemahaman masing-masing mujtahid.

Dari sini terlihat bahwa para ulama sering bersikap rendah
hati dengan menyebutkan, "Pendapat kami benar, tetapi boleh
jadi keliru, dan pendapat Anda menurut hemat kami keliru,
tetapi mungkin saja benar." Berhadapan dengan teks-teks wahyu,
mereka selalu menyadari bahwa sebagai manusia mereka memiliki
keterbatasan, dan dengan demikian, tidak mungkin seseorang
akan mampu menguasai atau memastikan bahwa interpretasinyalah
yang paling benar.

UKHUWAH DALAM praktek

Jika kita mengangkat salah satu ayat dalam bidang ukhuwah,
agaknya salah satu ayat surat Al-Hujurat dapat dijadikan
landasan pengamalan konsep ukhuwah Islamiah. Ayat yang
dimaksud adalah, Sesungguhnya orang-orang Mukmin bersaudara,
karena itu lakukanlah ishlah di antara kedua saudaramu (QS 49:
10). Kata ishlah atau shalah yang banyak sekali berulang dalam
Al-Quran, pada umumnya tidak dikaitkan dengan sikap kejiwaan,
melainkan justru digunakan dalam kaitannya dengan perbuatan
nyata. Kata ishlah hendaknya tidak hanya dipahami dalam arti
mendamaikan antara dua orang (atau lebih) yang berselisih,
melainkan harus dipahami sesuai makna semantiknya dengan
memperhatikan penggunaan Al-Quran terhadapnya.

Puluhan ayat berbicara tentang kewajiban melakukan shalah dan
ishlah. Dalam kamus-kamus bahasa Arab, kata shalah diartikan
sebagai antonim dari kata fasad (kerusakan), yang juga dapat
diartikan sebagai yang bermanfaat. Sedangkan kata islah
digunakan oleh Al-Quran dalam dua bentuk: Pertama ishlah yang
selalu membutuhkan objek; dan kedua adalah shalah yang
digunakan sebagai bentuk kata sifat. Sehingga, shalah dapat
diartikan terhimpunnya sejumlah nilai tertentu pada sesuatu
agar bermanfaat dan berfungsi dengan baik sesuai dengan tujuan
kehadirannya. Apabila pada sesuatu ada satu nilai yang tidak
menyertainya hingga tujuan yang dimaksudkan tidak tercapai,
maka manusia dituntut untuk menghadirkan nilai tersebut, dan
hal yang dilakukannya itu dinamai ishlah.

Jika kita menunjuk hadis, salah satu hadis yang populer di
dalam bidang ukhuwah adalah sabda Nabi Saw. yang diriwayatkan
oleh Bukhari dan Muslim dari sahabat Ibnu Umar:

Seorang Muslim bersaudara dengan Muslim lainnya. Dia
tidak menganiaya, tidak pula menyerahkannya (kepada
musuh). Barangsiapa yang memenuhi kebutuhan
saudaranya, Allah akan memenuhi pula kebutuhannya.
Barangsiapa yang melapangkan dan seorang Muslim suatu
kesulitan, Allah akan melapangkan baginya satu
kesulitan pula dan kesulitan-kesulitan yang
dihadapinya di hari kemudian. Barangsiapa yang menutup
aib seorang Muslim, Allah akan menutup aibnya di hari
kemudian.

Dari riwayat At-Tirmidzi dari Abu Hurairah, larangan di atas
dilengkapi dengan,

Dia tidak mengkhianatinya, tidak membohonginya, dan
tidak pula meninggalkannya tanpa pertolongan.

***

Demikian terlihat, betapa ukhuwah Islamiah mengantarkan
manusia mencapai hasil-hasil konkret dalam kehidupannya.

Untuk memantapkan ukhuwah Islamiah, yang dibutuhkan bukan
sekadar penjelasan segi-segi persamaan pandangan agama, atau
sekadar toleransi mengenai perbedaan pandangan, melainkan yang
lebih penting lagi adalah langkah-langkah bersama yang
dilaksanakan oleh umat, sehingga seluruh umat merasakan
nikmatnya.