Polemik Memakai Cadar
APAKAH MEMAKAI CADAR ITU BID'AH?
Dr. Yusuf Qardhawi
PERTANYAAN
Telah terjadi polemik dalam beberapa surat kabar di
Kairo seputar masalah "cadar" yang dipakai sebagian
remaja muslimah, khususnya para mahasiswi. Hal itu
berawal dari keputusan Pengadilan Mesir yang menangani
tuntutan mahasiswi beberapa perguruan tinggi, yang
mengajukan tuntutan ke pengadilan karena merasa
teraniaya dengan keputusan sebagian dekan yang memaksa
mereka melepas cadar apabila masuk kampus.
Para mahasiswi itu mengatakan bahwa mereka siap membuka
tutup wajah mereka manakala diperlukan, apabila ada
tuntutan dari pihak yang bertanggung jawab, pada waktu
ujian atau lainnya.
Seorang wartawan terkenal, Ustadz Ahmad Bahauddin,
menulis artikel - dalam surat kabar al-Ahram - yang
isinya bertentangan dengan keputusan pengadilan.
Menurutnya, cadar dan penutup wajah itu merupakan
bid'ah yang masuk ke kalangan Islam dan umat Islam. Hal
ini diperkuat oleh salah seorang dosen al-Azhar, yang
mengaku bahwa dirinya adalah Dekan Fakultas Ushuluddin,
dan sedikit banyak tahu tentang peradilan.
Kami mohon Ustadz berkenan menjelaskan tentang masalah
yang masih campur aduk antara yang hak dan yang batil
ini. Semoga Allah berkenan memberikan balasan kepada
Ustadz dengan balasan yang sebaik-baiknya.
JAWABAN
Alhamdulillah, segala puji kepunyaan Allah, Rabb
semesta alam. Semoga shalawat dan salam senantiasa
tercurahkan kepada Rasul paling mulia, junjungan kita
Nabi Muhammad saw., kepada keluarganya, dan para
sahabatnya.
Pada kenyataannya, mengidentifikasi cadar sebagai
bid'ah yang datang dari luar serta sama sekali bukan
berasal dari agama dan bukan dari Islam, bahkan
menyimpulkan bahwa cadar masuk ke kalangan umat Islam
pada zaman kemunduran yang parah, tidaklah ilmiah dan
tidak tepat sasaran. Identifikasi seperti ini hanyalah
bentuk perluasan yang merusak inti persoalan dan hanya
menyesatkan usaha untuk mencari kejelasan masalah yang
sebenarnya.
Satu hal yang tidak akan disangkal oleh siapa pun yang
mengetahui sumber-sumber ilmu dan pendapat ulama, bahwa
masalah tersebut merupakan masalah khilafiyah. Artinya,
persoalan apakah boleh membuka wajah atau wajib
menutupnya - demikian pula dengan hukum kedua telapak
tangan - adalah masalah yang masih diperselisihkan.
Masalah ini masih diperselisihkan oleh para ulama, baik
dari kalangan ahli fiqih, ahli tafsir, maupun ahli
hadits, sejak zaman dahulu hingga sekarang.
Sebab perbedaan pendapat itu kembali kepada pandangan
mereka terhadap nash-nash yang berkenaan dengan masalah
ini dan sejauh mana pemahaman mereka terhadapnya,
karena tidak didapatinya nash yang qath'i tsubut (jalan
periwayatannya) dan dilalahnya (petunjuknya) mengenai
masalah ini. Seandainya ada nash yang tegas (tidak
samar), sudah tentu masalah ini sudah terselesaikan.
Mereka berbeda pendapat dalam menafsirkan firman Allah:
"... Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka
kecuali yang biasa tampak daripadanya ..." (an-Nur: 31)
Mereka meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, dia berkata bahwa
yang dimaksud dengan "kecuali apa yang biasa tampak
daripadanya" ialah pakaian dan jilbab, yakni pakaian
luar yang tidak mungkin disembunyikan.
Mereka juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa beliau
menafsirkan "apa yang biasa tampak" itu dengan celak
dan cincin. Penafsiran yang sama juga diriwayatkan dari
Anas bin Malik. Dan penafsiran yang hampir sama lagi
diriwayatkan dari Aisyah. Selain itu, kadang-kadang
lbnu Abbas menyamakan dengan celak dan cincin, terhadap
pemerah kuku, gelang, anting-anting, atau kalung.
Ada pula yang menganggap bahwa yang dimaksud dengan
"perhiasan" disini ialah tempatnya. Ibnu Abbas berkata,
"(Yang dimaksud ialah) bagian wajah dan telapak
tangan." Dan penafsiran serupa juga diriwayatkan dari
Sa'id bin Jubair, Atha', dan lain-lain.
Sebagian ulama lagi menganggap bahwa sebagian dari
lengan termasuk "apa yang biasa tampak" itu.
Ibnu Athiyah menafsirkannya dengan apa yang tampak
secara darurat, misalnya karena dihembus angin atau
lainnya.1
Mereka juga berbeda pendapat dalam menafsirkan firman
Allah:
"Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu dan istri-isti orang mukmin, 'Hendaklah
mereka, mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.'
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah
adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (al-Ahzab:
59)
Maka apakah yang dimaksud dengan "mengulurkan jilbab"
dalam ayat tersebut?
Mereka meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang merupakan
kebalikan dari penafsirannya terhadap ayat pertama.
Mereka meriwayatkan dari sebagian tabi'in - Ubaidah
as-Salmani - bahwa beliau menafsirkan "mengulurkan
jilbab" itu dengan penafsiran praktis (dalam bentuk
peragaan), yaitu beliau menutup muka dan kepala beliau,
dan membuka mata beliau yang sebelah kiri. Demikian
pula yang diriwayatkan dari Muhammad Ka'ab al-Qurazhi.
Tetapi penafsiran kedua beliau ini ditentang oleh
Ikrimah, maula (mantan budak) Ibnu Abbas. Dia berkata,
"Hendaklah ia (wanita) menutup lubang (pangkal)
tenggorokannya dengan jilbabnya, dengan mengulurkan
jilbab tersebut atasnya."
Sa'id bin Jubair berkata, "Tidak halal bagi wanita
muslimah dilihat oleh lelaki asing kecuali ia
mengenakan kain di atas kerudungnya, dan ia
mengikatkannya pada kepalanya dan lehernya."2
Dalam hal ini saya termasuk orang yang menguatkan
pendapat yang mengatakan bahwa wajah dan kedua telapak
tangan bukan aurat dan tidak wajib bagi wanita muslimah
menutupnya. Karena menurut saya, dalil-dalil pendapat
ini lebih kuat daripada pendapat yang lain.
Disamping itu, banyak sekali ulama zaman sekarang yang
sependapat dengan saya, misalnya Syekh Muhammad
Nashiruddin al-Albani dalam kitabnya Hijabul Mar'atil
Muslimah fil-Kitab was-Sunnah dan mayoritas ulama
al-Azhar di Mesir, ulama Zaitunah di Tunisia,
Qarawiyyin di Maghrib (Maroko), dan tidak sedikit dari
ulama Pakistan, India, Turki, dan lain-lain.
Meskipun demikian, dakwaan (klaim) adanya ijma' ulama
sekarang terhadap pendapat ini juga tidaklah benar,
karena di kalangan ulama Mesir sendiri ada yang
menentangnya.
Ulama-ulama Saudi dan sejumlah ulama negara-negara
Teluk menentang pendapat ini, dan sebagai tokohnya
adalah ulama besar Syekh Abdul Aziz bin Baz.
Banyak pula ulama Pakistan dan India yang menentang
pendapat ini, mereka berpendapat kaum wanita wajib
menutup mukanya. Dan diantara ulama terkenal yang
berpendapat demikian ialah ulama besar dan da'i
terkenal, mujaddid Islam yang masyhur, yaitu al-Ustadz
Abul A'la al-Maududi dalam kitabnya al-Hijab.
Adapun diantara ulama masa kini yang masih hidup yang
mengumandangkan wajibnya menutup muka bagi wanita ialah
penulis kenamaan dari Suriah, Dr. Muhammad Sa'id
Ramadhan al-Buthi, yang mengemukakan pendapat ini dalam
risalahnya Ilaa Kulli Fataatin Tu'minu billaahi (Kepada
setiap Remaja Putri yang Beriman kepada Allah) .
Disamping itu, masih terus saja bermunculan
risalah-risalah dan fatwa-fatwa dari waktu ke waktu
yang menganggap aib jika wanita membuka wajah. Mereka
menyeru kaum wanita dengan mengatasnamakan agama dan
iman agar mereka mengenakan cadar, dan menganjurkan
agar jangan patuh kepada ulama-ulama "modern" yang
ingin menyesuaikan agama dengan peradaban modern.
Barangkali mereka memasukkan saya kedalam kelompok
ulama seperti ini.
Jika dijumpai diantara wanita-wanita muslimah yang
merasa mantap dengan pendapat ini, dan menganggap
membuka wajah itu haram, dan menutupnya itu wajib, maka
bagaimana kita akan mewajibkan kepadanya mengikuti
pendapat lain, yang dia anggap keliru dan bertentangan
dengan nash?
Kami hanya mengingkari mereka jika mereka memasukkan
pendapatnya kepada orang lain, dan menganggap dosa dan
fasik terhadap orang yang menerapkan pendapat lain itu,
serta menganggapnya sebagai kemunkaran yang wajib
diperangi, padahal para ulama muhaqiq telah sepakat
mengenai tidak bolehnya menganggap munkar terhadap
masalah-masalah ijtihadiyah khilafiyah.
Kalau kami mengingkari (menganggap munkar) pelaksanaan
pendapat yang berbeda dengan pendapat kami - yaitu
pendapat yang muttabar dalam bingkai fiqih Islam yang
lapang - kemudian mencampakkan pendapat tersebut dan
tidak memberinya hak hidup, hanya semata-mata karena
berbeda dengan pendapat kami, berarti kami terjatuh
kedalam hal yang terlarang, yang justru kami perangi
dan kami seru manusia untuk membebaskan diri
daripadanya.
Bahkan seandainya wanita muslimah tersebut tidak
menganggap wajib menutup muka, tetapi ia hanya
menganggapnya lebih wara' dan lebih takwa demi
membebaskan diri dari perselisihan pendapat, dan dia
mengamalkan yang lebih hati-hati, maka siapakah yang
akan melarang dia mengamalkan pendapat yang lebih
hati-hati untuk dirinya dan agamanya? Dan apakah pantas
dia dicela selama tidak mengganggu orang lain, dan
tidak membahayakan kemaslahatan (kepentingan) umum dan
khusus?
Saya mencela penulis terkenal Ustadz Ahmad Bahauddin
yang menulis masalah ini dengan tidak merujuk kepada
sumber-sumber tepercaya, lebih-lebih tulisannya ini
dimaksudkan sebagai sanggahan terhadap putusan
pengadilan khusus yang bergengsi. Sementara kalau dia
menulis masalah politik, dia menulisnya dengan cermat,
penuh pertimbangan, dan dengan pandangan yang
menyeluruh.
Boleh jadi karena dia bersandar pada sebagian
tulisan-tulisan ringan yang tergesa-gesa dan sembarang
yang membuatnya terjatuh ke dalam kesalahan sehingga
dia menganggap "cadar" sebagai sesuatu yang munkar, dan
dikiaskannya dengan "pakaian renang" yang sama-sama
tidak memberi kebebasan pribadi.
Tidak seorang pun ulama dahulu dan sekarang yang
mengharamkan memakai cadar bagi wanita secara umum,
kecuali hanya pada waktu ihram. Dalam hal ini mereka
hanya berbeda pendapat antara yang mengatakannya wajib,
mustahab, dan jaiz.
Sedangkan tentang keharamannya, tidak seorang pun ahli
fiqih yang berpendapat demikian, bahkan yang
memakruhkannya pun tidak ada. Maka saya sangat heran
kepada Ustadz Bahauddin yang mengecam sebagian ulama
al-Azhar yang mewajibkan menutup muka (cadar) sebagai
telah mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, atau
sebagai pendapat orang yang tidak memiliki kemajuan dan
pengetahuan yang mendalam mengenai Al-Qur'an,
as-Sunnah, fiqih, dan ushul Fiqih.
Kalau hal itu hanya sekadar mubah - sebagaimana
pendapat yang saya pilih, bukan wajib dan bukan pula
mustahab - maka merupakan hak bagi muslimah untuk
membiasakannya, dan tidak boleh bagi seseorang untuk
melarangnya, karena ia cuma melaksanakan hak
pribadinya. Apalagi, dalam membiasakan atau
mengenakannya itu tidak merusak sesuatu yang wajib dan
tidak membahayakan seseorang. Ada pepatah Mesir yang
menyindir orang yang bersikap demikian:
"Seseorang bertopang dagu, mengapa Anda kesal
terhadapnya?"
Hukum buatan manusia sendiri mengakui hak-hak
perseorangan ini dan melindunginya.
Bagaimana mungkin kita akan mengingkari wanita muslimah
yang komitmen pada agamanya dan hendak memakai cadar,
sementara diantara mahasiswi-mahasiswi di perguruan
tinggi itu ada yang mengenakan pakaian mini, tipis,
membentuk potongan tubuhnya yang dapat menimbulkan
fitnah (rangsangan), dan memakai bermacam-macam
make-up, tanpa seorang pun yang mengingkarinya, karena
dianggapnya sebagai kebebasan pribadi. Padahal pakaian
yang tipis, yang menampakkan kulit, atau tidak menutup
bagian tubuh selain wajah dan kedua tangan itu
diharamkan oleh syara' demikian menurut kesepakatan
kaum muslim.
Kalau pihak yang bertanggung jawab di kampus melarang
pakaian yang seronok itu, sudah tentu akan didukung
oleh syara' dan undang-undang yang telah menetapkan
bahwa agama resmi negara adalah Islam, dan bahwa
hukum-hukum syariat Islam merupakan sumber pokok
perundang-undangan.
Namun kenyataannya, tidak seorang pun yang melarangnya!
Sungguh mengherankan! Mengapa wanita-wanita yang
berpakaian tetapi telanjang, yang berlenggak-lenggok
dan bergaya untuk memikat orang lain kepada kemaksiatan
dibebaskan saja tanpa ada seorang pun yang menegurnya?
Kemudian mereka tumpahkan seluruh kebencian dan celaan
serta caci maki terhadap wanita-wanita bercadar, yang
berkeyakinan bahwa hal itu termasuk ajaran agama yang
tidak boleh disia-siakan atau dibuat sembarang?
Kepada Allah-lah kembalinya segala urusan sebelum dan
sesudahnya. Tidak ada daya untuk menjauhi kemaksiatan
dan tidak ada kekuatan untuk melakukan ketaatan kecuali
dengan pertolongan
Catatan kaki:
1 Lihat penafsiran ayat ini oleh Ibnu Jarir,
Ibnu Katsir, al-Qurthubi, dan pada ad-Durrul
Mantsur (5: 41-42), dan lain-lain.
2 Lihat: ad-Durrul Mantsur, 5: 221-222,
dan sumber-sumber terdahulu mengenai penafsiran
ayat tersebut.
Dr. Yusuf Qardhawi
PERTANYAAN
Telah terjadi polemik dalam beberapa surat kabar di
Kairo seputar masalah "cadar" yang dipakai sebagian
remaja muslimah, khususnya para mahasiswi. Hal itu
berawal dari keputusan Pengadilan Mesir yang menangani
tuntutan mahasiswi beberapa perguruan tinggi, yang
mengajukan tuntutan ke pengadilan karena merasa
teraniaya dengan keputusan sebagian dekan yang memaksa
mereka melepas cadar apabila masuk kampus.
Para mahasiswi itu mengatakan bahwa mereka siap membuka
tutup wajah mereka manakala diperlukan, apabila ada
tuntutan dari pihak yang bertanggung jawab, pada waktu
ujian atau lainnya.
Seorang wartawan terkenal, Ustadz Ahmad Bahauddin,
menulis artikel - dalam surat kabar al-Ahram - yang
isinya bertentangan dengan keputusan pengadilan.
Menurutnya, cadar dan penutup wajah itu merupakan
bid'ah yang masuk ke kalangan Islam dan umat Islam. Hal
ini diperkuat oleh salah seorang dosen al-Azhar, yang
mengaku bahwa dirinya adalah Dekan Fakultas Ushuluddin,
dan sedikit banyak tahu tentang peradilan.
Kami mohon Ustadz berkenan menjelaskan tentang masalah
yang masih campur aduk antara yang hak dan yang batil
ini. Semoga Allah berkenan memberikan balasan kepada
Ustadz dengan balasan yang sebaik-baiknya.
JAWABAN
Alhamdulillah, segala puji kepunyaan Allah, Rabb
semesta alam. Semoga shalawat dan salam senantiasa
tercurahkan kepada Rasul paling mulia, junjungan kita
Nabi Muhammad saw., kepada keluarganya, dan para
sahabatnya.
Pada kenyataannya, mengidentifikasi cadar sebagai
bid'ah yang datang dari luar serta sama sekali bukan
berasal dari agama dan bukan dari Islam, bahkan
menyimpulkan bahwa cadar masuk ke kalangan umat Islam
pada zaman kemunduran yang parah, tidaklah ilmiah dan
tidak tepat sasaran. Identifikasi seperti ini hanyalah
bentuk perluasan yang merusak inti persoalan dan hanya
menyesatkan usaha untuk mencari kejelasan masalah yang
sebenarnya.
Satu hal yang tidak akan disangkal oleh siapa pun yang
mengetahui sumber-sumber ilmu dan pendapat ulama, bahwa
masalah tersebut merupakan masalah khilafiyah. Artinya,
persoalan apakah boleh membuka wajah atau wajib
menutupnya - demikian pula dengan hukum kedua telapak
tangan - adalah masalah yang masih diperselisihkan.
Masalah ini masih diperselisihkan oleh para ulama, baik
dari kalangan ahli fiqih, ahli tafsir, maupun ahli
hadits, sejak zaman dahulu hingga sekarang.
Sebab perbedaan pendapat itu kembali kepada pandangan
mereka terhadap nash-nash yang berkenaan dengan masalah
ini dan sejauh mana pemahaman mereka terhadapnya,
karena tidak didapatinya nash yang qath'i tsubut (jalan
periwayatannya) dan dilalahnya (petunjuknya) mengenai
masalah ini. Seandainya ada nash yang tegas (tidak
samar), sudah tentu masalah ini sudah terselesaikan.
Mereka berbeda pendapat dalam menafsirkan firman Allah:
"... Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka
kecuali yang biasa tampak daripadanya ..." (an-Nur: 31)
Mereka meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, dia berkata bahwa
yang dimaksud dengan "kecuali apa yang biasa tampak
daripadanya" ialah pakaian dan jilbab, yakni pakaian
luar yang tidak mungkin disembunyikan.
Mereka juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa beliau
menafsirkan "apa yang biasa tampak" itu dengan celak
dan cincin. Penafsiran yang sama juga diriwayatkan dari
Anas bin Malik. Dan penafsiran yang hampir sama lagi
diriwayatkan dari Aisyah. Selain itu, kadang-kadang
lbnu Abbas menyamakan dengan celak dan cincin, terhadap
pemerah kuku, gelang, anting-anting, atau kalung.
Ada pula yang menganggap bahwa yang dimaksud dengan
"perhiasan" disini ialah tempatnya. Ibnu Abbas berkata,
"(Yang dimaksud ialah) bagian wajah dan telapak
tangan." Dan penafsiran serupa juga diriwayatkan dari
Sa'id bin Jubair, Atha', dan lain-lain.
Sebagian ulama lagi menganggap bahwa sebagian dari
lengan termasuk "apa yang biasa tampak" itu.
Ibnu Athiyah menafsirkannya dengan apa yang tampak
secara darurat, misalnya karena dihembus angin atau
lainnya.1
Mereka juga berbeda pendapat dalam menafsirkan firman
Allah:
"Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu dan istri-isti orang mukmin, 'Hendaklah
mereka, mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.'
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah
adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (al-Ahzab:
59)
Maka apakah yang dimaksud dengan "mengulurkan jilbab"
dalam ayat tersebut?
Mereka meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang merupakan
kebalikan dari penafsirannya terhadap ayat pertama.
Mereka meriwayatkan dari sebagian tabi'in - Ubaidah
as-Salmani - bahwa beliau menafsirkan "mengulurkan
jilbab" itu dengan penafsiran praktis (dalam bentuk
peragaan), yaitu beliau menutup muka dan kepala beliau,
dan membuka mata beliau yang sebelah kiri. Demikian
pula yang diriwayatkan dari Muhammad Ka'ab al-Qurazhi.
Tetapi penafsiran kedua beliau ini ditentang oleh
Ikrimah, maula (mantan budak) Ibnu Abbas. Dia berkata,
"Hendaklah ia (wanita) menutup lubang (pangkal)
tenggorokannya dengan jilbabnya, dengan mengulurkan
jilbab tersebut atasnya."
Sa'id bin Jubair berkata, "Tidak halal bagi wanita
muslimah dilihat oleh lelaki asing kecuali ia
mengenakan kain di atas kerudungnya, dan ia
mengikatkannya pada kepalanya dan lehernya."2
Dalam hal ini saya termasuk orang yang menguatkan
pendapat yang mengatakan bahwa wajah dan kedua telapak
tangan bukan aurat dan tidak wajib bagi wanita muslimah
menutupnya. Karena menurut saya, dalil-dalil pendapat
ini lebih kuat daripada pendapat yang lain.
Disamping itu, banyak sekali ulama zaman sekarang yang
sependapat dengan saya, misalnya Syekh Muhammad
Nashiruddin al-Albani dalam kitabnya Hijabul Mar'atil
Muslimah fil-Kitab was-Sunnah dan mayoritas ulama
al-Azhar di Mesir, ulama Zaitunah di Tunisia,
Qarawiyyin di Maghrib (Maroko), dan tidak sedikit dari
ulama Pakistan, India, Turki, dan lain-lain.
Meskipun demikian, dakwaan (klaim) adanya ijma' ulama
sekarang terhadap pendapat ini juga tidaklah benar,
karena di kalangan ulama Mesir sendiri ada yang
menentangnya.
Ulama-ulama Saudi dan sejumlah ulama negara-negara
Teluk menentang pendapat ini, dan sebagai tokohnya
adalah ulama besar Syekh Abdul Aziz bin Baz.
Banyak pula ulama Pakistan dan India yang menentang
pendapat ini, mereka berpendapat kaum wanita wajib
menutup mukanya. Dan diantara ulama terkenal yang
berpendapat demikian ialah ulama besar dan da'i
terkenal, mujaddid Islam yang masyhur, yaitu al-Ustadz
Abul A'la al-Maududi dalam kitabnya al-Hijab.
Adapun diantara ulama masa kini yang masih hidup yang
mengumandangkan wajibnya menutup muka bagi wanita ialah
penulis kenamaan dari Suriah, Dr. Muhammad Sa'id
Ramadhan al-Buthi, yang mengemukakan pendapat ini dalam
risalahnya Ilaa Kulli Fataatin Tu'minu billaahi (Kepada
setiap Remaja Putri yang Beriman kepada Allah) .
Disamping itu, masih terus saja bermunculan
risalah-risalah dan fatwa-fatwa dari waktu ke waktu
yang menganggap aib jika wanita membuka wajah. Mereka
menyeru kaum wanita dengan mengatasnamakan agama dan
iman agar mereka mengenakan cadar, dan menganjurkan
agar jangan patuh kepada ulama-ulama "modern" yang
ingin menyesuaikan agama dengan peradaban modern.
Barangkali mereka memasukkan saya kedalam kelompok
ulama seperti ini.
Jika dijumpai diantara wanita-wanita muslimah yang
merasa mantap dengan pendapat ini, dan menganggap
membuka wajah itu haram, dan menutupnya itu wajib, maka
bagaimana kita akan mewajibkan kepadanya mengikuti
pendapat lain, yang dia anggap keliru dan bertentangan
dengan nash?
Kami hanya mengingkari mereka jika mereka memasukkan
pendapatnya kepada orang lain, dan menganggap dosa dan
fasik terhadap orang yang menerapkan pendapat lain itu,
serta menganggapnya sebagai kemunkaran yang wajib
diperangi, padahal para ulama muhaqiq telah sepakat
mengenai tidak bolehnya menganggap munkar terhadap
masalah-masalah ijtihadiyah khilafiyah.
Kalau kami mengingkari (menganggap munkar) pelaksanaan
pendapat yang berbeda dengan pendapat kami - yaitu
pendapat yang muttabar dalam bingkai fiqih Islam yang
lapang - kemudian mencampakkan pendapat tersebut dan
tidak memberinya hak hidup, hanya semata-mata karena
berbeda dengan pendapat kami, berarti kami terjatuh
kedalam hal yang terlarang, yang justru kami perangi
dan kami seru manusia untuk membebaskan diri
daripadanya.
Bahkan seandainya wanita muslimah tersebut tidak
menganggap wajib menutup muka, tetapi ia hanya
menganggapnya lebih wara' dan lebih takwa demi
membebaskan diri dari perselisihan pendapat, dan dia
mengamalkan yang lebih hati-hati, maka siapakah yang
akan melarang dia mengamalkan pendapat yang lebih
hati-hati untuk dirinya dan agamanya? Dan apakah pantas
dia dicela selama tidak mengganggu orang lain, dan
tidak membahayakan kemaslahatan (kepentingan) umum dan
khusus?
Saya mencela penulis terkenal Ustadz Ahmad Bahauddin
yang menulis masalah ini dengan tidak merujuk kepada
sumber-sumber tepercaya, lebih-lebih tulisannya ini
dimaksudkan sebagai sanggahan terhadap putusan
pengadilan khusus yang bergengsi. Sementara kalau dia
menulis masalah politik, dia menulisnya dengan cermat,
penuh pertimbangan, dan dengan pandangan yang
menyeluruh.
Boleh jadi karena dia bersandar pada sebagian
tulisan-tulisan ringan yang tergesa-gesa dan sembarang
yang membuatnya terjatuh ke dalam kesalahan sehingga
dia menganggap "cadar" sebagai sesuatu yang munkar, dan
dikiaskannya dengan "pakaian renang" yang sama-sama
tidak memberi kebebasan pribadi.
Tidak seorang pun ulama dahulu dan sekarang yang
mengharamkan memakai cadar bagi wanita secara umum,
kecuali hanya pada waktu ihram. Dalam hal ini mereka
hanya berbeda pendapat antara yang mengatakannya wajib,
mustahab, dan jaiz.
Sedangkan tentang keharamannya, tidak seorang pun ahli
fiqih yang berpendapat demikian, bahkan yang
memakruhkannya pun tidak ada. Maka saya sangat heran
kepada Ustadz Bahauddin yang mengecam sebagian ulama
al-Azhar yang mewajibkan menutup muka (cadar) sebagai
telah mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, atau
sebagai pendapat orang yang tidak memiliki kemajuan dan
pengetahuan yang mendalam mengenai Al-Qur'an,
as-Sunnah, fiqih, dan ushul Fiqih.
Kalau hal itu hanya sekadar mubah - sebagaimana
pendapat yang saya pilih, bukan wajib dan bukan pula
mustahab - maka merupakan hak bagi muslimah untuk
membiasakannya, dan tidak boleh bagi seseorang untuk
melarangnya, karena ia cuma melaksanakan hak
pribadinya. Apalagi, dalam membiasakan atau
mengenakannya itu tidak merusak sesuatu yang wajib dan
tidak membahayakan seseorang. Ada pepatah Mesir yang
menyindir orang yang bersikap demikian:
"Seseorang bertopang dagu, mengapa Anda kesal
terhadapnya?"
Hukum buatan manusia sendiri mengakui hak-hak
perseorangan ini dan melindunginya.
Bagaimana mungkin kita akan mengingkari wanita muslimah
yang komitmen pada agamanya dan hendak memakai cadar,
sementara diantara mahasiswi-mahasiswi di perguruan
tinggi itu ada yang mengenakan pakaian mini, tipis,
membentuk potongan tubuhnya yang dapat menimbulkan
fitnah (rangsangan), dan memakai bermacam-macam
make-up, tanpa seorang pun yang mengingkarinya, karena
dianggapnya sebagai kebebasan pribadi. Padahal pakaian
yang tipis, yang menampakkan kulit, atau tidak menutup
bagian tubuh selain wajah dan kedua tangan itu
diharamkan oleh syara' demikian menurut kesepakatan
kaum muslim.
Kalau pihak yang bertanggung jawab di kampus melarang
pakaian yang seronok itu, sudah tentu akan didukung
oleh syara' dan undang-undang yang telah menetapkan
bahwa agama resmi negara adalah Islam, dan bahwa
hukum-hukum syariat Islam merupakan sumber pokok
perundang-undangan.
Namun kenyataannya, tidak seorang pun yang melarangnya!
Sungguh mengherankan! Mengapa wanita-wanita yang
berpakaian tetapi telanjang, yang berlenggak-lenggok
dan bergaya untuk memikat orang lain kepada kemaksiatan
dibebaskan saja tanpa ada seorang pun yang menegurnya?
Kemudian mereka tumpahkan seluruh kebencian dan celaan
serta caci maki terhadap wanita-wanita bercadar, yang
berkeyakinan bahwa hal itu termasuk ajaran agama yang
tidak boleh disia-siakan atau dibuat sembarang?
Kepada Allah-lah kembalinya segala urusan sebelum dan
sesudahnya. Tidak ada daya untuk menjauhi kemaksiatan
dan tidak ada kekuatan untuk melakukan ketaatan kecuali
dengan pertolongan
Catatan kaki:
1 Lihat penafsiran ayat ini oleh Ibnu Jarir,
Ibnu Katsir, al-Qurthubi, dan pada ad-Durrul
Mantsur (5: 41-42), dan lain-lain.
2 Lihat: ad-Durrul Mantsur, 5: 221-222,
dan sumber-sumber terdahulu mengenai penafsiran
ayat tersebut.